LBH Temukan Kasus Kriminalisasi Oleh Polisi

id lbh temukan, kasus kriminalisasi, oleh polisi

Pekanbaru, (antarariau) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menemukan kembali oknum Polri diduga melakukan kriminalisasi, rekayasa kasus, salah tangkap, penyiksaan untuk memperoleh pengakuan dan terhadap masyarakat yang sedang memperjuangkan hak-haknya.

"Atas kasus itu, pada usia Polri yang ke-66 tahun tersebut Kepolisian Republik Indonesia mendapat banyak sorotan, khususnya terhadap kinerjanya sebagai lembaga yang diberi kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan," kata pengacara sekaligus pengurus LBH Jakarta, Maruli Tua dalam surat elektroniknya diterima ANTARA Pekanbaru, Selasa.

Menurut dia, atas kasus dugaan rekayasa kasus, salah tangkap, penyiksaan untuk memperoleh pengakuan dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang sedang memperjuangkan hak-haknya menjadi 'coreng hitam' pada wajah sang Bhayangkara.

Ia menyebutkan, berdasarkan catatan LBH Jakarta pada tiga tahun terakhir, kepolisian menjadi aktor yang menempati peringkat teratas pelaku pelanggaran hak atas peradilan yang jujur.

Sepanjang tahun 2011 tercatat sebanyak 18 kasus keterlibatan oknum polisi dari 24 pengaduan.

Dibanding tahun 2010 memang kasus tersebut terjadi penurunan akan tetapi secara kualitas belum ada perubahan, ditandai dengan beberapa kasus berikut J.J Rizal merupakan korban salah tangkap anggota kepolisian Polsek Beji Depok bernama Briptu Antony, Briptu Supratman, dan Briptu Syahrir (pelaku dijatuhi hukuman disiplin 21 hari kurungan dan divonis oleh PN Depok tiga bulan penjara).

Rizal dituduh terlibat tindak pidana narkotika, ia mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh anggota kepolisian. Juga termasuk Aguswandi Tanjung yakni Sekjen Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia, yang sedang memperjuangkan hak-hak penghuni apartemen melawan kesewenang-wenangan pengelola Apartemen ITC Roxy Mas (PT. Jakarta Sinar Intertrade).

Selama proses di kepolisian Aguswandi ditahan sejak bulan oktober 2009. Aguswandi akhirnya divonis bebas oleh Mahkamah Agung pada bulan April 2011.

Selain itu juga Maya Agung Dewandaru yang tahun 2009, Maya Agung selaku Pengurus Serikat Pekerja Nasional melawan kesewenang-wenangan PT. Frans Putratex yang melakukan PHK sepihak terhadap anggota serikat.

Di tengah perjuangannya ia dikriminalisasi oleh Polisi dari Polsek Cikande, Serang dengan tuduhan penggelapan uang koperasi. Sekalipun telah terdapat pendapat ahli mengenai Koperasi yang menyatakan tindakan Maya Agung bukanlah tindak pidana, namun kepolisian bersikeras melanjutkan proses hukum. Maya Agung Dewandaru akhirnya terbukti tidak bersalah dan divonis bebas oleh Mahkamah Agung.

Syahri korban rekayasa kasus Polsek Bojong Gede, Depok. Saat berusia 15 tahun ia dituduh melakukan pencurian. Anggota kepolisian melakukan penyiksaan (disundut, dipukul) untuk memperoleh pengakuan Syahri.

Selain itu Syahri juga ditahan bersama dengan tahanan dewasa dan tidak dipenuhi haknya atas bantuan hukum. Syahri dinyatakan tidak bersalah dan divonis bebas oleh PN Cibinong yang kemudian diperkuat oleh keputusan Mahkamah Agung dan lainnya.

Seluruh kasus di atas, kepolisian hingga saat ini tidak memenuhi hak-hak korban, antara lain: hak atas pemulihan medis, psiko-sosial, nama baik, dan ganti kerugian.

Penegakan hukum terhadap polisi pelaku pelanggaran pun tidak berjalan. Dari 6 kasus di atas hanya 1 kasus yang berlanjut ke pengadilan, yakni kasus JJ Rizal. Sedangkan dalam 5 kasus lainnya, tidak satupun polisi yang dipidana.

Sedangkan proses penegakan kode etik maupun disiplin di internal kepolisian berlangsung tertutup hingga akuntabilitasnya pun diragukan, korban kesulitan untuk memantau dan mengetahui proses pemeriksaan.

Terkait dengan proses penyidikan, setidaknya terdapat 3 Peraturan Kapolri yang secara substansi menunjukan itikad kepolisian untuk menghormati hak-hak tersangka, antara lain Perkap No. No. 3 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana, Perkap No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian, dan Perkap No. 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian. Namun ketiga peraturan tersebut hingga saat ini belum sungguh-sungguh dijalankan, akhirnya upaya reformasi substansi yang positif tidak berdampak signifikan terhadap perubahan kultur di kepolisian.

Berdasarkan paparan di atas, kami para korban pelanggaran hak atas peradilan yang jujur, hak untuk bebas dari kesewenangan dari hukum kriminal serta hak untuk bebas dari penyiksaan bersama ini LBH Jakarta meminta agar diusianya yang ke-66 Kepolisian Republik Indonesia menciptakan kebijakan di internal kepolisian yang dapat mendorong penghapusan penyiksaan, mencegah terjadinya salah tangkap atau rekayasa kasus dan kriminalisasi terhadap warga negara yang sedang memperjuangkan hak-haknya.

Menindak tegas anggota kepolisian yang melakukan penyiksaan, rekayasa kasus dan kriminalisasi dengan ketentuan pidana yang berlaku.

Membuka akses informasi dan memberikan ruang keterlibatan yang memadai bagi para korban dalam proses penegakan disiplin dan kode etik kepolisian;

Memaksimalkan pengawasan di internal Kepolisian sebagai bagian dari proses mempercepat reformasi kultural kepolisian.

Menyediakan kebijakan mengenai mekanisme internal terkait pemulihan hak-hak korban-korban salah tangkap, rekayasa kasus, penyiksaan dan kriminalisasi.