Semarang, (ANTARARIAU News) - Kian menguatnya gejala persekongkolan antara politikus, pengusaha, dan birokrat, yang bisa membuat negeri ini menuju kekacauan, sudah sangat mencemaskan. Termasuk kentalnya aroma neo-feodalisme, berupa pemberian akses terbuka kepada anak-anak para penguasa oleh bapaknya untuk menduduki posisi politik.
"Ya, ini mencemaskan. Politik pada akhirnya hanya bagi-bagi kekuasaan karena orang-orang yang dipilih (di kabinet dan birokrasi) selalu berkaitan dengan politik. Kini para politikus yang ada di birokrasi juga terindikasi terlibat kasus korupsi," kata Guru Besar Universitas Diponegoro, Eko Budihardjo, di Semarang, Senin (19/9).
Ia mengatakan, keprihatinan itulah yang antara lain mendorong Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) menggelar diskusi panel di kampus Undip Semarang pada 20 September 2011, bertajuk "Birokrasi dan Neofeodalisme".
Mengutip filsuf dan ilmuwan politik Hannah Arendt, Eko selaku ketua panitia diskusi itu mengatakan, selain menghadapi masalah klasik berupa birokrasi yang terlalu banyak mengatur, memaksa, dan alergi perubahan, birokrasi di Indonesia malah menghadapi situasi lebih gawat lagi.
"Kondisi kita nampak lebih gawat karena persekutuan antara pimpinan pemerintahan dengan pengusaha kuat (konglomerat) dan kelompok yang disebut oleh Richard Robison sebagai 'political bureaucrats'," ujarnya.
Kental Aroma Neo-feodalisme
Kondisi tersebut, menurut mantan Rektor Undip itu, diperparah lagi dengan pola kepemimpinan yang mengedepankan karisma dan kental dengan aroma neo-feodalisme.
Ia menyebutkan sejumlah tokoh politik negeri ini yang memberi akses terbuka kepada anak-anaknya untuk menduduki posisi politik, karena pengaruh kuat orang tuanya di partai.
Ia menambahkan tokoh-tokoh di puncak kekuasaan itulah yang memiliki akses terbuka terhadap aneka sumber daya di negeri ini dan cenderung memanfaatkannya lebih untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya.
Sejumlah kasus korupsi yang mengindikasikan keterlibatan sejumlah politikus, pengusaha, dan kalangan birokrat, demikian Eko, menunjukkan adanya ketidakberesan dalam pengelolaan negeri ini.
"Presiden harus segera mengganti menteri bermasalah dengan sosok yang integritasnya teruji dan memiliki kompetensi di bidangnya. Jabatan (menteri) jangan hanya (jadi media) bagi-bagi kekuasaan," tandasnya.
Eko membandingkan para menteri di zaman pemerintahan Soeharto yang kompetensi tugasnya lebih bisa dipertanggungjawabkan.
Diskusi panel AIPI ini akan menghadirkan pembicara kunci Prof Sediono MP Tjondronegoro, dengan pembicara, antara lain, Prof Mayling Oei-Gardiner, dan Prof Sofian Efendi dari UGM. (***)
Berita Lainnya
Izin Tak Lengkap Menara Telekomunikasi Disegel Aparat
03 April 2017 15:30 WIB
Jokowi Jenguk Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Hasyim Muzadi
15 March 2017 11:05 WIB
Pemko Batu Alokasikan Rp4,3 Miliar Untuk Bantu Ibu Hamil
07 February 2017 10:50 WIB
Liburan Imlek, Pantai Selatbaru di Bibir Selat Malaka Dipadati Pengunjung
29 January 2017 21:40 WIB
Jalani Pemeriksaan Di Imigrasi Pekanbaru, TKA Ilegal Mengaku Stres
18 January 2017 16:55 WIB
Pelajar Sekolah Di Inhil Banyak Yang "Ngelem"
13 January 2017 6:15 WIB
Sejumlah Produk Kosmetik Dan Makanan Kadaluarsa Disita Pihak Polres Bengkalis
16 December 2016 23:15 WIB