Ego Sektoral Penyebab Sembako Mahal?

id ego sektoral, penyebab sembako mahal

Sejak beberapa bulan terakhir harga sejumlah kebutuhan pokok di berbagai wilayah tanah air meroket. Kondisi tersebut mendatangkan keresahan yang demikian hebat bagi kebanyakan masyarakat di tanah air, termasuk di Kota Dumai, Provinsi Riau.

Sejak beberapa pekan terakhir, harga kebutuhan pokok di kota berjuluk Mutiara Pantai Sumatera ini kian membumbung terutama untuk jenis beras. Harga barang pangan satu ini mengalami kenaikan yang signifikan. Dari Rp10 ribu untuk jenis beras berkualitas bagus, saat ini menjadi Rp14 ribu per kilogram.

Begitu juga dengan harga bahan kebutuhan bokok lainnya, seperti minyak goreng, bawang, gandum, dan sayur-sayuran. Sementara untuk cabai, meski mengalami penurunan harga, namun tetap dirasa mahal.

Ketidakstabilan harga kebutuhan pokok di Kota Dumai ini, membuat kebanyakan masyarakat di sana terpaksa menghemat biaya konsumsi mereka. Bahkan sebagian di antara masyarakat yang memiliki latar belakang ekonomi lemah, memilih untuk mengalihkan bahan pangannya.

Kondisi tersebut membuat sejumlah kalangan pejabat pemerintahan di sana angkat bicara. Mereka berpandangan, mahalnya kebutuhan pokok disebabkan cuaca yang tidak menentu atau ekstrem, hingga mengakibatkan para petani di berbagai wilayah pemproduksi pangan sering gagal panen.

"Semua ini tidak lepas dari faktor cuaca yang menyebabkan kebanyakan petani gagal panen," kata Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Investasi (Disperindagin) Kota Dumai, H Djamalus, Rabu (26/1).

Kendati demikian, ia memastikan bahwa merangkaknya harga bukanlah ditentukan oleh para produsen, namun merupakan mekanisme pasar, yaitu para distributor dan agen karena khawatir dengan stok beras yang semakin hilang di pasaran sehingga mengharuskan mereka untuk melakukan penimbunan.

Di lain pihak, berdasarkan hasil survei Yayasan Lembaga Kosumen Indonesia (YLKI) Provinsi Riau, mahalnya harga kebutuhan pokok terutama beras belakangan ini antara lain disebabkan oleh munculnya isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Ego Sektoral?

Sementara itu, seorang pemerhati ekonomi dari Universitas Riau, Restu, berpandangan, krisis ekonomi yang menyebabkan mahalnya harga sejumlah kebutuhan pokok disebabkan kentalnya ego sektoral yang mewarnai arah kebijakan sumber penghasil pangan nasional.

Ego sektoral ini mengarah kepada dua kebijakan, baik itu kelembagaan di birokrat tingkat pusat maupun daerah, ataupun yang menghalangi upaya pengembangan industri di sektor ketahanan pangan.

Berdasarkan pengamatan pemerhati, lemahnya koordinasi di tingkat pusat dan daerah jadi kendala utama pengembangan sektor pangan. Hal itu kontraproduktif dengan potensi investasi di sektor produk pangan yang kini menyebabkan mahalnya bahan yang menjadi konsumsi keseharian masyarakat Indonesia.

"Selama ini pemerintah selalu memandang bahwa mahalnya harga kebutuhan pokok seperti beras, sayuran, dan gandum disebabkan cuaca buruk atau gagal panen para petani yang berada di daerah penghasil. Namun berdasarkan pengamatan ekonomi, hal itu belum dibenarkan karena sebenarnya masih dapat diantisipasi dengan langkah proaktif pemerintah mencari wilayah produktif," kata Restu.

Berdasarkan pandangannya, pemicu mahalnya barang kebutuhan pokok di Indonesia tidak terkecuali Riau atau Dumai terjadi karena munculnya aturan di tingkat pusat maupun daerah yang menyudutkan ketahanan pangan itu sendiri.

Subsidi Petani

Sebagai contoh, katanya, selama ini daerah-daerah penghasil produk pangan di Sumatra seperti Provinsi Sumatra Barat dan Sumatra Utara tidak pernah diberi subsidi perluasan lahan pangan.

Selain itu, ujarnya, kalangan petani yang menjadi ujung tombak ketahanan pangan juga tidak pernah diberi fasilitas atau kemudahan dalam perkreditan.

"Kondisi ini yang membuat visi misi pemerintah ingin menjadikan Indonesia sebagai negara ketahanan pangan hanya sebatas mimpi. Namun mimpi itu dapat diwujudkan apabila ego sektoral dapat dielakkan pemerintah," ujarnya.

Ke depan, katanya, jangan ada lagi birokrat yang hanya memikirkan atau memfokuskan produktivitas bembangunan atau insfrastruktur, yang hanya mengindahkan RI luarnya saja.

"Sebaiknya mulailah berfikir tentang bagaiman agar sistem pangan di negara ini tetap kokoh dan kita tidak lagi menjadi negara yang selalu dipasok produk pangan dari luar negeri. Contohnya Vietnam yang selalu memasok beras ribuan ton setiap bulan melalui berbagai pelabuhan di tanah air termasuk Dumai," ucapnya.

Selain itu, katanya, juga Malaysia dan Singapura yang selalu memasok berbagai jenis produk pangan siap saji ke Indonesia yang juga melalui jalur laut dengan daratan transit Peluhan Dumai.

Di samping itu, kata Restu, birokrat di jajaran Departemen Keuangan jangan hanya cuma mempersoalkan aspek finansial semata sehingga tidak ada titik temu antardepartemen, termasuk tentang ketahanan pangan.

"Artinya, untuk menyetabilkan harga kebutuhan pokok di tanah air, pemerintah harus memfokuskan diri ke produktivitas pangan. Baik dengan perluasan lahan pertanian dan menyejahterakan masyarakat petani, maupun dengan mempermudah proses perkreditan bagi mereka," katanya.