Ini dia...'Borok' Stadion Utama PON

id ini diaborok, stadion utama pon

Ini dia...'Borok' Stadion Utama PON

Segerombolan orang berpakaian rapi tampak turun dari sejumlah unit mobil mewah yang diparkirkan tepat di halaman luar Stadion Utama, Kamis (24/5). Paras wajah orang-orang itu tampak tegang, menyusup masuk kesebuah ruangan yang berada di dalam stadion megah senilai ratusan miliar rupiah.

Mereka adalah dari berbagai perwakilan subkontraktor pekerja fisik proyek Stadion Utama Pekan Olahraga Nasional (PON) ke XVIII Provinsi Riau dan perwakilan dari tiga perusahaan konsorsium terdiri dari PT Pembangunan Perumahan (PP), Adhi Karya dan PT Wijaya Karya (Wika).

Sementara subkontraktor yang tergabung dalam forum komunikasi yakni, PT Dekorindo, PT Thenaco Langgeng Jaya Abadi, PT Hari Puas and Son, PT Trijaya Maju Bersama, PT Datra Internusa, PT Hitchins Internusa, PT Alamidi Langgeng, PT Pesky Rekayasa Mediatama, PT Golden Ramp Contraction, PT Mitra Utama Karya dan PT Teknik Umum.

Kalangan ini membahas berbagai persoalan yang membelit proyek bersama itu, dimana tagihan subkontraktor sejak tujuh bulan terakhir senilai lebih Rp20 miliar tak kunjung dilunasi oleh pihak konsorsium.

"Kalau tagihan tak dilunasi, tidak hanya bunga perbankan yang terus membengkak, namun gaji buruh atau pekerja kami juga terancam tak dibayarkan selama lebih tujuh bulan," kata juru bicara forum komunikasi subkontraktor proyek Stadion Utama, Ari Setiawan.

Setelah menjalin pertemuan bersama antara subkontraktor dan pihak konsorsium, Ari Setiawan mengakui bahwa telah menemukan sebuah kesepakatan bersama.

"Konsorsium berjanji akan segera melunasi tagihan kami yang terus membengkak selama kurang lebih tujuh bulan terakhir. Bahkan ditaksir nilainya telah mencapai Rp20 miliar hingga Rp25 miliar," katanya.

Ancam Membongkar

Sebelum menjalin pertemuan itu, lebih sepuluh subkontraktor secara resmi dihadapan puluhan wartawan berbagai media sempat mengutarakan ancaman akan membongkar berbagai proyek yang telah selesai dikerjakan.

Hal ini disulut lambannya konfirmasi oleh pihak konsorsium terkait persoalan mengapa tagihan proyek harus menunggak hingga kurun waktu tujuh bulan.

"Pada pertemuan ini, kami telah mendapat kesepakatan, bahwasannya tagihan akan segera dilunasi pada Rabu (30 Mei 2012) mendatang. Namun jika tidak juga direalisasikan, maka kami akan tetap membongkar proyek kami dan melelang barang-barang kami yang telah terpasang," kata Ari Setiawan.

Ari Setiawan menguraikan, keterlambatan pembayaran atau pencairan tagihan ini diakuinya, sebenarnya telah terjadi sejak empat bulan sebelum kedatangan tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam misi pengusutan kasus dugaan korupsi terkait proyek mega miliar itu.

"Sebelum KPK datang itu, konsorsium sudah empat bulan tidak membayar tagihan kami," katanya.

Hal tersebut kemudian diperparah setelah Rahmat Syahputra selaku Manajer Administrasi di konsorsium ternyata ditangkap dan ditersangkakan oleh KPK.

"Semuanya jadi semakin rumit dan tagihan terus saja menunggak dan sampai sekarang itu sudah lebih tujuh bulan," katanya.

Semenjak itu (Rahmat tersangka), demikian Ari Setiawan, semuanya semakin parah, tagihan terus membengkak dan kalau dihitung-hitung sampai saat ini sudah mencapai lebih Rp20 samapi Rp25 miliar.

Untuk diketahui, bahwa Rahmat Syahputra sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan suap terkait disahkannya Peraturan Daerah (Perda) No.6/2010 tentang Penambahan Anggaran Proyek Arena Menembak dan Perda No.5/2008 tentang Proyek Stadion Utama senilai Rp900 miliar lebih.

Bersamanya, KPK juga mentersangkakan Muhammad Faisal Aswan dan Muhammad Dunir (anggota DPRD Riau), serta Taufan Andoso Yakin (Wakil Ketua DPRD Riau).

Selain itu ada juga Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Riau Eka Dharma Putra dan Lukman Abbas mantan Kepala Dispora Riau yang kini menjabat sebagai Staf Ahli Gubernur Riau H.M Rusli Zainal.

"Kami (para sub kontraktor) sempat terus bersabar sebelum akhirnya bersepakat untuk membuat undangan untuk konsorsium guna membahas segala persoalan hingga akhirnya terealisasi pada hari ini (Kamis 24/5)," katanya.

Konsorsium Juga Korban

Terkait persoalan yang sama, perwakilan dari pihak konsorsium Nanang Siswanto menjelaskan secara umum bahwa saat ini proyek pembangunan Stadion Utama telah mencapai kesiapan progres inti sekitar 98 persen.

Namun dari kesiapan yang nyaris seratur persen ini, diakui, pihak konsorsium baru menerima pencairan dana kurang dari 82 persen (dari nilai proyek yang mencapai lebih Rp900 miliar).

"Sementara ini, yang belum dibayarkan oleh pihak Pemerintah Provinsi Riau pada konsorsium yang terdiri dari PT Adhi Karya, Wika dan PP, adalah mencapai Rp130 miliar. Di dalamnya itu, juga termasuk modal dari pembangunan proyek stadion yang saat ini ditangani oleh kawan-kawan pada subkontraktor," katanya.

Itu sebabnya, demikian Nanang, sampai sejauh ini konsorsium belum mampu untuk membayarkan sebagian tagihan proyek milik subkontraktor mengingat belum adanya pencairan dana dari pihak pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Riau.

"Kami juga mengakui, bahwasannya kami berutang oleh sejumlah subkontraktor yang dimaksud. Namun kami berharap pihak subkontraktor dalam hal ini ada sekitar 10 sampai 11 subkontraktor mengerti dengan kondisi yang tengah kami hadapi. Karena kami pun selaku konsorsium, belum menerima hak dari pemerintah daerah sejak Oktober 2011 lalu," katanya.

Kondisi demikian, kata dia, juga telah dijelaskan dalam pertemuan bersama para perwakilan subkontraktor hingga akhirnya keluar suatu kesepakatan dan kesepahaman bersama.

"Intinya adalah, kami dari pihak konsorsium bukan tidak ingin membantu. Kami akan menyelesaikan persoalan ini agar pekerjaan pembangunan Stadion Utama ini tidak terganggu dan selesai tepat waktu," katanya.

Nanang menjelaskan, antara pihaknya dan pemerintah daerah akan berupaya sekuat tenaga, bagaimana agar pencairan dana yang tersisa dapat segera dicairkan sebelum dilaksanakannya PON ke XVIII pada September 2012 mendatang.

Sementara itu, Kepala Bidang (Kabid) Olahraga pada Dispora Riau, Zulkifli Rahma menjelaskan bahwa persoalan yang saat ini tengah dihadapi pihaknya adalah disebabkan ketersediaan anggaran pada kas daerah yang memang terbatas.

"Pada kas yang dianggarkan, hanya tersedia sebahagian saja, sehingga seluruh tagihan atau pelunasan tidak dapat dilakukan sesuai dengan jadual yang telah ditetapkan," katanya.

Zulkifli menjelaskan, dari anggaran yang ditetapkan untuk proyek 'Main Stadium' yakni senilai Rp900 miliar, anggaran yang tersedia hanya setengahnya saja atau berkisar Rp450 miliar.

Itu sebabnya, demikian Zulkifli, pihaknya selaku pemilik proyek tidak mampu untuk merealisasikan sepenuhnya nilai proyek Stadion Utama.

"Namun kami akan mengusahakannya dengan berbagai cara. Salah satunya yakni kembali memprogramkannya ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan. Termasuk juga menuntaskan rencana revisi Perda No.5/2008 tentang Penambahan Anggaran Proyek Stadion Utama PON," katanya.

Kejanggalan

Staf bidang Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau, Triono Hadi mengatakan, kekosongan kas daerah khusus untuk anggaran proyek Stadion Utama senilai Rp900 miliar adalah sebuah hal yang ganjal.

Triono menjelaskan, bahwa proyek Stadion Utama PON Riau bukan merupakan proyek 'multiyears'. "Yang 'multiyears' itu kan' proyek PON keseluruhannya," kata dia.

Dan jika dikaji dari awal, demikian Triono, bahwasannya di tahun 2006 itu, untuk berbagai proyek PON telah dianggarkan dana sebesar Rp2,5 triliun melalui dana cadangan sebesar Rp500 miliar pertahun yang bergulir hingga tahun 2012.

Kemudian dipertengahan jalan di tahun 2008 sampai tahun 2010, kata dia, pihak pemerintah daerah kemudian melakukan penambahan-penambahan anggaran, mulai dari Peraturan Daerah (Perda) No.5/2008 tentang 'Main Stadium' dan Perda No.6/2010 tentang Pembangunan Arena (Venue) Menembak.

"Nah, kalau untuk 'Main Stadion', itu jelas telah dianggarkan sebesar Rp900 miliar, karena itu termuat dalam Perda No.5/2008. Jadi sangat tidak masuk akal ketika anggaran yang dimaksud itu belum sampai ke pos anggaran dalam hal ini Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Riau," katanya.

Kalau dirunut lagi lewat peryataan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau, Johar Firdaus yang menyatakan kalau anggaran tersebut telah memenuhi aturan, itu menambah penguatan jika anggaran sebenarnya telah sampai ke pos anggaran daerah.

Hal demikian yang menurut dia memunculkan berbagai pertanyakan ditengah khalayak. Kemana anggaran tersebut ?. Indikasinya, kata dia, tentu ada upaya penyelewengan anggaran.

Kemudian, jika juga merunut pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 tahun 2008 tentang hal-hal yang dimaksud, demikian Triono, juga menjelaskan bahwasannya pembayaran atau penambahanan anggaran itu ada mekanisme bakunya.

Dimana, kata dia, dalam setiap penenderan sebuah proyek, harus ada anggarannya terlebihdahulu. "Jadi sangat mustahil jika anggaran dalam kas daerah itu kosong atau belum seratus persen," katanya.

Hal ini yang kemudian menampangkan bahwa proyek 'Main Stadium' adalah 'sarangnya' masalah, khususnya untuk kasus korupsi.

Menurut pandangan Fitra, kata dia, jika kasus proyek Stadion Utama itu terkuak secara tuntas, maka bisa jadi dan sangat besar peluang akan terbongkar pula berbagai permasalahan di proyek-proyek PON lainnya.

Kejanggalan lainnya pada proyek Stadion Utama PON Riau, kata dia, yakni rencana revisi Perda No.5/2008 dimana akan ada penambahan anggaran sebesar lebih Rp200 miliar.

Hal ini menurut dia sangat luar biasa kenjanggalannya, mengingat dalam Peraturan Presiden tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa dijelaskan bahwa etalase untuk peningkatan plafon anggaran itu maksimum 10 persen dari yang telah dianggarkan.

"Bagaimana bisa pemerintah daerah justru ingin meminta penambahan anggaran sebesar Rp200 miliar dari yang dianggarkan sekitar Rp900 miliar. Besaran ini bahkan lebih dari 20 persennya dan sangat janggal. Seharusnya, 10 persen dari Rp900 miliar adalah Rp95 miliar, dan ini kenapa kok' meminta sampai mencapai Rp200 miliar lebih," katanya.

Kejanggalan seperti yang sebenarnya menurut dia, kemudian menimbulkan berbagai pertanyaan besar terkait sejumlah proyek PON khususnya 'Main Stadium'.

Dia berharap, para penegak hukum dapat dengan jeli dalam mengusut berbagai persoalan terkait PON Riau seperti yang saat ini telah ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menurut dia, juga sebaiknya turut andil untuk mangaudit keuangan daerah dan sejumlah brankas keuangan yang dialokasikan untuk berbagai proyek PON di Riau.

"Persoalan ini adalah persoalan rakyat, karena pembangunan berbagai proyek PON menggunakan uang negara yang bersumber dari uang rakyat," katanya.

Terlalu Mahal

Persoalan kasus 'Main Stadium' PON Riau sebelumnya juga sempat dipertanyakan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Riau Bidang Infrastruktur dan Jasa Konstruksi Prof Sugeng Wiyono.

Menurutnya, biaya pembangunan Stadion Utama PON XVIII di Kota Pekanbaru, Riau, terlalu mahal. Dimana jika dikalkulasikan dana pembangunan per kursi bisa mencapai sekitar Rp19,4 juta.

"Harganya kok bisa sangat mahal alasannya apa?. Sedangkan selama ini kami meminta data mengenai rancangan bestek dan rencana anggaran biaya tapi selalu ditutupi," kata Prof Sugeng Wiyono.

Sugeng juga mempertanyakan rencana Pemprov Riau yang meminta tambahan dana sekitar Rp200 miliar untuk pembangunan stadion utama PON yang dibangun di area Universitas Riau di Pekanbaru itu. Dengan begitu, apabila penambahan dana disetujui, maka biaya untuk proyek tersebut lebih dari Rp1,1 triliun.

Menurut dia, stadion utama PON dibangun di lahan seluas 66,4 hektare dengan luas bangunan 77.552 meter persegi. Kapasitas tribun untuk penonton mencapai 43.027 orang, dengan nilai kontrak pembangunan Rp832.497.207.

"Dengan demikian kalau kita hitung harga per meter persegi adalah Rp10,735 juta. Sedangkan, kalau dihitung harga per kursi penonton Rp19,438 juta per kursi. Apakah harga ini wajar atau pantas?," ujar Sugeng.

Dilihat dari harga standar bangunan berdasarkan pedoman harga pemerintah Provinsi Riau tahun 2011, lanjutnya, harga per meter persegi bangunan kategori khusus seperti untuk stadion PON seharusnya berkisar Rp6 hingga Rp8,5 juta per meter persegi.

Sebagai perbandingan, ia mengatakan pembangunan stadion berkasitas 40 ribu kursi di Gedebage, Jawa Barat, yang dibangun hampir bersamaan dengan stadion PON, hanya memerlukan biaya Rp623 miliar atau satu tempat duduk biayanya Rp16,4 juta. Kemudian stadion Palaran untuk PON Kalimantan Timur dengan kapasitas 50 ribu kursi hanya memerlukan biaya Rp800

***1***

(T.KR-FZR)