Perempuan Indonesia Harus Perbaiki Kualitas

id perempuan indonesia, harus perbaiki kualitas

Pekanbaru, (ANTARARIAU News) - Politisi perempuan dari Fraksi Partai Demokrat di DPR RI, Paula Sinjal, mengingatkan kaum perempuan Indonesia harus tetap menyadari berbagai kelemahannya dan berusaha terus memperbaiki kualitasnya.

"Perbaikan dan perubahan itu tidak bisa diserahkan kepada pihak lain, tetapi harus dimulai serta diperjuangkan secara bersama-sama oleh kaum perempuan sendiri, sembari menggandeng kemitraan positif dengan para pria," katanya kepada ANTARA Riau, Kamis.

Berbicara melalui jejaring komunikasi, anggota Komisi II DPR RI ini juga mengingatkan, agar berbagai peringatan Hari Ibu atau perayaan kaum perempuan di Indonesia, jangan hanya mengenang semangat serta perjuangan di masa lalu.

"Semangat dan dan heroisme para pendahulu kita itu hendaknya dipakai untuk memotivasi bagi terjadinya perubahan serta perbaikan ke arah lebih baik dalam kiprah kaum perempuan di berbagai kehidupan manusia," tandasnya.

Ia kemudian meunjuk misi diperingatinya Hari Ibu ke-83 pada tanggal 22 Desember lalu.

"Pada awalnya, peringatan itu lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa. Tetapi khan kemudian diadopsi untuk menyemangati kita dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini," katanya.

Namun, sebagai bangsa yang besar dan selalu menghargai sejarah serta kepahlawanan para pahlawannya, Paula berpendapat, dari berbagai perayaan atau peringatan itu, memang banyak diambil makna sekaligus hikmahnya.

"Sebab, dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang, tanpa membeda-bedakan, untuk bersatu dan bekerja bersama. Dalam konteks ini, Hari IBu 22 Desember 2011 lalu dapat dijadikan momentum memperjuangkan sosok perempuan, untuk dijadikan pahlawan nasional," tegasnya.

Salah satunya, menurutnya, ialah seorang 'wewene' (perempuan) asal Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut), Johana Tumbuan.

Secuil Tentang Jo

Paula Sinjal lalu menuturkan secuil dari sejarah perjuangan Johanna Tumbuan yang lahir 29 November 1910 di Amurang, Sulawesi Utara, dan meninggal 13 Mei 2006 di Jakarta.

"Beliau adalah seorang perempuan perintis kemerdekaan Indonesia. Sebagai aktivis menjelang kemerdekaan, Johanna banyak berjumpa dengan tokoh-tokoh lain, seperti Mohammad Yamin, Dr Rusmali, Mr Assaat, dll," paparnya.

Selain itu, lanjutnya, Jo (demikian panggilan populernya) pun bertemu dengan Masdani, yang juga seorang tokoh pergerakan, kemudian melamarnya untuk dijadikan istri. (Masdani telah meninggal mendahuluinya pada Oktober 1967, Red).

Diuraikannya, Jo termasuk di antara 71 pemuda yang hadir dalam Kongres Pemuda Kedua, Oktober 1928 dalam usia masih 18 tahun.

"Ketika itu, Nona Jo sudah turut serta mengikrarkan Sumpah Pemuda yang berlangsung di sebuah gedung yang terletak di Jalan Kramat Raya Nomor 106 Jakarta Pusat," katanya.

Sementara itu, dalam ?In Memoriam" Johanna Masdani yang pernah dimuat di salah satu koran Jakarta (14/5/2006), wartawan senior Rosihan Anwar menulis secuil kisah keterlibatan Nona Jo pada peristiwa Sumpah Pemuda itu.

Paula lalu menuturkan lagi cuplikan tulisan Rosihan Anwar itu: "Di gedung Kramat Raya 101 di kota Batavia tanggal 28 Oktober 1928, diucapkan Sumpah Pemuda: Berbangsa satu, Bertanah Air satu, Berbahasa satu, yaitu Indonesia".

"'Highlight'-nya: Wage Rudolf Supratman, reporter harian Melayu-Tionghoa Sin Po yang menciptakan lagu Indonesia Raya, berdiri menggesek biola memperdengarkan komposisinya, mulanya tanpa lirik, disambut dengan tepuk tangan riuh oleh hadirin," demikian Paula.

Kemudian, masih dari tulisan Rosihan Anwar sebagaimana dicuplik Paula, "(lagu itu) dinyanyikan oleh seorang putri H Agus Salim, Dolly, diikuti oleh seorang gadis Manado bernama Johanna Tumbuan, berusia 18 tahun".

Mengabdi Hingga Akhir

Paula Sinjal menambahkan, Jo juga pernah menjadi guru di Perguruan Rakyat di Gang Kenari, Jakarta, saat bantuan dari orangtuanya di kampung halaman terhenti.

"Ia juga aktif dalam Palang Merah Indonesia, menjadi pembimbing Pandu Rakyat Indonesia, serta menjadi aktivis sosial Pemuda Puteri Indonesia," tuturnya lagi.

Sementara itu, dalam catatannya pada tahun 1945 hingga 1949, menurutnya, Jo pernah menulis, "Roda revolusi Indonesia tidak dapat berjalan tanpa wanita. Demi kemerdekaan sampai titik darah penghabisan Merdeka atau Mati, tanpa pamrih membela bangsa dan negara tanah air Indonesia tercinta."

Tegasnya, demikian Paula Sinjal, spirit 'mengabdi hingga akhir, sampai titik darah penghabisan, merupakan salah satu ciri serta karakter hebat dari Jo dkk'.

Dikatakan, Jo pernah putus sekolah karena orang tuanya di Amurang menghentikan pengiriman uang gara-gara fotonya pernah dimuat di sebuah majalah.

"Dalam foto tersebut, Jo tampil sebagai tokoh Chandra Kirana yang mengenakan busana Jawa dalam sebuah pertunjukan sandiwara dalam rangka penggalangan dana bagi korban letusan Gunung Merapi," urainya.

Artinya, lanjut Paula, jiwa sosial Jo sudah tertanam sejak remaja. "Lalu setelah menikah, dalam usia 40 tahun, sang suami menyuruh Jo menyelesaikan sekolah di 'Paedagogische Algemene Middlebare School' (PAMS) setingkat Sekolah Guru Atas (SGA)," tambahnya.

Kemudian, masih menurut Paula, Jo melanjutkan studi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) hingga selesai (1961) dalam usia 51 tahun.

"Setelah suaminya meninggal dalam usia 59 tahun (8 Oktober 1967), Jo mendapat tugas belajar psikoterapi dan konseling di AS, Belanda dan Inggris. Ketika itu Jo berkata, "Saya dianjurkan belajar, karena waktu itu mereka melihat saya semakin larut dalam kesedihan ditinggal suami tercinta," tutur Paula menyebut kata-kata kenangan Jo.

Paula menguraikan lagi, selesai mendapat tugas belajar hingga usia senja, Jo aktif memberikan psioterapi dan konseling. "Baik di Rumah Sakit 'Cipto Mangunkusumo' (RSCM) maupun lewat praktik di rumahnya," sambungnya.

Dikatakan, Jo juga tercatat pernah mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (FK UKI), Jakarta Timur, meski sudah 87 tahun, sebagaimana pernah dinyatakannya kepada seorang wartawan, di rumahnya, sekitar April 1998.

"Namun beberapa tahun kemudian, papan nama "Dra Jo Masdani, Psikolog" sudah tidak terpampang lagi di depan paviliunnya. Tetapi, semangat pejuang Jo sejak remaja terbawa hingga di hari tuanya meski dalam kesendirian," katanya.

Ketika muda, menurut Paula, Jo aktif membela bangsa dalam organisasi pemuda yang didukungnya.

"Setelah merdeka, selama 40 tahun lebih Jo tiada henti menolong orang-orang bermasalah, lewat praktik konsultasi keluarga yang dibukanya. Sebagai psikiater andal, di usia senja ia masih memberi terapi kepada remaja yang kecanduan narkotika, terlibat masalah pacaran, dan hamil di luar nikah. Ia juga biasa mengatasi anak-anak bandel dan malas yang kesulitan belajar," papar Paula.

Penghargaan Buat Jo

Hampir sama seperti suaminya, demikian Paula, Jo banyak mendapat penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia.

Inilah rincian satya lencana dan medali yang dianugerahkan kepada Jo.

"Bintang Mahaputra Utama tahun 1998 semasa Presiden BJ Habibie, Bintang Gerilya tahun 1958 semasa Presiden Soekarno, Satya Lencana Penegak tahun 1967 semasa Presiden Soeharto, Satya Lencana Peristiwa Kemerdekaan I tahun 1958 dari Menteri Pertahanan Djuanda, dan Satya Lencana Peristiwa Kemerdekaan II tahun 1958 dari Menteri Djuanda," katanya.

Kemudian, menurutnya, ada Satya Lencana Gerakan Operasi Militer I tahun 1958 dari Menteri Djuanda, Satya Lencana Gerakan Operasi Militer II tahun 1958 dari Menteri Pertahanan Djuanda, dan Medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia tahun 1954 dari Menhankam Ali Sastroamidjojo.

"Makanya, wajar jika Nona Jo layak untuk diusulkan menjadi salah satu Pahlawan Nasional dari kalangan perempuan Indonesia," tutur Paula Sinjal lagi.