Wajah-wajah ceria para pencari suaka

id wajah-wajah ceria, para pencari suaka

Wajah-wajah ceria para pencari suaka

Hanya di sebuah lapangan futsal, puluhan pria dan wanita asing itu tampak begitu ceria dengan sorot mata menunjukkan kebahagiaan disertai "hiasan" senyum yang beragam.

Beberapa saja yang masih terlihat murung, namun akhirnya turut tersenyum usai disapa manja sesama rekan satu nasib dan sepenanggungan.

Beberapa balita dan bocah ingusan yang berada di antara pria dan wanita dewasa itu, turut asik bermain. Berlari ke sana-sini menikmati kebersamaan yang terangkai dalam suatu acara buka puasa bersama dengan para pejabat Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Pekanbaru, Riau, Kamis (2/8) malam.

Mereka adalah para imigran dari berbagai negara konflik. Mulai dari Iraq, Iran, Afghanistan, hingga Palestina bahkan Rohingya Myanmar yang akhir-akhir ini mencuat kepermukaan, dikenal sebagai etnis terasingkan di negaranya sendiri.

Seluruh imigran itu rata-rata merupakan pengungsi yang tengah berburu suaka demi perlindungan dan jaminan hidup masa depan.

Seakan tidak ada perbedaan diantara mereka meski berasal dari berbagai negara yang berbeda. Warna-warni ras dan etnis menjadi "bumbu" kegembiraan di malam acara buka bersama pada Ramadhan 1433 Hijriyah yang disajikan pejabat Keimigrasian serta Rudenim Pekanbaru.

"Kami senang ada kegiatan seperti ini," kata Muhammed.

Pria ini mengaku berasal dari Iraq dan sengaja mengungsi bersama seluruh anggota keluarganya, yakni seorang isteri dan dua anaknya karena di negaranya tengah berkemelut perang berkepanjangan.

Muhammed yang sedikit mengerti bahasa Indonesia, mengaku amat terharu dengan kegiatan buka puasa bersama itu.

Sebagai seorang muslim, dia mengaku sangat mendambakan kebersamaan dalam beribadah, berkasih sayang, serta saling berbagi keindahan. Meski keindahan yang dimaksud merupakan kiasan untuk masa lalunya yang kian suram.

Rasa trauma masih membayanginya. Namun hangatnya keluarga baru di Rudenim Pekanbaru, membuat dirinya perlahan mulai melupakan masa lalu suram itu.

Hal sama juga diakui Ibrahim. Dia merasa bahagia berbagi duka dan keceriaan. Warga asing asal Afghanistan ini mengaku sengaja mengungsi dari negara asalnya juga disebabkan kemelut perang politik yang berkepanjangan.

Dia mengaku sangat beruntung bisa tiba dan menjadi penghuni sementara di Indonesia. Menurutnya, negara ini merupakan negara yang bersahabat dan patut menjadi sebuah percontohan bagi negara-negara lainnya.

"Indonesia tidak sama seperti negara lainnya yang pernah kami singgahi. Orang-orangnya ramah dan baik dengan kami," katanya dengan bahasa Indonesia yang tidak begitu fasih.

Ibrahim mengakui, sebelum tiba di Indonesia, ia bersama sejumlah anggota keluarga yang berjumlah enam orang sempat menyinggahi negara Malaysia.

"Di sana kami tidak begitu nyaman karena tidak ada keistimewaan. Namun di sini (Indonesia), semuanya menjadi saudara," ungkapnya.

Ibrahim dan Muhammed merupakan dua imigran pencari suaka dengan negara tujuan Australia. Di Rudenim Pekanbaru, keduanya bercampur baur dengan 67 imigran lainnya sesama pemburu suaka.

Dari 69 orang itu, sekitar 59 orang penghuni Rudenim Pekanbaru itu adalah kaum muslim, yang terdiri dari kalangan balita, remaja, hingga dewasa.

Kepala Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Pekanbaru, Fritz Aritonang, kepada ANTARA mengatakan, puluhan imigran tersebut rata-rata memiliki negara tujuan suaka, namun dominannya adalah Australia.

Fritz menguraikan, sebanyak 69 imigran asal negara-negara konflik tersebut, 51 diantaranya adalah kaum laki-laki dan sebanyak enam orang perempuan serta 12 anak-anak.

Untuk asal Afghanistan yakni ada sebanyak 16 orang, dimana 11 diantaranya pria dewasa dan dua lainnya wanita dewasa serta tiga anak-anak dengan umur dibawah 12 tahun.

Kemudian untuk asal Iran, demikian Fritz, yakni ada sebanyak 16 orang dan semuanya kaum laki-laki dewasa. Sementara untuk yang dari Iraq, lanjutnya, ada sebanyak tiga orang, dua laki-laki dewasa dan satu perempuan dewasa.

Untuk asal Srilanka dia merincikan ada sebanyak delapan orang laki-laki dewasa, Palestina ada 12 yang terdiri dari tiga orang laki-laki dewasa, tiga orang wanita dewasa dan enam orang anak-anak.

Sementara untuk asal Myanmar yakni ada sebanyak 12 orang. Semuanya laki-laki. Namun yang berstatus sebagai korban konflik etnis Rohingya yakni ada sebanyak lima orang.

Masakan Khas

Keceriaan dalam acara para pencari suaka itu, dilengkapi dengan berbagai menu masakan khas asal sejumlah negara para imigran yang digelar di lapangan.

Masakan khas negara asal penghuni Rudenim itu, mulai dari Iraq, Iran, Afghanistas, hingga menu masakan khas Rohingya Myanmar terpajang dalam barisan stan yang disediakan penyelenggara acara.

Situasi acara buka puasa bersama itu sama halnya dengan pertunjukan sebuah perlombaan menu makanan khas internasional.

Beduk bertanda akhir puasa jelang malam itu, menambah keceriaan puluhan imigran. Mereka mengerumuni setiap stan sajian masakan khas tersebut. Mereka saling berbagi keterampilan memasak dan menikmatinya secara bersama.

Tiada terasa duka konflik yang sempat mereka alami, karena Semuanya tampak sirna di dalam sebuah acara berbuka puasa pada bulan Ramadhan penuh hikmah, berkah dan ampunan itu.

"Kami senang dengan acara ini," kata Ahmad, warga Rohingya Myanmar yang turut ambil bagian pada stan menu berbuka puasa malam itu.

Ahmad sangat berharap, acara sama dapat terus dilakukan secara rutin. "Lampu sedikit berkedip, tapi tidak ada masalah bagi saya," katanya lagi.

Malam itu, listrik memang sempat berulang kali padam. Namun situasi gelap seketika itu menambah warna kebersamaan diantara para imigran. Tidak ada keluhan dan kesedihan. Acara buka bersama malam itu tampak benar-benar membawa keceriaan yang begitu indah.

Demi Kemanusiaan

Kepala Rudenim Pekanbaru, Fritz Aritonang mengatakan, kegiatan buka puasa bersama yang diadakan pihaknya merupakan bagian kegiatan sosial, demi rasa kemanusiaan.

"Acara ini mengangkat tema kebersamaan bersama para pencari suaka," katanya.

Tidak ada perbedaan antara imigran satu dengan yang lainnya, menurut Firtz, semuanya terangkum dalam satu kegiatan untuk menciptakan keceriaan di antara wajah-wajah sang pencari suaka.

"Acara buka puasa yang kami lakukan ini merupakan yang pertama. Tidak hanya untuk Rudenim Pekanbaru, namun juga di seluruh Rudenim yang ada di Tanah Air, acara seperti ini adalah yang pertama kalinya digelar," kata dia.

Fritz mengaku sangat senang dengan acara tersebut, dan diharapkan mendapat dukungan semua pihak dan agar juga dapat dilaksanakan di seluruh Rudenim yang ada di Tanah Air.

Menurutnya, imigran asal negara konflik bukan merupakan tahanan yang harus dikurung dalam suatu sel atas kesalahan tindak pidana yang mereka perbuat.

"Mereka (imigran), merupakan para pengungsi yang sengaja kabur dari negaranya untuk mendapatkan perlindungan," katanya.

Untuk itu, demikian Fritz, perlu dipahami bahwa tidak sepantasnya para imigran itu dikekang kebebasannya, terlebih dikurung dalam suatu sel yang membuat mereka merasa semakin teraniaya. ***1***