Riau Darurat Kejahatan Anak di Hari Anak

id riau darurat kejahatan anak di hari anak

Riau Darurat  Kejahatan Anak di Hari Anak

Sebagian orang tua mungkin baru sadar pentingnya menjaga dan mengawasi anak-anak mereka ketika ancaman masa depan buah hati kian mendekat.

Jika tidak, maka ancaman itu bisa "merobek-robek" masa depan anak bahkan hingga menemukan kematian seperti yang terjadi di Riau baru-baru ini.

Semisal kasus pelecehan seksual disertai pembunuhan dengan mutilasi yang dilakukan oleh empat tersangka di Kabupaten Siak.

Pelaku kejahatan itu bahkan menghabisi enam nyawa anak berumur 5,5 tahun hingga 10 tahun dan seorang pria 40 tahun mengalami keterbelakangan mental hanya dalam waktu kurang dari dua tahun (2013-2014).

Berawal dari kasus kehilangan anak yang kian marak, aparat Kepolisian Resor Kabupaten Siak, Provinsi Riau, melakukan penyelidikan hingga diamankan lima pria diduga pelaku sodomi disertai mutilasi.

Mereka adalah MD (19), AS (22), DP (16),B (45), dan R (45), merupakan warga Perawang, Kabupaten Siak. Namun dari hasil pemeriksaan, kepolisian hanya menetapkan dua orang sebagai tersangka, yakni MD dan DP, sementara AS, B dan R tidak terbukti dan dibebaskan.

Dari dua tersangka itu, aparat kemudian mendapatkan pengakuan, mereka telah melakukan pelecehan seksual dan memutilasi dua korban bernama Marjevan Gea, laki-laki berusia 8 tahun dan Femasili Madeva, laki-laki berumur 10 tahun.

Dari informasi itu, kepolisian kemudian melakukan penyisiran hingga ditemukan kedua jasad korban dalam kondisi tinggal tulang belulang di kawasan hutan tanam industri, tepatnya di Desa Pinang Sebatang Timur, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak.

Menurut pengakuan tersangka MD dan dan DP, kedua korban setelah disodomi kemudian dimutilasi pada waktu yang berbeda.

Untuk korban Marjevan Gea, pelaku MD membunuhnya pada 30 Juni 2014 bersama rekannya berinisial S, laki-laki berusia 26 tahun.

Aparat kemudian memburu S yang berhasil diamankan beberapa hari setelah penemuan jasad tinggal rangka tersebut pada 23 Juli 2014.

Sementara untuk korban Femasili Madeva dibunuh oleh ketiga pelaku, MD, DP dan S pada 18 Juli 2014 tidak jauh dari lokasi penemuan jasad korban pertama.

Penyidik kepolisian kemudian mendalami perkara tersebut hingga MD yang diduga menjadi otak pelaku kejahatan itu mengakui juga melibatkan DD, perempuan 19 tahun yang merupakan mantan isterinya.

DD akhirnya diamankan di rumahnya di Perawang, Kabupaten Siak untuk kemudian ditetapkan sebagai tersangka baru dalam perkara pelecehan seksual disertai mutilasi.

"Hasil dari penangkapan DD didapati pengakuan baru terkait adanya empat korban lainnya," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Siak, AKP Hary Budianto, Selasa (12/8).

Salah satu korban yang menjadi korban MD dan DD diketahui bernama Rendi Hidayat, laki-laki berusia 10 tahun.

Kedua tersangka itu mengaku membunuh korban dengan cara mutilasi pada 14 Agustus 2013 di belakang tempat pemakaman umum (TPU) Hiyatul Jannah, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak.

Aparat menemukan jasad korban juga tinggal tulang belulang yang berserakan di sekitar lokasi kejadian pada 7 Agustus 2014. Selain itu, juga ditemukan baju dan celana korban tidak jauh dari jasad.

Sementara itu, tiga korban lainnya adalah Muhamad Hamdi, laki-laki 19 tahun, Muhammad Akbar, laki-laki 19 tahun, dan terakhir Acik, laki-laki berusia 40 tahun yang belakangan diketahui mengalami keterbelakangan mental.

Untuk jasad Muhamad Hamdi ditemukan pada 7 Agustus 2014 di lokasi kejadian Jalan Stadion, Kota Duri, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, sementara jasad korban Acik ditemukan di Jalan Siak-Duri, Kecamatan Mandau.

Saat ditemukan, jasad keduanya juga tinggal tulang belulang. Untuk korban Muhamad Akbar, juga ditemukan pada tanggal yang sama setelah beberapa waktu pencarian di lokasi yakni di Jalan Beladang, Kilometer 10, Kecamatan Mandau, Bengkalis.

Jasad Muhamad Akbar juga ditemukan tinggal kerangka, kepolisian juga mengamankan pelampung dan sandal serta celana korban di lokasi yang dekat anak sungai itu.

MD dan DD melakukan pembunuhan itu pada 2013 saat keduanya masih berstatus suami-isteri, sementara saat ini keduanya telah bercerai.

Dari empat tersangka yang diamankan, yakni MD, DP dan S serta DD, terakhir kepolisian mendapatkan informasi tentang satu korban lagi yang menjadi mangsa MD.

Korban tersebut adalah Febrian Dela, bocah laki-laki yang masih berusia 5,5 tahun dan duduk di bangku taman kanak-kanak.

Pelaku mengaku membunuh bocah tersebut pada 10 Januari 2013 di Kampung Baru, Kelurahan Rengau, Kecamatan Rantau Kopar, Kabupaten Rokan Hilir.

Mengejutkan

Hasil dari pemeriksaan para tersangka terus menghasilkan hal-hal mengejutkan. Terakhir MD, selaku otak pelaku kasus pembunuhan kepada penyidik kepolisian mengaku turut memotong kemaluan tujuh laki-laki yang menjadi korbannya sebelum akhirnya dimutilasi dan dikubur.

"Sejauh ini keterangan tersangka masih akan terus dikumpulkan dan untuk kemaluan korban, tersangka mengakui memotongnya," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Siak, AKP Hary Budianto.

Kriminolog dari Universitas Islam Riau, Syahrul Akmal Latif memastikan tersangka MD bersama mantan isteri dan dua rekannya diindikasi melakukan sodomi disertai dengan memutilasi para korbannya untuk menghilangkan jejak.

"Kemarin saya dan tim dari Polda Riau juga telah turun ke lokasi untuk mengungkap sejumlah fakta baru," kata Syahrul.

Menurut dia, ada beberapa indikasi pelaku menjalankan aksi kejahatannya itu, salah satunya membunuh secara sadar.

"Pelaku melakukan tindakan sodomi terlebih dahulu, baru kemudian memutilasi para korbannya untuk menghilangkan jejak perbuatannya itu," kata dia.

Artinya, lanjut kata dia, jika dilihat dari indikasi ini pelaku tidak mengalami kelainan jiwa karena melakukan kejahatan tersebut dengan sadar dan ada upaya penghilangan jejak serta barang bukti.

Terkecuali jika pelaku melakukan pembunuhan terlebih dahulu baru melakukan sodomi terhadap korban, menurut dia hal itu baru ada indikasi kelainan jiwa.

Jika dilihat dari perbuatan yang dilakukan, demikian Syahrul, berkemungkinan besar pelaku kenal dengan korban

dan koban kenal dengan pelaku sehingga ada upaya penghilangan jejak tersebut.

"Pelaku memutilasi korbannya juga diindikasi sebagai upaya penghilangan identitas korban. Kemudian juga berkepentingan untuk mengaburkan kejahatan," katanya.

Sosial Lemah

Krimonolog Universitas Islam Riau, Syahrul Akmal Latif juga mengindikasi, para pelaku sodomi disertai mutilasi tujuh korban itu berasal dari kalangan sosial ekonomi lemah yang kemungkinan memiliki pemikiran-pemikiran singkat.

"Sebelumnya saya dan tim saya juga telah turun ke lokasi bersama pihak Polda Riau. Kami menemukan fakta itu," kata Syahrul.

Kriminolog mengatakan, kasus sodomi disertai mutilasi ini tidak lepas dari pemahaman dan latar belakang para pelaku yang memang cukup lemah.

Baik itu lemah dalam perekonomian, maupun sosial kehidupan sehingga memiliki sifat yang lari dari orang-orang pada umumnya, kata Syahrul.

Sementara itu, Kapolda Riau Brigjen Condro Kirono sebelumnya sempat menyatakan MD selaku otak pelaku diduga mengalami psikopat atau kelainan kejiwaan khususnya pada prrilaku seks.

Namun hasil tes kejiwaan, menyatakan tersangka MD dalam keadaan waras, bahkan saat memberikan keterangan dikepolisian, dia mampu untuk mengingat sejumlah korban kegilaanya.

"Meskipun dia (MD) adalah seorang psikopat, itu tidak membebaskannya dari jeratan hukum. Karena tersangka melakukan kejahatannya itu dengan sadar dan itu harus dipertanggung jawabkan," kata Kepala Bidang Humas Polda Riau, Ajun Komisaris Besar Guntur Aryo Tejo.

Lakukan Penyuluhan

Terkait maraknya kasus penculikan dan pembunuhan bocah, Kepolisian Daerah Riau juga telah menggelar penyuluhan untuk mengantisipasi terjadinya kasus-kasus tersebut.

"Sudah sejak lama kepolisian membuat program antisipasi itu, bahkan tahun ini untuk kegiatan preventif kepolisian terus menggencarkan guna mengantisipasi kasus penculikan dan pembunuhan," kata AKBP Guntur Aryo Tejo.

Ia mengatakan, Badan Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) Polda Riau sejauh ini masih terus memberikan penyuluhan terhadap sejumlah kalangan masyarakat dalam upaya antisipasi penculikan anak.

Guntur mengatakan, penyuluhan dilakukan dengan mendatangi sekolah-sekolah dan pesantren yang ada di tiap kabupaten/kota.

"Kami mengharapkan masyarakat dapat bersama-sama dengan kepolisian untuk melakukan pengawasan di daerahnya masing-masing," katanya.

Kalau ada pendatang baru yang tak dikenal, kata dia, sebaiknya untuk dilakukan pendataan dan melaporkannya ke Ketua Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW).

Masyarakat kata Guntur, juga diharapkan untuk bisa bersama-sama mengawasi lingkungan, dan senantiasa mengawasi anak-anak saat bermain.

"Berikan nasehat kepada anak-anak agar tidak menerima begitu saja iming-iming oleh orang tak dikenal yang ada di sekitar lingkungan," katanya.

Kalau ada yang mencurigakan, demikian Guntur, warga bisa langsung melaporkannya ke pihak kepolisian setempat.

Mengenai kelanjutan kasus pelecehan seksual disertai mutilasi, Guntur menyatakan kepolisian masih akan terus mendalami untuk mengetahui apakah ada korban-korban lainnya.

Perburuan tengkorak-tengkorak korban mutilasi oleh MD dan "cs" masih terus dilakukan, sementara masyarakat sebaiknya selalu waspada dan selalu menjaga anak-anak dari ancaman maut para predator seks.

"Karena ternyata, kebanyakan pelaku kejahatan ini adalah orang yang dikenal atau berada dan tinggal di sekitar lingkungan korban dan calon korbannya," kata Guntur.

Darurat Kejahatan Anak

Komisi Nasional Perlindungan Anak menyatakan dengan terjadinya kasus penculikan disertai pelecehan seksual dan mutilasi terhadap sejumlah anak di Provinsi Riau, sepatutnya pemerintah menetapkan daerah itu darurat kejahatan terhadap anak.

"Kasus tersebut seharusnya menjadi pembelajaran bagi pemerintah daerah. Dengan terjadinya kasus mutilasi yang sangat luar biasa dan teramat sadis, Riau patut sebagai daerah rawan kejahatan terhadap anak," kata Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak (PA) Arist Merdeka Sirait kepada Antara di Pekanbaru lewat sambungan telepon, Selasa (19/8).

Menurut dia, penetapan status daerah darurat anak itu dilakukan agar semua pihak baik pemerintah daerah, kepolisian dan masyarakat dapat terus mengingat kejadian kejahatan luar biasa tersebut.

Dengan terus mengingatnya, maka menurut dia pemerintah akan dapat melakukan upaya pencegahan lewat dunia pendidikan dan program-program perlindungan anak.

Sementara kepolisian, kata dia, juga dapat melakukan pencegahan dengan cara terus memonitor situasi keamanan di tiap daerah atau suatu kawasan.

"Untuk masyarakat, para orang tua diharapkan akan berupaya mengawasi dengan ketat anak-anaknya, terutama di lingkungan pergaulan dan permainan mereka," katanya.

Sementara saat peringatan Hari Anak Nasional, Gubernur Riau Annas Maamun mengungkapkan kesedihannya atas maraknya kejahatan anak yang terjadi akhir-akhir ini.

"Riau sudah ditetapkan sebagai daerah darurat kejahatan anak dan semua pihak mulai dari orang tua, guru, pemerintah dan pihak lain harus bersama-sama mengatasi persoalan ini," katanya.