RI harus tegas soal CPO

id ri harus, tegas soal cpo

Pekanbaru (ANTARARIAU News) - Wakil Ketua Komisi VI DPR RI yang membidangi Perdagangan, Perindustrian, Koperasi, UMKM dan BUMN, Aria Bima (Fraksi PDI Perjuangan), mengingatkan Pemerintah RI harus tegas kepada AS terkait soal minyak sawit mentah (CPO).

"Amerika punya banyak kepentingan bisnis dengan Indonesia, jadi, semestinya mereka menjaga hubungan baik, termasuk dalam berdagang," katanya, Selasa.

Selain memiliki pelbagai usaha pertambangan, Amerika merupakan eksportir utama komoditas kedelai, jagung, dan gandum ke Indonesia.

Ia menegaskan itu melalui jejaring komunikasi kepada ANTARA, menanggapi sikap Amerika Serikat (AS) yang dinilainya sepihak, dan kurang mengindahkan hubungan baik kedua negara tatkala menyampaikan notifikasi penolakan impor produk CPO dari Republik Indonesia (RI).

"Pemerintah RI perlu menyampakan penjelasan terkait tuduhan AS, bahwa produk CPO kita melewati batas ambang emisi, sehingga dinilai tidak ramah lingkungan atau 'unsustainable product'," tandasnya.

Selain itu, menurutnya, Pemerintah RI juga perlu betul-betul mengimplementasikan prinsip-prinsip 'Indonesian Sustainable Palm Oil' (ISPO) dalam budidaya sawit maupun proses produksi CPO.

"Tetapi, bila penjelasan semestinya tidak digubris juga, kita perlu membalas tindakan sepihak AS tersebut dengan langkah yang tegas," kata politisi PDI Perjuangan ini.

Terlebih, lanjutnya, mulai 1 Maret 2012 sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011, Indonesia mulai mewajibkan implementasi prinsip budidaya dan produksi minyak sawit ramah lingkungan (ISPO).

Nuansa 'Perang Dagang'

Aria Bima mengatakan, langkah tegas perlu diambil, mengingat apa yang dilakukan AS dengan menolak produk CPO dari Indonesia, diakui atau tidak, lebih kental nuansa 'perang dagang'nya.

Ia menduga, diam-diam pihak AS khawatir jika produk minyak sawit dari Indonesia yang lebih murah akan menggusur minyak kedelai, jagung, dan biji bunga matahari, sebagai bahan baku biodiesel atau biofuel mereka.

Aria Bima menjelaskan, data 'Oil World' menunjukkan, presentase konsumsi minyak kedelai terus menurun dan dilampaui minyak sawit.

"Pada 1980, minyak kedelai mendominasi pasar minyak nabati dengan total 13,4 juta ton (33 persen). Pada saat yang sama minyak sawit baru memiliki market sebesar 11 persen dan total produksi 4,5 juta ton," ungkapnya.

Namun sejak tahun 2009, menurutnya situasi terbalik.

"Minyak sawit menguasai 34 persen 'market' dengan total produksi 45 juta ton, sementara minyak kedelai hanya memiliki pangsa sebesar 27 persen dengan total produksi 35,9 juta ton. Jadi intinya kan di situ," tuturnya.

Dikatakan, sebagai produsen utama kedelai dunia, AS kemudian mulai mencari-cari alasan untuk menolak produk minyak sawit dari Indonesia.

Makanya, jika perlu, kita bisa membalas dengan menyatakan produk 'junk food' ala AS yang bertebaran di kota-kota besar negara kita sebagai makanan sampah dan tidak baik bagi kesehatan manusia. Begitu pula dengan produk soft drink mereka.

"Dengan alasan itu, kita pun bisa melarang mereka masuk Indonesia," tandasnya.

Ia benar-benar amat menyayangkan sikap AS itu.

"Sebagai bangsa adikuasa, AS idealnya memberi contoh bagaimana seharusnya perdagangan yang 'fair' dan adil dilaksanakan di muka bumi ini. Bukan malah maunya untung sendiri, sementara negara lain dibiarkan buntung," ujarnya.

Jika AS maunya tetap untung sendiri begitu, menurutnya, mungkin memang demikianlah watak asli kapitalis.

"Yakni, maunya bangsa lain menjadi pelayan bagi mereka selamanya," kata Aria Bima.