Pembantaian Gajah di Area Konservasi

id pembantaian gajah di area konservasi

Pembantaian Gajah di Area Konservasi

Gajah Sumatera atau Elephas maximus sumatranus kembali ditemukan mati untuk yang ke sekian kali dalam kondisi yang tidak wajar.

Kali ini hewan yang memiliki ciri khas belalai serta kedua gading diwajahnya itu, ditemukan dengan kondisi hanya menyisakan tulang belulang. Diperkirakan hewan mamalia itu mati sudah sebulan sejak ditemukan 10 September 2013.

Gajah liar tersebut merupakan penghuni di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Namun, binatang itu ditemukan mati di luar taman atau tepatnya di semak belukar kawasan Baserah, Kabupaten Pelalawan, Riau.

"Binatang itu mati sedang tidak berada di dalam kawasan Tesso Nilo. Gajah tersebut berkeliaran hingga ke kawasan hutan sekitar taman nasional," ujar juru bicara World Wildlife Fund for Nature (WWF) Riau, Syamsidar.

Hingga pertengahan September 2013, gajah liar di Tesso Nilo mati tidak secara tidak wajar berjumlah lima ekor.

Penyebab kematian gajah liar di Tesso Nilo bermacam-macam seperti akibat di racun. Hasil autopsi di lambung hewan malia raksasa itu ditemukan plastik bungkus deterjen dalam usus yang dicampur racun pada akhir Mei 2013 dan menimpa dua ekor gajah.

Pembantaian demi pembantaian gajah Sumatera terus terjadi di Riau, dan lucunya lagi terjadi di area konservasi di Taman Nasional Tesso Nilo.

Dugaan kuat akibat di racun dan sudah ratusan ekor yang mati disebabkan konflik dengan manusia, sehingga kawasan TNTN tidak aman lagi seiring hilangnya habitat dan beralih fungsi.

Catatan terakhir dikeluarkan WWF Riau, sudah 104 ekor gajah yang mati dengan cara dibunuh menggunakan racun atau zat berbaya lainnya sejak tahun 2004 hingga September 2013.

Belum maksimalnya upaya dilakukan aparat hukum dalam mengatasi konflik gajah versus manusia, membuat mamalia raksasa itu menjadi korban ditengah perambahan taman nasional menjadi kebun sawit dan karet liar.

Perambah bukan masalah baru

Polda Riau menyatakan delapan orang yang ditangkap dan ditahan Polres Pelalawan hanya sebagian kecil dari para pelaku perambahan atas rusaknya kawasan konservasi gajah di TNTN.

"Itu baru sedikit, sebab masih banyak lagi pelaku perambah hutan di Tesso Nilo dan berkeliaran sampai sekarang," ujar Kepala Bidang Humas Polda Riau, AKBP Hermansyah.

Pada Jumat (13/9), tim gabungan Polda Riau melakukan operasi terhadap aksi perambah liar di Tesso Nilo dan dibantu 60 orang personel dari Satuan Brigade Mobil (Brimob) Polda Riau.

Tim pemantau udara dipimpin langsung Kapolda Riau Brigjen Condro Kirono melihat adanya aktivitas dilakukan perambah di daerah Segati, Kilo Meter 82, areal inti TNTN pada sisi barat.

Selanjutnya, tim udara berkoordinasi dengan tim yang berada di darat untuk kemudian masuk ke lokasi dan akhirnya tim gabungan berhasil menangkap delapan orang perambah hutan TNTN.

"Perambah hutan Tesso Nilo masalah bersama dan membutuhkan perhatian serius untuk segera diselesaikan, terutama para pemangku kepentingan baik di pusat maupun di daerah," tegasnya.

Pada tahun 2010, Balai Taman Nasional Tesso Nilo melakukan operasi pembersihan paksa dengan merobohkan kelapa sawit ilegal dengan alat berat di areal inti TNTN salah satunya di Desa Bagan Limau, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan.

Dari target operasi seluas 2.500 hektare, tim operasi Balai TNTN bersama TNI, Brimob Polda Riau dan Polhut Kementrian Kehutanan hanya meratakan kebun sawit ilegal sekitar 200 hektare. Usaha penindakan itu, kini tidak jelas kelanjutannya.

WWF "diam"

Pemerintah menunjuk organisasi pecinta lingkungan WWF di Tesso Nilo sejak tahun 2004 dalam mengelola hutan secara kolaboratif melalui Kementerian Kehutanan, khususnya Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi yakni Balai TNTN.

Mulanya Tesso Nilo hanya memiliki luas 38.576 hektare pada 19 Juli 2004. Atas inisiatif WWF untuk menekan perambahan liar, maka ditunjuk TNTN sebagai area konservasi gajah dan harimau dengan menambah luas lahan 44.492 hektare.

Tesso Nilo ditetapkan sebagai taman nasional melalui perubahan fungsi dari Hak Pengusahan Hutan (HPH) yang totalnya luasnya menjadi 83.068 hektare pada 15 Oktober 2009.

Berdasarkan analisis citra landsat tahun 2000, luas hutan di Tesso Nilo serta hutan produksi terbatas yang kemudian dijadikan areal perluasan TNTN, tutupan hutan masih mencapai 75.335 hektare.

Taman nasional itu memiliki tingkat keragaman hayati yang sangat tinggi seperti terdapat 360 jenis flora tergolong dalam 165 marga dan 57 suku untuk setiap hektare.

Taman itu dikenal sebagai habitat aneka ragam jenis satwa liar dan langka seperti gajah Sumatera, harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), berbagai jenis primata, 114 jenis burung, 50 jenis ikan, 33 jenis herpetofauna serta 644 jenis kumbang.

Data Balai TNTN menyebutkan total luas kawasan hutan di TNTN yang semula 83.068 hektare, kini hanya tinggal 28.375 hektare mengalami deforestasi dan sebagian besar telah beralih fungsi.

Atau dengan kata lain deforestasi yang terjadi di TNTN sekitar 54.693 hektare atau 65,83 persen dari luas total hutan.

"Kalau yang kami lakukan ada beberapa upaya dan salah satunya Patroli Tesso Nilo terdiri dari Balai TNTN, BKSDA Riau, Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan, WWF dan forum masyarakat," ujar Syamsidar.

Seperti tahun 2006 sampai 2009 dilakukan secara intensif, sehingga ada yang tertangkap tangan perambah dan diproses hukum. Perambah berasal dari luar Riau dan pada tahun 2009 berjumlah 1.500 kepala keluarga mendiami TNTN, sedangkan 60 kepala keluarga diantaranya masyarakat asli.

Ketika ditunjuk menjadi taman nasional pada 2009, para pemegang hak pengusahaan hutan di Tesso Nilo melakukan upaya perlindungan sendiri seperti PT Nanjak Makmur mulai dari tahun 2004 telah dirambah.

"Tetapi perusahaan tidak melakukan pegelolaan dan tidak melakukan pengamanan. Akhirnya diduduki pendatang, walaupun sebagian besar mereka beli dari oknum kepala desa dan tokoh adat yang disebut batin," jelas Syamsidar.

Balai TNTN lindungi WWF

Informasi TNTN telah rusak parah karena dirambah tidak perlu ditutupi karena sudah terjadi sekian tahun yang lalu. Apalagi dengan hadirnya aktor Hollywood Harrison Ford untuk pembuatan film "Years of Living Dangerously" dan menjadikan Tesso Nilo sebagai lokasi syuting.

Kepala Balai TNTN, Kupin Simbolon justru menyalahkan orang terdahulu dan mempertanyakan kinerja yang dilakukan dalam mengawasi hutan Tesso Nilo yang kini dihuni perambahan liar serta punahnya habitat gajah.

"Jangan menyalahkan WWF karena secara ilmiah mereka telah mengusulkan jadi konservasi gajah dan harimau, sedangkan praktek lapangan kami sebagai pengelola yang melakukan," ujar dia.

Saat perambahan mulai terjadi, lanjutnya, kenapa tidak dilakukan operasi penertiban. Jangan kemudian diarahkan ke WWF, sebab kajian yang dilakukan organisasi lingkungan itu terhadap Tesso Nilo diperlukan suatu kawasan hutan lindung untuk melindungi ekosistem yang sangat kaya.

"WWF itu LSM yang tugasnya tidak mengawal, tapi berkolaborasi dengan aparat Balai TNTN. Aparat ini yang harus bertugas dilapangan untuk merapikan Tesso Nilo dan WWF hanya membantu memberikan dukungan," katanya.

Evaluasi upaya kolaboratif

Siapa yang benar dan siapa salah, tapi yang jelas karena ulah perambah membuat gajah Sumatera punah dan sebagian lagi kehilangan habitat. Maka patut dipertanyakan kemana gajah akan tinggal.

Laju deforestasi yang terkesan didiamkan WWF di TNTN, menyebabkan hanya tersisa 28.375 hektare atau 34,17 persen habitat gajah dan harus berbagi dengan harimau serta berbagai jenis hewan lain.

Anggota DPRD Riau Tony Hidayat menyatakan WWF harus ikut tanggung jawab atas deforestasi di TNTN. "Perambahan kini terus terjadi di TNTN, padahal ada NGO disana. Jangan pandai hanya menyalahkan pemerintah atau masyarakat sekitar dan sektor swasta," ujarnya

Kalau WWF bertanggung jawab karena telah hampir satu dekade di TNTN, lanjutnya, maka organisasi itu harus mencari dana membantu pemerintah untuk merelokasi area yang telah dirambah dan kemudian direhabilitasi dengan jenis tanaman hutan alam.

Langkah selanjutnya organisasi lingkungan itu harus memastikan tidak ada yang masuk untuk merambah, dengan cara menempatkan keamanan dengan melakukan patroli udara maupun patroli darat secara rutin.

"NGO yang berada di Tesso Nilo tidak bisa membawa dampak positif bagi kelangsungan TNTN di Riau. Ada juga NGO di Bukit Tigapuluh, toh taman nasional itu porak-poranda. Tetapi anehnya NGO itu eksis dan perambah hutan tetap berada disitu," ucapnya.

Tony pun mempertanyakan, "apakah NGO ini hanya ingin memperpanjang 'napas', sehingga pembalakan liar lebih mudah dihembuskan ke luar?. Saya tidak menuding, tapi khawatir. Karenanya pemerintah harus mengevaluasi," tegasnya.

Sudah saatnya untuk melakukan evaluasi terhadap upaya kolaboratif WWF di taman nasional dengan melibatkan para pemangku kepentingan terhadap keberlangsungan Tesso Nilo.