Pelaku Pembakar Hutan Bisa Dipenjara 15 Tahun

id pelaku pembakar hutan bisa dipenjara 15 tahun

 Pelaku Pembakar Hutan Bisa Dipenjara 15 Tahun

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Pakar Hukum Pidana Universitas Riau Dr Erdianto Effendi SH, M Hum mengatakan para pelaku yang terbukti sengaja melakukan pembakaran hutan bisa dipenjara lima belas tahun karena aksi mereka telah merugikan masyarakat dan lingkungan.

"Para pelaku pembakaran hutan dapat dijerat dengan UU No. 41/1999 tentang kehutanan pasal 50 ayat 3 huruf d yang berbunyi setiap orang dilarang membakar hutan, menebang pohon, bila dengan sengaja membakar diancam pidana 15 tahun penjara dan denda Rp5 miliar (pasal 78 ayat 3)," kata Dr Erdianto Effendi di Pekanbaru, Senin.

Pendapatan tersebut disampaikannya terkait peristiwa kebakaran di Riau sejauh ini masih terus berlangsung di sejumlah titik pada beberapa kabupaten/kota. Kabut asap masih menyelimuti sebagian besar wilayah termasuk Pekanbaru.

Bahkan kini peristiwa kebakaran lahan kembali terjadi di sekitar area perbukitan tidak jauh dari kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kotopanjang, Kabupaten Kampar, Riau, berbatasan dengan Sumatera Barat.

Api tampak masih menyala dengan kepulan asap tebal, namun tanpa ada upaya pemadaman dari masyarakat maupun aparat pemerintah setempat.

Menurut Erdianto, secara normatif, peraturan perundang-undangan untuk menjerat pelaku pembakaran hutan baik oleh individu maupun korporasi sudah cukup lengkap.

Dan jika karena kelalaian membakar hutan, kata dia, maka pelaku dapat diancam pidana lima tahun penjara serta denda Rp1,5 miliar (pasal 78 ayat 4).

"Selain itu pelaku juga dapat dijerat dengan Pasal 69 UU 32 tahun 2009 berupa pidana dan denda seperti diatur Pasal 108. Ancaman pidana minimal tiga tahun dan maksimal 10 tahun ditambah pidana denda minimal Rp3 miliar dan maksimal Rp10 miliar," katanya.

Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, maka pasal 116 menyatakan tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha. Dan/atau dijatuhkan pada orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

Pasal 119 memuat, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana. Kemudian penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan.

Lalu, perbaikan akibat tindak pidana. Selanjutnya, mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, dan/atau penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun.

Namun yang sering menjadi alasan pembebasan pelaku seperti dalam kasus Mr Ghoby dalam kasus kebakaran hutan di Kampar, majelis hakim berpendapat bahwa penggunaan sanksi pidana bersifat ultimum remedium. Artinya sepanjang sanksi di bidang hukum perdata dan administrasi telah diterapkan, maka sanksi pidana boleh tidak dijatuhkan.

Akan tetapi, merujuk kasus kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap secara rutin pada setiap tahunnya seharusnya mendorong para penegak hukum lebih berpikir secara progresif.

"Pemahaman sanksi pidana dalam kasus kebakaran hutan sebagai ultimum remedium (sanksi terakhir) patut dicermati kembali. Mengingat dan membaca perkembangan kebakaran hutan yang terjadi terus menerus, tidak ada salahnya dalam penegakan hukum kebakaran hutan dilakukan dengan mengedepankan sanksi pidana sebagai primum remedium (pilihan penghukuman yang utama).

Penggunaan sanksi pidana sebagai ultimum remedium ditentukan undang-undang karena sanksi pidana adalah sanksi yang paling keras yang berpotensi melanggar hak asasi warga negara.

Dalam hal ini, jika ada kekhawatiran penggunaan sanksi pidana dapat melanggar HAM warga negara, maka penegak hukum semestinya melihat persoalan kebakaran hutan secara komprehensif.

Tidak mungkin para pelaku di lapangan yang membakar hutan bertindak secara sendiri-sendiri, melainkan dilakukan secara sistematis dan terorganisir.

Karena itu, penegak hukum tidak perlu ragu dan segan menindak korporasi yang terbukti membakar hutan dan lahan. Jika korporasi yang dijadikan tersangka, kekhawatiran adanya pelanggaran HAM jika sanksi pidana digunakan tentu saja tidak lagi perlu ada.

Sanksi pidana dalam kebakaran hutan semestinya lebih diarahkan pada sanksi berupa pidana denda yang diharapkan bisa memberi efek jera bagi korporasi.

"Jadi jangan hanya pelaku di lapangan yang jadi objek penyidikan oleh penegak hukum, dan yang terpenting dari itu semua adalah jangan ada diskriminasi terhadap semua pelaku pembakar hutan dan lahan," katanya.