Sekeluarga mengungsi akibat keretakan hebat

id sekeluarga mengungsi, akibat keretakan hebat

Pekanbaru - Safrije (54), bersama isterinya, Zuriati (44) dan delapan anak kandung serta dua orang anak angkatnya terpaksa mengungsi ke daratan nyaman setelah rumah yang dihuninya mengalami keretakan hebat akibat dihantam hujan lebat.

"Sudah empat hari kami mengungsi. Karena memang rumah yang kami tempati rusak berat. Dindingnya retak, dan bahkan air sumur tidak lagi bisa tersedot akibat selang didalamnya putus. Ditambah lagi dengan kloset yang juga terkena retakan tanah. Untuk mandi dan buang air kami terpaksa numpang ke rumah tetangga atau di semak-semak," kata Safrije yang ditemui di lokasi pengungsian, tidak jauh dari rumah naasnya, Kamis.

Ayah delapan anak kandung dan dua anak angkat ini mengatakan, keretakan rumah mulai dirasa sejak Senin (12/3), setelah hujan lebat dengan durasi yang panjang melanda sebagian besar Kota Pekanbaru, termasuk di sekitar hunianya yang berada di Jalan Budi Luhur, RT 01/RW 19 Kelurahan Sail, Kecamatan Tenayan Raya.

Safrije juga mengakui, tidak hanya rumahnya yang mengalami keretakan, namun juga ada beberapa rumah tetangga terdekat lainnya.

"Kalau dihitung-hitung, ada lima rumah yang mengalami keretakan. Tapi hanya rumah saya yang paling parah. Kami terpaksa mengungsi karena takut rumah ini roboh," katanya.

Semakin hari, demikian Safrije, pergeseran tanah atau keretakan yang membelah dinding-dinding rumahnya itu semakin membesar sehingga rawan rubuh.

Kejadian ini menurutnya, bisa jadi disebabkan beberapa faktor, salah satunya hujan lebat dan mungkin juga akibat maraknya penambang tanah liat yang digunakan untuk membuat batu bata.

"Sebelum-sebelumnya, penambangan tanah batu bata dilakukan dengan cara tradisional atau dengan menggunakan cangkul. Tetapi sejak dua tahun belakangan, pengelola sudah mulai menggunakan alat berat jenis eskavator sehingga getarannya sangat terasa," ujarnya.

Sebenarnya, kata dia, sejumlah warga yang tinggal disekitar lokasi penambangan sudah mulai mengalami keresahan, takut-takut terjadi longsor secara tiba-tiba.

Akhirnya demikian Safrije, keresahan warga sekitar termasuk dirinya terjawab, dimana terjadi keretakan hebat, disulut lagi dengan hujan deras yang turun secara beruntun.

"Akibatnya, dinding-dinding rumah saya retak, terbelah dan terus semakin membesar. Kami pun terpaksa memilih untuk tidur di luar rumah," katanya.

Mendampingi Safrije, isterinya Zuriati mengaku bahwa keluarganya telah tinggal di lokasi penambangan tanah batu bata sejak tahun 1991.

"Suami saya sehari-harinya bekerja sebagai pedagang buah di Pasar Tangor (salah satu pasar tradisional yang berada di Kecamatan Tenayan Raya-red)," tuturnya.

Zuriati berharap, pemerintah dapat menaruh perhatian ke keluarganya, baik dengan memberikan sumbangan materi ataupun materil.

"Kalau bisa, bantu kami untuk membangun rumah, karena uang sudah tidak ada lagi. Suami saya ini sudah tidak berjualan sejak empat hari ini," katanya.

Pantauan ANTARA di lokasi kejadian menyaksikan kondisi bangunan rumah milik keluarga Safrije mengalami kerusakan cukup barah. Dinding ruang dapur dan bagian kamar belakang termasuk kamar mandi mengalami keretakan parah.

Tidak itu saja, lantai tumah yang berada di ruang tengah juga tampak membelah dengan kedalaman sekitar 40 centimeter dan lebar kurang dari 20 centimeter.

Informasi dari sejumlah anggota keluarga korban juga menyebutkan, rumah naas yang dihuni keluarga Safrije dahulunya juga dibangun oleh dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Riau lewat program Rumah Layak Huni (RLH).

Sementara pihak pengelola penambangan tanah batu bata yang diindikasi juga sebagai pemicu terjadinya keretakan di beberapa rumah yang berada di sekitar sejauh ini belum bersedia memberikan komentar.

Namun pihak korban mengaku telah melaporkan kasus tersebut ke pejabat di pemerintah kelurahan setempat