APBD Minim Menuai Bencana Di Dumai?

id apbd minim, menuai bencana, di dumai

Pemerintah Kota Dumai, Provinsi Riau, melalui Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) setempat memastikan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Dumai tahun 2011 sangat minim.

Berdasarkan evaluasi dan laporan yang diterima, APBD Dumai bakal mengalami penurunan hingga 11 persen, dari Rp753 miliar di tahun sebelumnya (2010), menjadi Rp666 miliar.

Penurunan nilai APBD Dumai berdasarkan evaluasi Bappeko disebabkan adanya pemangkasan anggaran terhadap beberapa pos APBD Kota Dumai yang secara otomatis tidak lagi menjadi sumber pandapatan asli daerah (PAD).

Sejumlah pos anggaran tersebut meliputi Terminal Barang mengenai denda kelebihan muatan truck pengangkut minyak mentah kelapa sawit atau "crude palm oil" (CPO) serta truk berat lainnya di mana kelebihan muatan harus dipotong karena bertentangan dengan UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Tentang UU 28/2009

Regulasi tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah melalui Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 ini mulai diterapkan sejak akhir 2010. Undang-undang ini sekaligus mencabut aturan lama yakni UU Nomor 18 Tahun 1997, sebagaimana sudah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000.

Berlakunya UU pajak dan retribusi daerah yang baru ini, menurut Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Dumai Zainal Effendi, di satu sisi memberikan keuntungan daerah dengan adanya sumber-sumber pendapatan baru, namun di sisi lain ada beberapa sumber pendapatan asli daerah yang harus dihapus karena tidak boleh lagi dipungut oleh daerah, terutama yang berasal dari retribusi daerah.

Hal ini dipandang terbalik oleh Zainal atau merugikan pihak pemerintah daerah yang dampaknya dapat memperlambat pembangunan segala sektor di Dumai.

Dalam UU ini, disebutkan bahwa pajak yang dapat dipungut oleh daerah kabupaten/kota ada 11 jenis, di mana delapan pajak merupakan jenis yang lama dan tiga jenis pajak lainnya merupakan jenis pajak baru.

Secara eksplisit menurut Zainal, dapat dikatakan bahwa daerah dilarang memungut pajak selain yang diatur dalam UU tersebut.

"Ini berarti bahwa jenis-jenis pajak yang bisa dipungut daerah bersifat terbatas dan tertutup. Daerah dilarang untuk menetapkan jenis pajak lain untuk memungutnya," kata Zainal.

Pajak-pajak baru yang sebelumnya menjadi kewenangan pusat dan diserahkan kepada daerah kabupaten untuk memungutnya adalah pajak bumi dan bangunan (PBB) perdesaan dan perkotaan dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).

Selain itu, kajian tentang UU ini juga memungkinkan dipungutnya pajak atas sarang burung walet, yang sebelumnya belum pernah ada. Dengan bertambahnya jenis pajak tersebut tentunya akan menambah sumber pendapatan asli daerah apabila potensi di daerah demikian besar, terutama PBB dan BPHTB.

"Namun hal ini tidak demikian, bagi Dumai kajian yang didapat atas perubahan wewenang atas pungutan pajak dan retribusi daerah justru merugikan mengingat Dumai sangat lambat dalam pembangunan sektor apa pun, sehingga PBB dan BPHTB dirasa kecil atau sangat minim," kata Kepala Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) Kota Dumai, Hendri Sandra.

APBD Minim

Untuk pungutan daerah dalam bentuk retribusi, berdasarkan UU tersebut digolongkan menjadi tiga, yaitu golongan retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perizinan tertentu.

Untuk retribusi jasa umum ada 14 jenis retribusi, retribusi jasa usaha 11 jenis dan retribusi perizinan tertentu ada 4 jenis yaitu izin mendirikan bangunan (IMB), izin tempat penjualan minuman beralkohol, izin gangguan (HO), serta izin trayek dan izin usaha perikanan.

Apabila jenis pajak daerah secara eksplisit dibatasi maka menurut Hendri, untuk retribusi daerah masih dimungkinkan jenis lain apabila ditetapkan dalam peraturan pemerintah (PP).

Dalam pasal 150 di UU baru ini, juga disebutkan jika jenis retribusi selain yang ditetapkan sepanjang memenuhi kriteria, khususnya retribusi perizinan tertentu.

Yang pertama, perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintah yang diserahkan kepada daerah dalam rangka asas desentralisasi. Kemudian, perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum.

Selanjutnya yakni tentang biaya yang menjadi beban daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulanginya dampak negatif dari pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi, ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

"Dengan demikian UU ini sebenarnya sangat memberatkan Dumai. Dan dapat dirasa akibat penerbitan UU baru ini, ABPD Dumai menjadi minim," kata Hendri.

Minimnya APBD Dumai ditambah dengan sumber pendapatan asli darah yang kian "seret" hingga menyebabkan berbagai hal negatif bagi Kota Dumai. Tidak hanya pembangunannya, menurut Hendri, sisi lingkungan juga kian "parah" hingga menyebabkan berbagai bencana "mengancam" kota yang berada di pesisir Riau ini.

Dumai Tercemar

Minimnya APBD Dumai, menurut Ketua DPRD Dumai Zainal Effendi sangat mempengaruhi semua sektor, baik pendidikan, kesehatan, bahkan lingkungan.

"Mimimnya APBD Dumai sangat mempengaruhi semua sektor terutama pendidikan, kesehatan dan lingkungan Dumai," kata Zainal.

Berdasarakan catatan ANTARA di lembaran terdahulu, Kota Dumai memiliki berbagai fasilitas terutama pelabuhan yang sebenarnya menurut banyak kalangan elite di Dumai sangat berpotensi mendatangkan sumber pendapatan daerah yang berlimpah.

Dermaga bagi Pemkot Dumai merupakan aset yang tidak ternilai. Kendati Dana Bagi Hasil yang diterima kota itu tidak setimpal, namun tidak dapat dipungkiri, pembangunan Dumai juga berkat DBH ini.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah, sudah maksimalkah pengawasan pelabuhan?

Tim Pengawasan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau menilai telah terjadi pencemaran limbah industri di perairan Kota Dumai. Limbah tersebut berasal dari sisa produksi atas industri perusahaan yang berada di wilayah kerja PT Pelabuhan Indonesia (Persero) Cabang Kota Dumai.

"Hal ini kemungkinan disebabkan pengelolaan limbah yang masih belum cermat serta pengelolaan lingkungan yang terkesan asal-asalan," kata Kepala Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Kota Dumai, Basri.

Saat ini, ujar Basri, Tim Pengawasan BLH Riau yang terdiri dari Hermanto dan Yong Meiyer selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Lingkungan Hidup, serta Mangandal dan Selamat Tarigan selaku Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah (PPLHD) membawa sample berupa limbah cair dan padat untuk diteliti di Laboraturium Kimpraswil Kota Pekanbaru.

"Sebenarnya tidak pun dilakukan pengujian sample kita sudah tahu kalau perairan Dumai sudah tercemar limbah industri. Namun untuk lebih memastikannya lagi, diperlukan tahapan analisis di laboraturium," katanya.

Basri meyakini, tercemarnya laut Dumai sudah terjadi sejak lama karena penataan lingkungan industri yang tidak optimal.

"Untuk itu, saat ini kita hanya dapat meminimalisir pencemaran atas limbah industri tersebut, karena untuk menetralisir seratus persen perlu penataan ulang industri di Dumai yang tentunya memerlukan biaya tidak sedikit," katanya.

Ditanya mengenai penanggulangan atas tercemarnya perairan Dumai, Basri mengaku kewalahan mengingat APBD Dumai yang sangat minim dan tidak memungkinkan untuk melakukan antisipasi atas tercemarnya laut Dumai.

"Solusinya adalah perusahaan yang bertanggung jawab atas pencemaran tersebut. Jika perncemaran terjadi di lingkungan Pelindo, maka sejumlah perusahaan yang ada di Pelindo yang harus menerapkan pola bagaimana agar perairan Dumai tidak terus tercemar limbah industri," ujarnya.

Dumai Kebakaran

Selain pencemaran laut, musibah lingkungan juga terjadi terhadap kawasan daratan di kota berjuluk Mutiara Pantai Sumatra. Salah satunya yakni kebakaran hutan dan lahan yang rutin terjadi setiap tahunnya.

Beberapa pekan sebelumnya, kebakaran hutan dan lahan melanda kawasan pertanian terpadu (KPT) milik pemerintah Dumai yang berada di Kelurahan Pelintung, Kecamatan Medang Kampai, tepat di wilayah perbatasan antara Dumai dengan Bengkalis.

Kepala Bidang Kehutanan di Dinas Pertamanan, Perkebunan dan Kehutanan (Distanbunhut) Kota Dumai, Hadiono, mengatakan, meluasnya kobaran api di wilayah lahan pertanian Pemkot Dumai itu disebabkan keberadaan titik api yang jauh ke dalam hingga menyulitkan petugas untuk menerobos kedalam lahan yang saat ini masih dipenuhi oleh semak belukar setinggi dua meter.

Selain hambatan lapangan, Hadiono juga mengakui jika fasilitas untuk penyelamatan lingkungan masih sangat minim. Dan untuk melengkapinya membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.

"Namun mau gimana lagi, APBD Dumai sangat minim dan kita tidak bisa berbuat banyak selain mengharapkan bantuan dari sejumlah perusahaan yang ada di Dumai," katanya.

Dumai Terik dan Banjir

Lebih sepuluh tahun, Kota Dumai tidak berkembang selayaknya. Di kota itu, banyak terlihat bangunan yang usang. Jalan-jalan yang rusak, penuh lobang dan gersang juga menjadi pemandangan yang biasa. Tidak itu saja, bertebarannya sampah organik dan nonorganik di kota itu juga menunjukkan kalau Adipura hanya sebatas mimpi belaka.

Setiap musim kemarau, terik mentari di kota itu juga kian menyengat. Namun bila musim hujan datang, banjir pun kian melanda. Hal ini yang membuat kebanyakan masyarakat Dumai, baik yang tinggal di tengah maupun sudut kota kian resah karena derita sengatan mentari dan banjir yang perkepanjangan.

Pemerhati lingkungan hidup dari Universitas Riau, Tengku Ariful Amri, berpendapat, terik mentari yang kian menyengat itu tidak hanya disebabkan letak georafis Dumai yang berdekatan dengan laut, namun juga disebabkan oleh berbagai industri perminyakan yang memadati kota itu.

Menurut dia, industri perminyakan di Dumai tidak tertata dengan rapi, banyak di antaranya juga berdekatan dengan pemukiman warga disana. Menurut pemerhati, sisa pembakaran minyak industri itulah yang membuat hawa di Kota Dumai semakin terasa panas.

Masuk kem asalah banjir, hal ini dipandang oleh kebanyakan masyarakat termasuk para pejabat di sana merupakan masalah klasik yang berarti belum terpecahkan sejak sepuluh tahun kota itu didirikan.

Menanggapi dua permasalahan ini, Wali Kota Dumai, Khairul Anwar, sebelumnya sempat mengaku kewalahan mengatasinya karena anggaran daerah yang minim.

APBD minim, haruskah menjadi alasan terjadinya berbagai bencana di Dumai?