Susu Botol Untuk Bayi Gajah Gonzales

id susu botol, untuk bayi, gajah gonzales

Susu Botol Untuk Bayi Gajah Gonzales

Bayi gajah itu berteriak-teriak histeris melihat induknya terkulai sekarat tak berdaya di perbatasan hutan Kawasan Suaka Margasatwa Balai Raja, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau pada akhir Maret lalu.

Ia seakan mengetahui bahwa ajal dari ibunya sudah dekat, tapi ia ingin menolak takdir itu.

Berulangkali gajah yang belum berusia satu tahun itu merapatkan kepalanya ke perut induknya yang sudah terbaring lemah. Belalainya dijulurkan mencari tempat menyusui untuk terakhir kalinya.

Itu adalah susu terakhir untuk si bayi gajah karena pada akhirnya induknya mati, diduga akibat racun yang merusak pencernaannya.

Sepekan berselang dari perpisahan tragis itu, bayi gajah yang malang harus beradaptasi dengan lingkungan dan budaya yang baru di Pusat Latihan Gajah (PLG) di Minas, Kabupaten Siak, Riau. Tempat itu adalah rumah barunya, jauh dari habitat aslinya di hutan Balai Raja.

Matahari pada siang itu bersinar "kejam", sinarnya sangat terik seakan siap membakar kulit si bayi gajah. Satwa berkuping lebar itu berdiri tegak di bawah pohon rindang, dan seutas tali warna biru mengikat dirinya ke batang pohon.

"Saatnya memberi susu untuk gajah," kata Endi Lesmana, pengasuh si bayi gajah.

Pria kurus berkulit hitam itu membawa sebuah botol penuh susu. Ia mengatakan piranti minum itu dibuat darurat dari botol bekas air mineral berkapasitas 1,5 liter, khusus untuk bayi gajah. Di ujungnya ada selang bening sepanjang 30 centimeter yang dibenamkan di tutup botol, sebagai alat untuk menyalurkan susu ke mulut gajah.

"Gajah tidak bisa pakai dot, makanya pakai selang," kata Endi.

Lelaki itu menghampiri bayi gajah dengan maju perlahan. Srakkk...Langkah kaki Endi tiba-tiba bergerak mundur lagi dan mematahkan batang-batang semak belukar. Bayi gajah sepertinya menolak kehadirannya dengan menjulurkan belalai dan bergerak ingin menabrak badan kurus Endi.

"Dia masih galak, saya masih sering mau ditabraknya," ujar pria berusia 28 tahun itu.

Namanya Gonzales

Menurut Endi, bukan perkara mudah menyusui gajah liar karena sejak dilahirkan satwa itu sudah terbiasa melihat manusia menjadi musuh di tempat tinggalnya di Balai Raja. Manusia kerap mengusir kawanan gajah Sumatra (Elephant maximus sumatranus) yang hidup liar sebagai hama yang merusak kebun kelapa sawit dan permukiman.

Meski begitu, Endi mengatakan tingkah bayi gajah itu sering menjadi hiburan bagi pegawai di PLG. Karena suka lari dan mengejar orang, katanya, bayi gajah itu diberi nama Gonzales seperti pemain bola tim nasional Cristian 'El Loco' Gonzales.

"Gonzales ini suka lari-lari, seperti pemain bola," ujar Endi sambil berkelakar.

Endi akhirnya berhasil menyusui bayi gajah pada percobaan kedua. Proses menyusui gajah sekilas terlihat seperti memberikan cairan infus untuk pasien di rumah sakit. Bedanya, selang sepanjang 30 centimeter dari botol masuk ke lubang mulut binatang itu.

Bayi gajah Gonzales terlihat sangat lucu dan jinak saat menyusu dari botol. Kepalanya menengadah ke atas dan belalainya membelit tangan kanan Endi dengan erat seperti tak ingin kehilangan susu setetes pun. Hanya butuh waktu sekitar lima menit bagi gajah itu untuk menghabiskan 1,5 liter susu.

"Setiap hari gajah ini minimal menghabiskan 15 liter susu, bahkan bisa lebih," ujarnya.

Menurut dia, setiap bayi gajah membutuhkan susu selama dua tahun karena pencernaannya belum kuat untuk mengonsumsi tumbuh-tumbuhan. Endi dengan sabar berusaha menggantikan peran induk gajah Gonzales dengan memberinya susu sebanyak tiga kali dalam sehari. Ia mengatakan bayi Gonzales kini mulai belajar memakan tunas muda dari pohon dan rumput.

"Saya harus sabar merawatnya, karena Gonzales suka teriak dan menangis pada malam hari," katanya.

Staf Penanggulangan dan Kesehatan Gajah Pusat Latihan Gajah (PLG), Aziz, mengatakan bayi gajah Gonzales tiba di PLG pada Minggu (26/3) dini hari setelah induknya mati. Ia mengisahkan gajah itu awalnya terlihat sangat stres karena dipisahkan dari ibunya.

"Gonzales stres dan terus berteriak-teriak waktu pertama datang ke PLG. Akhirnya dia baru mulai tenang setelah dikumpulkan bersama gajah jinak lainnya," kata Aziz.

Menurut dia, butuh waktu dua hari agar bayi gajah liar itu mau menyusu menggunakan botol. Pihak PLG sebelumnya berusaha agar bayi gajah itu menyusu di induk gajah lainnya. Namun, malang untuk bayi gajah Gonzales, ternyata tidak ada gajah betina yang mau menerimanya.

"Induk gajah betina tidak mau menyusui Gonzales," katanya.

Konflik Gajah dan Manusia

Humas WWF Riau, Syamsidar, mengatakan konflik gajah dan manusia di Riau terus memanas karena ulah manusia tak mau hidup berdampingan dengan satwa bongsor itu. Kerakusan manusia, katanya, bisa dilihat dari perambahan yang terus merajalela di kawasan konservasi yang seharusnya dilindungi sebagai habitat asli gajah Sumatra.

"Hingga bulan Maret 2011, sudah ada tiga ekor gajah liar yang mati dan diduga akibat berkonflik dengan manusia," ujarnya.

Berdasarkan data WWF, sejak 2006 hingga awal 2011, telah ada sebanyak 54 ekor gajah Sumatra liar yang mati akibat berkonflik dengan manusia dan perburuan liar. Sedangkan, jumlah populasi gajah Sumatra di Riau diperkirakan terus berkurang dan kini tinggal menyisakan sekitar 350 ekor.

Selain itu, dua dari sembilan kantong gajah, yakni Rimbang Baling dan Kerumutan, kondisinya juga telah rusak parah karena perambahan. Dua kantong gajah itu, yang sebelumnya menjadi habitat asli bagi puluhan gajah liar, kini diperkirakan tidak ada lagi populasi gajah di daerah itu.

Salah satu gajah liar yang mati pada awal tahun ini, katanya, adalah induk gajah Gonzales. Gajah betina yang diperkirakan berusia 20 tahun itu mati di perbatasan Suaka Margasatwa Balai Raja di Kabupaten Bengkalis, tepatnya di dalam area hutan sekunder milik PT Chevron Pacific Indonesia. Bahkan, tak lama setelah kematian induk gajah, ternyata kembali ditemukan seekor gajah betina yang diduga mati akibat racun di daerah itu.

Kawasan Balai Raja awalnya pada 1990 memiliki luas sekitar 16 ribu hektare saat ditetapkan sebagai Suaka Marwa Satwa. Namun, saat ini hanya tersisa 120 hektare dan sebagian besar berupa hutan sekunder.

Ia mengatakan, perubahan kawasan itu secara masif terus terjadi untuk permukiman, instansi pemerintah dan perkebunan kelapa sawit. Akibatnya, konflik manusia dan gajah terus terjadi hingga jatuh korban dari kedua pihak.

"Pemerintah pusat dan daerah harus serius menangani masalah ini karena korban dari kedua pihak, gajah dan manusia, terus berjatuhan," ujarnya.

Ia mencontohkan, pencaplokan kawasan konservasi juga terjadi di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Kasim. Padahal, di dalam kawasan itu juga terdapat PLG yang kini menjadi rumah baru untuk bayi gajah Gonzales.

Tahura Sultan Syarid Hasyim ditunjuk menjadi kawasan konservasi dengan luas 6.172 hektare yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor 348/Kpts-II/1999 pada tanggal 26 Mei 1999. Perambahan di Tahura Sultan Syarif Hasyim mulai terjadi sejak tahun 2003 dan makin merajalela.

Dari 6.150 hektare kawasan hutan lindung itu, kini hanya tersisa sekitar 1.900 hektare yang masih berbentuk hutan. Ribuan hektare kawasan itu kini berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.

"Konflik gajah akan makin parah apabila pemerintah tidak secara tegas merehabilitasi kawasan hutan yang menjadi habitat asli bagi gajah," katanya.

Andaikan gajah Gonzales bisa berbicara layaknya manusia, mungkin ia akan berkata begitu kejamnya manusia memisahkan dirinya yang masih bayi dengan induknya. Sayangnya, rintihan bayi gajah Gonzales sepertinya hanya akan tenggelam di tengah hutan belantara yang kini tak lebat lagi.