Reforminer: Intervensi Presiden Dibutuhkan Untuk Bioremediasi Chevron

id reforminer intervensi, presiden dibutuhkan, untuk bioremediasi chevron

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Lembaga Kajian untuk Reformasi Pertambangan, Energi, dan Lingkungan Hidup (ReforMiner Institute) menyatakan intervensi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sangat dibutuhkan untuk meluruskan kasus "bioremediasi" Chevron.

"Kasus ini merupakan kasus yang sangat berdampak pada investasi minyak dan gas nasional di kemudian hari," kata Wakil Direktur ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, kepada Antara usai menjadi pembicara pada Diskusi Ilmiah yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Riau di Pekanbaru, Senin.

Kasus dugaan korupsi proyek pemulihan tanah atau lahan yang tercemar limbah minyak bumi (bioremediasi) di areal kerja PT Chevron Pasiic Indonesia (CPI) Wilayah Riau ini sebelumnya telah menjerat sebanyak tujuh orang tersangka.

Lima di antaranya yakni dua kontraktor pemenang tender atas proyek tersebut dan tiga karyawan Chevron telah menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Sementara dua lagi juga karyawan Chevron satu masih berada di Amerika Serikat, dan satu lainnya atas nama Bachtiar Abdul Fattah dalam tahap pelengkapan berkas untuk dilimpahkan ke pengadilan.

Bachtiar sebelumnya pada tahun 2009 hingga 2011 sempat menjabat sebagai General Manager (GM) Sumatera Light South (SLS) Chevron di Minas, Kabupaten Siak, Riau. Kemudian pada 2011 hingga saat ini, dia menjabat sebagai "Vice President Supply Chain Management" (SCM) pada perusahaan yang sama.

Menurut Komaidi, kasis "bioremediasi" Chevron yang ditangani pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) merupakan bentuk pemaksaan penegakan hukum.

Hal demikian menurut dia, akan berdampak pada investasi migas nasional dikemudian hari, karena hal itu merupakan ketidakpastian aturan main.

"Kalau saya adalah seorang Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), saya akan merealokasi investasi tidak lagi pada dunia migas. Karena resikonya sangat besar dan ini tidak hanya mendatangkan kerugian besar bagi perusahaan, namun juga menjadi citra miring yang akan mempengaruhi seluruh investasi tidak hanya di Indonesia," katanya.

Menurut dia, KKKS yang sesungguhnya juga akan berfikiran sama untuk menghindari adanya kecurangan aturan main itu.

Ada dua pilihan, demikian Komaidi, antara KKKS akan melakukan pengalihan investasi dari migas ke proyek non migas, atau tetap berinvestasi migas, namun negara tujuannya bukan lagi Indoensia.

Fenomena itu menurut dia sudah sangat terasa, bahkan sebelum mencuatnya kasus "bioremediasi" Chevron, dimana dana untuk eksplorasi dan investasi migas terus mengalami pemerosotan cukup tajam.

"Apalagi dengan munculnya kasus yang tidak seharusnya menjadi kasus ini, KKKS tentunya akan berfikir 'seribu kali' untuk menanamkan investasinya di negara ini. Maka dari itu, sudah saatnya memang Presiden SBY mengintervensi kebijakan hukum atas kasus 'bioremediasi'," katanya.

Pada kesempatan sama, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) wilayah kerja Sumbagut, Agung P Budiono, mengatakan, kasus bioremediasi merupakan bentuk ketidakpastian hukum oleh KKKS.

"Kasus ini sebenarnya adalah kasus perdata, namun dibawa hingga kepidana. Karena memang pada dasarnya, tidak ada nilai kerugian negaranya," katanya.

Hal demikian menurut dia, tentunya sangat berdampak pada dunia migas nasional, hingga diharapkan dapat segera diselesaikan dengan seadil-adilnya.

"Kalau terus berlatur-larut, bisa-bisa pihak investor migas akan mengalihkan 'pandangan' mereka ke negra tujuan lainnya. Dapat dijamin, hal itu akan mempengaruhi produksi migas nasional," katanya.