Warga Pulau Padang Mulai Depresi

id warga pulau, padang mulai depresi

Warga Pulau Padang Mulai Depresi

Pekanbaru, (ANTARARIAU News) - Aktivis Serikat Tani Nasional yang ikut aksi jahit mulut di Jakarta, Rabu mengungkapkan, peserta aksi menolak pengelolaan 27 ribu hektare lahan oleh PT RAPP di Pulau Padang, Kabupaten Meranti, Provinsi Riau, kini mulai depresi.

"Memasuki hari ke-31, terjadi penurunan kondisi kesehatan para penduduk asal Pulau Padang yang menduduki sebuah lokasi di komplek DPR RI, Senayan, ini. Malah ada yang mulai depresi," kata Binbin Firman Tresnadi ketika dihubungi dari Pekanbaru.

Koordinator Serikat Tani Nasional (STN) ini mengungkapkan, Sulatra, (37), warga Pulau Padang, merupakan salah satu peserta aksi yang sudah mulai depresi.

"Dia sering bicara sendiri dan mulai tak bisa dikontrol. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan Bupati Meranti Iwan Nasir harus bertanggung jawab karena selama ini ingkar janji bertemu kami untuk mencari solusi," katanya.

Kendati begitu, menurut dia, ratusan peserta aksi unjuk rasa (yang kini mulai berkurang), di antaranya, melakukan jahit mulut tersebut, tetap bersemangat melanjutkan aksi penolakan pengelolaan lahan PT RAPP di wilayahnya.

"Kami kaum tani Indonesia dari Riau, tetap menduduki DPR untuk tegakkan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945. Pemerintah harus diyakinkan bahwa rakyat harus dibela, bukan selalu jadi korban para konglomerat," kata Binbin Firman Tresnadi.

Karena itu, mereka tetap mendesak Pemerintah Kabupaten, Provinsi, hingga Pemerintah Pusat agar berpihak kepada rakyat dan kepentingan nasional.

Dikatakannya, pekan lalu, warga Pulau Padang, Kabupaten Meranti, Provinsi Riau, ini kembali dibuat kecewa, karena jajaran Kementerian Kehutanan ingkar janji bertemu mereka, pada Jumat (6/1).

"Itu menjadi bukti terjadi lagi pengingkaran pemerintah terhadap rakyatnya. Janji pertemuan antara warga, Bupati Meranti dan Menteri Kehutanan (Menhut) gagal. Yang terjadi, bupati kabur, menteri 'ngacir," ungkapnya.

Kepada ANTARA Riau, aktivis prowarga dan petani Pulau Padang ini menyatakan, dari sikap ingkar janji berulang ini, makin jelas Menhut beserta jajaran birokrasi Kabupaten Meranti berpihak kepada pemodal.

"Kami masih sangat berharap, jajaran birokrasi pemerintahan di pusat dan daerah jangan melupakan kepentingan rakyat. Sebab, alasan mereka meninggalkan gedung kementerian ketika itu 'gak' jelas, tak ada konfirmasi ke kami," katanya.

Padahal, menurut dia, pihak kementerian yang menjadualkan pertemuan ini.

"Makanya, kami tetap bertahan di komplek DPR RI, Senayan, sambil terus mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan yang setuju pencabutan Surat Keputusan Menhut Nomor 327 atau penghentian operasional PT RAPP di Pulau Padang," katanya.

Dalam hal ini, kata dia, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, DPR RI dan Dinas Kehutanan (Diskut) Provinsi Riau akan terus dikonsolidasikan untuk menolak SK Menhut tersebut.

"Kami berharap, Sukanto Tanoto yang merupakan orang nomor tujuh terkaya di Indonesia versi Forbes, yang merupakan pemilik PT RAPP, sadar diri. Anda sudah sangat kaya. Berilah kesempatan kepada rakyat untuk menikmati kehidupannya secara layak," tuturnya.

Sedangkan kepada jajaran birokrasi pemerintahan, dia sangat berharap agar mulailah lebih peduli kepada kepentingan rakyat yang memberi amanat kepada mereka untuk memimpin negeri ini.

"Persoalannya, dengan rentetan kejadian belakangan ini, termasuk kurang atensinya birokrasi pemerintahan terhadap rakyat, kendati sudah melakukan aksi jahit mulut di komplek DPR RI, Senayan, Jakarta, sulit memang memperoleh kepedulian itu," ujarnya.

Binbin mempertanyakan kepedulian jajaran birokrasi pemerintahan Kementerian Kehutanan. "Mereka pasang badan untuk PT RAPP," tandasnya lagi.

Dikuasai

Binbin Firman Tresnadi menyatakan, para petani tetap bertekad sampai kapan pun menegakkan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945.

"Ini sudah hari ke-26 kami melakukan aksi penolakan atas SK Menhut yang jelas-jelas merampas hak-hak rakyat banyak. Dengan gampangnya PT RAPP dapat lahan seluas hampir 30 ribu hektare, sementara rakyat untuk dapat 0,5 Hektar saja sangat sulit dan dipersulit," tuturnya.

Dari catatan yang ada pada sejumlah aktivis pembela kepentingan warga Meranti menunjukkan, masyarakat setempat hanya disisakan lahan untuk tanaman unggulan 4.121 Hektar, tanaman kehidupan 1.904 hektare, infrastruktur 808 hektare dan areal tidak produktif 2.895 hektare.

Sementara itu, di Pekanbaru, kalangan industri berharap konflik antara perusahaan industri kehutanan dan sebagian warga di Pulau Padang bisa segera dicarikan solusi terbaik.

Direktur Eksekutif Kamar Dagang dan Indusgtri (Kadin) Provinsi Riau, M Herwan mengharapkan, agar hal ini tidak berlarut-larut karena telah mengganggu iklim investasi di provinsi tersebut.

"Secara langsung maupun tidak langsung, konflik di Pulau Padang Kepulauan Meranti, Riau, akan berdampak buruk terhadap iklim investasi di Riau," katanya.

Terhadap hal ini, Sekretaris DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Pekanbaru menyatakan, pemerintah dan dunia usaha jangan terkesan lebih pro kaum kapitalis, ketimbang membela kepentingan rakyat sendiri.

"Jangan suka berkoar-koar atas nama investasi, lalu kepentingan rakyat dikorbankan. Jangan pula mengkambinghitamkan rakyat, jika nilai investasi merosot. Sangat naif yang begini," tandasnya.

Secara terpisah, Asisten Manager Media Relation RAPP, Salomo Sitohang mengatakan, sejatinya konsep hutan tanaman industri PT RAPP di Pulau Padang adalah sebagai zona penyangga (buffer zone).

Intinya, menurut dia, berupa konsep cincin (ring) yang melindungi area inti kawasan lindung dari perambahan liar.

Alokasi operasi RAPP untuk tanaman pokok di Pulau Padang, menurut dia, hanya 25,6 persen atau sekitar 27.375 hektare dari total luas Pulau Padang sekitar 110.000 hektare.