Pesawat Kepresidenan Tidak Untuk Kemewahan

id pesawat, kepresidenan tidak, untuk kemewahan

Pekanbaru - Anggota Fraksi Partai Demokrat di DPR RI, Paula Sinjal menyatakan, pesawat kepresidenan tidak untuk pamer kemewahan, tetapi demi menekan besarnya biaya perjalanan dan terkait upaya memperlancar kinerja kepala negara.

"Setiap kepala negara memiliki aktivitas yang tinggi, termasuk melakukan kunjungan kerja ke berbagai daerah, baik kunjungan dalam negeri maupun luar negeri," katanya kepada ANTARA Riau, Rabu.

Dikatakannya, untuk memperlancar kunjungan kerja inilah, Presiden RI membutuhkan alat transportasi udara yang terjamin keamanannya.

"Tahukah kita berapa anggaran kunjungan kerja selama ini ketika pemerintah menggunakan jasa pesawat komersial dari salah satu BUMN? Setiap tahun rata-rata anggaran carterannya Rp183.935.509.935,- dengan rata-rata realisasi Rp162.758.869.545,-," ungkapnya.

Dengan demikian, menurut dia, jumlah anggaran yang disediakan dalam waktu lima tahun mencapai sebesar Rp919 miliar atau 91.967.754 dolar AS.

"Karenanya, dengan membeli pesawat kepresidenan, diharapkan bisa menekan biaya perjalanan dinas Presiden RI sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan," kata Anggota Komisi II DPR RI dari daerah pemilihan (Dapil) Sulawesi Utara ini.

Disetujui DPR

Paula Sinjal mengatakan, pesawat Boeing Jet-2 yang diperkirakan mulai dipergunakan tahun 2013 sebagai pesawat kepresidenan, pada mulanya dibandrol seharga 62 juta dolar AS.

"Akan tetapi, setelah diadakan negosiasi, disepakati harganya jadi 58 juta dolar AS atau sekitar Rp496 miliar dan sebagai uang muka disetujui sebesar Rp200 miliar yang sudah disetujui oleh DPR dalam APBN 2011," ungkapnya.

Dikatakannya, Indonesia merupakan negara besar, tak hanya dari aspek sejarah, budaya, populasi, tetapi juga wilayah geografinya.

Karena itu, kebutuhan fasilitas transportasi bagi Presiden RI dalam menjalankan roda pemerintahan, masih wajar serta patut didukung.

"Kalau kita lihat dari APBN tahun 2012 saja mencapai sekitar Rp1.300 triliun dan angka itu akan naik sekitar 15 persen per tahunnya. Jadi, anggaran Rp496 miliar (untuk pesawat kepresidenan) itu masih realistis, dilihat dari besarnya APBN," ujarnya.

Apalagi, demikian Paula, anggaran untuk membeli tidak dibayar sekaligus, tapi bisa dicicil empat hingga lima kali APBN.

"Jadi, kalau ada LSM yang menuding Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bergaya hedonis dan bermewah-mewah, justru keliru. Sebab, pesawat tersebut tidak hanya dipakai untuk kali ini saja, namun terutama untuk Presiden Republik Indonesia selanjutnya," tuturnya.

Paula Sinjal berpendapat, pengadaan pesawat kepresidenan itu sudah mendesak dipakai untuk melayani gerak Presiden RI.

"Di masa depan, kepala pemerintahan kita dituntut banyak berdialog dengan rakyatnya di 33 Provinsi dan sekitar 480 kabupaten maupun kota se-Indonesia yang tersebar secara geografis di wilayah kepulauan luas," ungkapnya.

Di samping itu, menurut dia, hal ini lebih baik ditinjau sisi keamanan, dibanding kalau carter pesawat yang sering berganti.

"Selain itu, ini soal prestise kepala negara dari sebuah negara besar di mata dunia. Misalnya saat pertemuan antarkepala negara di dunia. Masa' hanya Presiden RI saja yang menggunakan pesawat komersial carter, sementara negara-negara lain yang bahkan secara ekonomi masih di bawah kita sudah memiliki pesawat kepresidenan," tuturnya.

Karena itulah, Paula Sinjal mengatakan, sebagai bangsa yang besar, selayaknya bangga dan mendukung dengan kebijakan pengadaan pesawat kepresidenan ini.