Alkisah, Manusia Perahu Pemburu Suaka

id alkisah manusia, perahu pemburu suaka

Alkisah, Manusia Perahu Pemburu Suaka

Mutu Kumar, seorang pria berkulit hitam bertubuh kekar melenggangkan kakinya keluar dari sebuah ruangan tempat ia keseharian bermukim setelah negaranya dipenuhi dengan konflik politik.

Pria berambut ikal dengan kumis tipis ini sedikit mampu berbahasa Indonesia. Hal ini diakuinya karena banyak belajar dari sang majikan tempatnya bekerja sebagai penjahit harian.

Mutu Kumar, merupakan pria 32 tahun asal Sri Lanka. Konflik persaudaraan antaretnis membuatnya enggan untuk menetap lebih lama di negaran asalnya.

"Saya lebih suka Indonesia, walau sebenarnya tujuan saya adalah Australia," kata Kumar menggunakan bahasa Indonesia. Meski kalimatnya sedikit "tercecer", pria ini dengan bangga menjawab pertanyaan wartawan yang menghampirinya di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Kota Pekanbaru, Riau. Senja itu, Kamis (17 Mei 2012).

Kumar, menurut catatan Rudenim Pekanbaru, telah bermukim sekitar satu tahun di sana. Ia tertangkap saat berlabuh di Pelabuhan Dumai, Riau, setahun yang lalu. Bersamanya, juga ada beberapa warga Sri lanka lainnya.

Pria bertubuh kekar ini mengaku tidak bisa menahan diri untuk tetap berdiam di pemukiman milik negara itu. Kebiasaannya yang rajin, memaksa pihak pejabat Rudenim Pekanbaru untuk memberikan izin bagi Kumar untuk bekerja di suatu tempat milik anggota kepolisian setempat.

"Sudah sejak beberapa bulan ini dia (Kumar) bekerja sebagai penjahit di unit usaha milik perwira polisi yang bertugas di Markas Polda Riau," kata Kepala Rudenim Pekanbaru, Fritz Aritonang.

Tidak hanya Kumar, Fritz juga terpaksa memberikan izin bekerja bagi sejumlah imigran lainnya, namun tetap ada penilaian terlebih dahulu.

"Mereka (imigran) yang berkelakuan baik, akan mendapat kompenasi berupa kelonggaran. Salah satunya yakni bekerja di sejumlah unit usaha yang ada di dalam kota," katanya.

Selain Kumar, demukian Fritz, juga ada Karan. Pria ini diberikan kompensasi kelonggaran dalam beraktifitas mencari nafkah untuk dirinya dan teman-teman seperjuangannya. Dia juga warga asal Sri Lanka yang menurut Kepala Rudenim sangat rajin.

"Sehingga kami pun tidak segan untuk memberinya kelonggaran. Bahkan kami memberikan pekerjaan untuknya di internal Rudenim. Yakni di Koperasi Mitra Jasa Rudenim, namun tetap dalam pengawasan," katanya.

Kemudian ada juga Mahsud, warga negara asal Iran. Mahsud kata Fritz, saat ini bahkan berprofesi sebagai pelatih olahraga khusus bola basket.

Keahliannya yang diatas rata-rata, membuat pihak Rudenim memberikan peluang bagi Mahsud untuk bekerja sebagai pelatih pada tim putri junior bola basket Provinsi Riau.

Bahkan menurut Fritz, warga asal Iran ini telah berulang memberikan hal yang terbaik dalam perjuangan tim bola basket putri junior dikejuaraan setingkat daerah maupun nasional.

Kebebasan yang diberikan untuk para imigran ini, demikian Fritz, tidak lain adalah demi memberikan ruang bagi mereka untuk berkarya tanpa harus mengekang hak asasi yang memang sepantasnya mereka dapatkan.

Upaya ini sekaligus untuk membina para imigran agar lebih mandiri dan tidak hanya tergantung pada belas kasihan negara.

"Meski tidak jarang pengertian menyalah keluar dari berbagai sumber, kami tetap saja melakukan apa yang menurut kami adalah hal yang wajar dan tidak melangkahi undang-undang," katanya.

Fritz menjelaskan, upaya pemberian hak kebebasan terhadap sejumlah imigran yang memiliki prilaku baik dan santun telah seusai dengan ketentuan Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2011 Pasal 87 ayat dua (2) yang menyatakan bahwa para imigran adalah korban dari penyeludupan manusia.

Artinya, lanjut dia, para imigran tersebut berhak mendapatkan perlakuan yang baik, termasuk salah satunya yakni memberikan mereka ruang untuk bekerja guna menafkahi dirinya sendiri maupun keluarga yang ada bersamanya.

Imigran Membludak

Data Rudenim Pekanbaru menyebutkan, saat ini jumlah imigran gelap yang tertampung di sana ada sebanyak 127 orang, berasal dari beberapa negara konflik.

Untuk yang berasal dari Afghanistan, dijelaskan ada sebanyak 55 orang, dimana 20 diantaranya merupakan kaum perempuan dan 35 lainnya adalah berjender laki-laki.

Sementara sebanyak 28 orang merupakan asal atau warga negara Iran, seluruhnya merupakan laki-laki dewasa yang berumur lebih dari 17 tahun.

Kemudian juga dijelaskan bahwa untuk yang berasal dari Pakistan ada sebanyak 14 orang, 12 laki-laki dan dua lainnya merupakan kaum 'hawa'.

Selanjutnya, yakni sebanyak 18 orang imigran laki-laki asal Sri Lanka, dua Iraq dan ada sebanyak 10 orang pria dan wanita dewasa asal Miyanmar.

Jumlah imigran di Rudenim Pekanbaru tersebut dikabarkan jauh meningkat dibandingkan tahun sebelumnya (2011), dimana masih belum mencapai angka 100 orang.

Pembludakan angka imigran gelap di Rudenim Pekanbaru menurut Fritz disebabkan lambannya pengeluaran izin suaka politik untuk mereka (para imigran).

Bahkan menurut dia, ada beberapa imigran yang telah lebih dua tahun, namun belum kunjung mendapatkan kejelaskan mengenai hak suaka mereka.

Kewenangan dalam pemberian hak suaka menurut Firtz berada di Lembaga Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk urusan pengungsi yakni, "United Nations High Commissioner for Refugees" (UNHCR).

Selama dua tahun ini, kata dia, entah dimana kendalanya dan nggak jelas alasannya, lembaga PBB ini belum juga mengeluarkan rekomendasi untuk para imigran pemohon suaka politik bagi imigran yang terkurung di Rudenim Pekanbaru.

"Bahkan hampir setiap hari, imigran yang lama tidak kunjung mendapatkan suaka politiknya itu bertanya-tanya kepada saya. Saya nggak mau membuat kecewa mereka, untuk itu saya mencoba menghubungi nomor telepon perwakilan UNHCR di depan mereka, toh' selama ini tidak pernah aktif," katanya.

Karena alasan tersebut, demikian Firtz, makanya masih banyak para imigran negara konflik termasuk asal Afghanistan dan Pakistan serta beberapa negara lainnya yang masih saja menetap di Rudenim Pekanbaru.

"Kami tentu sangat khawatir dengan hal yang demikian. Terlebih kapasitas atau daya tampung Rudenim Pekanbaru yang memang terbatas," katanya.

Dia menguraikan, untuk saat ini memang kondisi Rudenim Pekanbaru masih mencukupi menampung para imigran pemohon suaka politik.

Kendati demikian, katanya, jika realisasi pemohon suaka tidak kunjung tuntas, maka lama kelamaan Rudenim juga akan penuh.

"Bayangkan saja, saat ini sudah ada 127 imigran di Rudenim Pekanbaru, sementara kapasitasnya adalah 188 orang. Ini artinya, kapasitas hanya tersisa sekitar 61 imigran lagi," katanya.

Menuju Pulau Chrismas

Fritz kembali menguraikan, bahwa rata-rata imigran yang mendekam di berbagai ruang penginapan di Rudenim Pekanbaru merupakan pemohon suaka politik dengan tujuan Pulau Chrismas, Australia.

"Kalau pun ada yang tidak, mereka adalah berasal dari negara yang sebenarnya tidak berkonflik. Nah, mereka ini akan dipulangkan atau dikembalikan ke negara asalnya," kata dia.

Pulau Chrismas, bagi para imigran yang berasal dari negara konflik adalah sebuah pulau impian yang memang sangat mereka idam-idamkan.

Inilah sebabnya, kata dia, mengapa banyak imigran yang ingin menetap di pulau itu. Selain untuk menghindari konflik di negara sendiri, mereka (para imigran) juga ingin mencari 'surga dunia' atau yang mereka sebut sebuah kebebasan.

"Terkadang, atau bahkan banyak sekali, para warga negara asing tersebut yang memilih jalan pintas menuju pulau itu. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya imigran gelap yang tertangkap tangan tengah berada di Indonesia khususnya Riau dengan tanpa memiliki dokumen yang sah," katanya.

Contoh kasus terkini, demikian Fritz, yakni kasus 22 imigran asal Afghanistan dan Pakistan yang tertangkap tangan tengah berada di satu transportasi darat tanpa memiliki dokumen keimigrasian yang sah.

Sebanyak 22 imigran gelap tersebut sebelumnya diamankan oleh unit Intel Kodim 0303 Bengkalis di wilayah daratan Desa Tanjung Leban, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis pada Selasa (14/5) dinihari pukul 03.00 WIB.

Selain kasus ini, kata dia, masih banyak contoh kasus lainnya yang menandakan bahwa Indonesia memang menjadi salah satu negara tujuan transit mereka menuju pulau impian.

Bahkan, kata dia, Indonesia sudah sejak lama menjadi negeri pilihan untuk transit menuju negeri idaman, Australia atau Selandia Baru.

Tak sekedar transit, banyak oknum warga negara Indonesia (WNI) yang ternyata turut memfasilitasi imigran gelap tersebut atau biasa disebut dengan penyelundup manusia (human smuggler).

Riau, memang salah satu rute terbaik para "manusia perahu" untuk menuju Pulau Christmas, pulau terluar Australia yang berpenduduk kurang dari 1500 jiwa dan berjarak lebih dekat ke Indonesia (pantai selatan Jawa Barat) ketimbang ke daratan Australia.

"Rute lainnya adalah pantai selatan Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB hingga NTT. Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Namun Riau menjadi lintasan favorit mereka menuju sejumlah daerah tersebut," katanya.

Alkisah para imigran atau pencari suaka (manusia perahu) rata-rata juga mengaku telah terusir dari negaranya sendiri, hingga harus mencari daratan lain untuk disinggahi dan menetap di sana.

Menurut data Lembaga Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk urusan pengungsi yakni, "United Nations High Commissioner for Refugees" (UNHCR), disebutkan bahwa jumlah pencari suaka di negara maju meningkat hingga 20 persen pada tahun 2011.

Data UNHCR juga menyebutkan, di tahun 2011 tercatat ada sekitar 441.300 orang pencari suaka, atau jauh meningkat dibandingkan tahun 2010 yang baru mencapai 368.000 orang.

Peran Indonesia

Untuk diketahui, Indonesia sampai saat ini belum menjadi anggota (party) dari Konvensi Pengungsi 1951 maupun Protokol 1967 dan juga tidak mempunyai mekanisme penentuan status pengungsi. Ungkapan ini dibenarkan oleh Kepala Rudenim Pekanbaru Fritz Aritonang.

Oleh karena itu, selama ini Badan PBB yang mengurusi pengungsi (UNHCR) yang memang memiliki kewenangan penuh dalam memproses sendiri setiap permohonan status pengungsi di Indonesia dengan dibantu badan internasional lain seperti International Organization for Migration (IOM).

Bagi mereka yang ternyata memang pengungsi, UNHCR berupaya mencarikan solusi yang berkelanjutan baginya, yang biasanya berupa pemukiman kembali ke negara lain untuk mana UNHCR bekerja sama erat dengan negara-negara tujuan.

Kendati belum menjadi pihak dari Konvensi Pengungsi 1951, pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah selama ini telah mendukung proses-proses suaka tersebut dengan mengizinkan pencari suaka masuk ke wilayah Indonesia, merujuk para pencari suaka ke UNHCR, dan mengizinkan para pengungsi untuk tinggal di Indonesia sementara menunggu diperolehnya solusi yang berkelanjutan.

Namun, itu saja tidak cukup. Pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah dengan dukungan TNI/Polri juga harus mencegah dan menindak keras para penyelundup manusia asal Indonesia yang mengambil keuntungan dari penderitaan para pencari suaka dengan cara memfasilitasi, memberikan transportasi dengan sembunyi-sembunyi maupun dengan cara menipu, mengantarkan orang ke negeri lain melalui cara tidak resmi yang sekaligus melanggar hukum.

Terlebih Indonesia telah menjadi pihak (party) dari Konvensi PBB tentang Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi (UN Convention Against Transnational Organized Crime 2000) dengan meratifikasinya sejak April 2009 melalui UU Nomor 5 tahun 2009.

Terakhir, adalah satu otokritik untuk Indonesia dan negeri-negeri berpenduduk muslim lainnya, termasuk bagi negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Negeri asal pengungsi terbesar adalah negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim seperti Afghanistan, Irak, Iran, Somalia, Sudan dan Turkey.

Namun sebagian besar pengungsi justru tidak ingin mencari suaka di negeri muslim. Kalaupun mereka pergi ke negeri muslim hanyalah sekedar transit untuk kemudian menuju negeri-negeri barat seperti Amerika Serikat (AS) dan Canada, Australia dan New Zealand, serta ke negara-negara lainnya di Eropa.

***3***

(T.KR-FZR)