Warga Pedalaman Itu Nyaris Tak Tersentuh Pembangunan

id warga pedalaman, itu nyaris, tak tersentuh pembangunan

Warga Pedalaman Itu Nyaris Tak Tersentuh Pembangunan

Menjejakkan kaki di daerah pedalaman Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau, pada awal Mei, menyadarkan penulis bahwa tugas pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya masih sangat berat.

Sekitar 400 kepala keluarga (KK) di daerah terpencil itu hingga kini hidup dengan belenggu kemiskinan, kebodohan dan rawan penyakit.

Berjarak sekitar 350 kilometer dari pusat Kota Pekanbaru yang makin penuh dengan gedung mewah, kondisi daerah pedalaman seperti berbalik 180 derajat. Hutan belantara berstatus Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) menjadi tempat mereka menggantungkan hidup sejak zaman nenek moyang.

Di daerah tersebut terdapat 10 dusun yang menginduk pada sebuah desa bernama Rantau Langsat di Kecamatan Batang Gansal. Di tempat itulan ratusan kepala keluarga dari Suku Talang Mamak dan Melayu Tua, masyarakat adat asli Riau, bertempat tinggal seakan tak tersentuh "tangan" pemerintah.

Jalan menuju desa sepanjang sekitar 15 kilometer itu masih berupa tanah yang hanya beberapa bagian tertutup kerikil. Sebagian besar jalan tanah itu amblas, menyisakan lubang besar menganga yang berubah menjadi kubangan lumpur setiap hujan.

Jalan itu hanya bisa menghubungkan empat dusun terdekat yakni Dusun Pebidaian, Lemang I, Lemang II, dan Siamang. Sedangkan, sisanya baru bisa dicapai melalui Sungai Gansal. Enam dusun yakni Nunusan, Menyasih, Tanjung Lintang, Air Bomban, Suit dan Dusun Datai berada tepat di dalam taman nasional.

"Beberapa kali saya mengusulkan perbaikan jalan, tapi belum disetujui pemerintah," kata Kepala Desa Rantau Langsat, M. Nasir.

Transportasi menjadi barang mahal di daerah terpencil tersebut. Satu liter bensin dijual eceran menggunakan jerigen dengan harga Rp7.000 per liter, seakan subsidi BBM dari pemerintah tak pernah menjangkau daerah itu.

Ia mengatakan warga daerah pedalaman mayoritas hidup miskin dengan mata pencaharian sebagai peladang dan petani karet. Tanaman karet di tempat itu pun mayoritas sudah berumur lebih dari 20 tahun dan produksinya kian susut.

Rumah warga terlihat sangat sederhana, dengan konstruksi rumah panggung yang terbuat dari kayu. Setiap malam tiba kondisi daerah tersebut menjadi gelap gulita karena belum sekali pun mendapat layanan aliran listrik. Nyala lentera minyak tanah terlihat remang-remang menemani anak-anak pedalaman belajar mengaji di rumah dan surau. Api lentera itu bagaikan harapan di tengah kegelapan.

Program Setengah Hati

Di depan rumah Kepala Desa Rantau Langsat M Nasir terlihat benda bundar warna putih yang terlihat canggih. Benda itu seperti piring berbentuk cekung dengan diameter sekira 30 centimeter, yang di bawahnya terdapat kaki besi menghujam tegak ke tanah. Sebuah batang besi seperti hidung menjulur dari tengah benda bundar itu dan mengarah ke rumah kayu si kepala desa.

Benda bundar itu bukan parabola melainkan alat canggih bantuan pemerintah untuk program Pusat Pelayanan Telekomunikasi dan Informasi Pedesaan (Pusyantip) di Desa Rantau Langsat. Sebuah papan bewarna merah juga terpasang di dinding rumah, yang tertera dua logo dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta lambang operator terkenal Telkomsel.

Ya, benda itu dahulu adalah perangkat bantuan dari pemerintah untuk pembangunan jaringan telepon pedesaan yang bernaung dalam program Universal Service Obligation (USO).

"Benda itu diarahkan ke rumah, artinya tak berfungsi lagi," kata M Nasir.

Ia mengatakan tak sampai dua bulan warga menikmati akses informasi yang disediakan pemerintah sejak dipasang tahun 2009. Warga mendapat bantuan telepon dan sempat berseluncur dengan internet menggunakan bantuan alat itu yang terhubung ke satelit.

Ia mengisahkan, awalnya warga sangat senang dengan adanya bantuan itu. Mereka menjadi terbantu karena adanya jaringan komunikasi yang mudah, murah dan cepat.

"Awalnya saya kaget, takutnya disuruh bayar, tapi orang yang masang bilang itu semua gratis," kata M Nasir mengisahkan.

Namun, sekarang peralatan telekomunikasi itu mangkrak tak bisa digunakan. M Nasir kebingungan untuk mengadu ke mana untuk meminta perbaikan.

Menurut dia, salah satu kelemahan program bantuan itu karena pemerintah tak melatih warga setempat untuk mampu menguasai teknologi itu secara detail. Sebabnya, alat tersebut terlalu canggih untuk warga dan membutuhkan teknisi khusus untuk memperbaikinya. Sedangkan, kebanyakan warga di daerah pedalaman bahkan tak mampu membaca.

"Tak ada warga yang dilatih untuk memperbaikinya. Orang mereka datang, pasang dan langsung pergi," ujarnya.

Sebuah plang dari seng bertuliskan "Telepon Umum" di pinggir jalan desa menjadi salah satu sisa-sisa kemewahan program berbasis teknologi tinggi tersebut.

Rawan Penyakit

Di Sungai Gansal yang membelah TNBT kerap terlihat warga menggunakan rakit bambu mengarungi arus sungai yang mengalir deras. Mereka adalah warga di enam dusun yang berada di dalam kawasan taman nasional.

Perjalanan mengarungi Sungai Gansal tergolong berat karena harus melawan arus ke arah hulu sungai. Air sungai itu terlihat berkilatan diterpa sinar matahari hingga terlihat dasarnya yang penuh batu.

Mereka seringkali terlihat terombang-ambing gelombang saat perahu kayu bermesin melintas dengan cepat. Mereka hanya bisa tersenyum kecut, mungkin karena tak sanggup menyewa perahu mesin yang harganya selangit.

Harga sewa perahu cepat di daerah itu berkisar Rp1,2-Rp1,5 juta untuk menuju dusun terjauh untuk pulang-pergi. Dan itu belum termasuk uang bahan bakarnya. Lama perjalanan menuju dusun terjauh bisa memakan waktu selama dua hari.

Selama perjalanan melintasi sungai kerap terlihat anak-anak bermain sungai tanpa busana. Kulit anak-anak itu terlihat penuh kudis dan panau. Gigi-gigi mereka tumbuh kecil menghitam dan penuh karang. Kesehatan jadi sesuatu yang dibaikan di daerah pedalaman.

Rumah panggung beratap daun rumbia terlihat berjajar polos tanpa pemulas cat di Dusun Datai. Tempat itu adalah dusun terjauh di tengah taman nasional, di mana 267 jiwa warga Suku Talang Mamak bertempat tinggal.

Dinding rumah warga terbuat dari bambu yang dipotong tipis memanjang dan disatukan dengan tali. Rumah warga hanya terdiri dari satu ruang lapang berukuran 5x5 meter yang dipakai bersama untuk tidur, makan, sekaligus dapur.

Warga Dusun Datai hingga kini masih banyak yang tak suka menggunakan pakaian. Biasanya mereka hanya punya sandang tak lebih dari dua buah, yang hanya dipakai ketika ada orang dari luar dusun datang.

Anak-anak di dusun itu juga terlihat sangat menyedihkan. Salah satunya adalah Ken, bocah berusia sekitar dua tahun, yang selalu melongo ketika diajak bicara. Kulitnya coklat legam terbakar sinar matahari karena tak berbusana. Tangannya kurus, namun perutnya buncit seperti terkena busung lapar dan ingus terus meleleh dari hidung mungilnya. Ironisnya, sangat banyak ditemukan anak seperi Ken di Dusun Datai.

"Sangat banyak warga terserang demam bahkan sampai ada yang mati," kata seorang warga, Yusman.

Ia mengatakan warga sangat tak berdaya ketika penyakit influenza menyerang Dusun Datai bagaikan wabah mematikan. Ratusan warga bertumbangan dan terkulai tak berdaya. Ia mengatakan sudah tiga warga yang meninggal dunia akibat terserang flu selama dua bulan terakhir.

Salah satu korban penyakit flu adalah Saina, isteri Yusman yang berusia 32 tahun. Yusman mengatakan sudah lima bulan penyakit akibat pancaroba itu menggerogoti tubuh istrinya. Bermacam obat dari dukun kampung tak mempan lagi menolongnya.

Saina tak mau lagi makan hingga bobot tubuhnya terus merosot. Badannya kini hanya menyisakan tulang berbalut kulit. Ia terkulai di dalam rumah dan sering mengerang kesakitan. Ia terlihat bagai mayat hidup saat Yusman membantunya untuk sekedar duduk di atas dipan bambu.

"Saya bingung mau ditolong bagaimana lagi isteri saya ini," keluh Yusman.

Kepala Dusun Datai, Sukar, mengatakan sekitar 80 persen dari 267 jiwa warga di tempat itu terserang flu. Kondisi kesehatan warga makin parah karena layanan kesehatan dari pemerintah tak pernah lagi menyentuh daerah pedalaman.

Satu-satunya Puskesmas berada di Dusun Lemang yang butuh waktu dua hari perjalanan lewat sungai. Namun, tempat itu pun kini kosong karena tak ada lagi dokter maupun bidan.

"Tidak pernah ada dokter di Datai, pengobatan dari pemerintah terakhir sampai ke sini tiga tahun silam," kata Sukar.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hulu, Zainal Arifin, mengakui selama ini layanan medis masih sangat kurang di daerah pedalaman. Ia beralasan pihaknya terkendala medan yang berat dan transportasi yang sangat mahal untuk menuju daerah pedalaman.

Jawaban dari Zainal Arifin sebenarnya sangat ironis mengingat dana kesehatan di kabupaten itu cukup besar. Dana operasional kesehatan yang didapat Indragiri Hulu melalui pembiayaan APBN mencapai Rp1,3 miliar. Sedangkan, anggaran kesehatan dari APBD tahun 2011 tercatat mencapai Rp7,8 miliar.

"Tapi dana itu kan untuk kesehatan keseluruhan," ujar Zainal.

Ia mengatakan pemerintah perlu melakukan identifikasi masalah mengenai kesehatan di daerah pedalaman.

Namun untuk mengantisipasi agar tak makin banyak korban akibat wabah flu, ia mengatakan dinas kesehatan memutuskan untuk segera melakukan intervensi dengan menerjunkan tim medis ke lapangan.

"Awalnya kami berencana turun ke sana pada bulan Juni, tapi agar tak makin banyak korban jadi dipercepat pada akhir Mei ini," katanya.

Semoga kebijakan pemerintah untuk menyejahterakan warga pedalaman benar-benar tepat sasaran. Uluran tangan pemerintah sangat dibutuhkan lebih dari sekedar janji yang membuai warga di pedalaman.