Menata Ekonomi Riau Setelah 57 Tahun

id menata ekonomi riau setelah 57 tahun

Menata Ekonomi Riau Setelah 57 Tahun

Oleh FB Anggoro

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Bulan Agustus ini Provinsi Riau memasuki usianya yang ke-57 tahun, artinya setengah abad lebih sudah dilewati yang menabalkannya sebagai salah satu daerah dengan pertumbuhan ekonomi terpesat di Indonesia. Namun, untuk urusan infrastruktur, daerah ini masih jauh tertinggal bahkan untuk skala di Pulau Sumatera.

Secara statistik ekonomi Riau masih yang terbaik karena pertumbuhan ekonomi rata-rata 6-7 persen per tahun. Dari sisi nominal uang apalagi, karena karena Riau bisa dikatakan provinsi terkaya dengan APBD 2014 mencapai Rp8,8 triliun, dan PDRB mencapai Rp141.597,05 miliar pada triwulan II tahun ini.

Namun, pemerataan pembangunan masih menjadi isu yang sejak lama belum diselesaikan oleh pemangku kebijakan. Pembangunan infrastruktur hanya terasa di kota besar, terutama Kota Pekanbaru, sedangkan daerah pesisir maupun pedalaman nyaris tak tersentuh roda pembangunan.

Pemerintah daerah beralasan masalah tata ruang dan wilayah jadi salah satu pangkal masalah yang menghambat laju pembangunan. Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Riau hingga kini masih mengacu pada aturan tahun 1960-an, padahal kondisi sebenarnya sudah banyak berubah dalam tiga dekade terakhir.

Sebagai contoh, areal Kantor Gubernur Riau di Jalan Jenderal Sudirman dan sekitarnya dipusat Kota Pekanbaru. Sesuai peta Tata Ruang dan Wilayah yang berlaku, tempat itu masih dalam status kawasan hutan yang belum dilepaskan oleh Kementerian Kehutanan.

Hal itu menjadi salah contoh betapa peliknya para pengambil keputusan di daerah yang kerap dibuat meradang karena rencana pembangunan sering bertabrakan dengan aturan pengelolaan kawasan.

Selama kawasan hutan belum dilepaskan oleh Menteri Kehutanan, maka pemerintah daerah tidak bisa mengelolanya tanpa ada izin khusus seperti pinjam pakai yang butuh proses tidak sebentar untuk mengurusnya.

Pemprov Riau bukan tinggal diam karena sejak tahun 2000 telah mengusulkan agar tata ruang direvisi, namun proses di pemerintah pusat berjalan lambat bahkan stagnan. Proses revisi RTRWP Riau secara khusus sudah berlangsung sejak 2007 melalui Tim Terpadu yang rekomendasinya sudah ada hasilnya pada Desember 2012.

Dari usulan pemerintah daerah perihal pelepasan kawasan hutan seluas 3,5 juta hektar menjadi kawasan strategis nonkehutanan, hanya disetujui oleh tim terpadu seluas sekitar 2,7 hektare saja. Dirjen Planologi Kemenhut juga sudah mengajukan kepada Menteri Kehutanan untuk mendapat pengesahan pada tahun 2012. Namun, proses finalisasi belum dicapai karena belum disetujui oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan.

Tuntutan daerah makin menguat di akhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena Gubernur Annas Maamun, yang baru sekitar enam bulan menjabat, langsung merapatkan barisan dengan pengusaha, tokoh masyarakat dan mahasiswa agar pemerintah segera mengesahkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi (RTRWP).

Pelaku bisnis menuntut pengesahan RTRWP karena masalah ketidakpastian lahan telah berdampak negatif ke iklim investasi di Riau. Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Provinsi Riau, Viator Butar Butar, menyatakan sejumlah calon investor terpaksa menunda tanpa batas waktu untuk menanamkan modal di Kota Dumai karena belum ada kepastian hukum terkait status lahan.

"Tahun 2013 lalu, ada empat perusahaan asing yang menunda investasinya di Dumai karena masalah kawasan belum jelas. Hal ini merugikan negara karena masalah yang sudah lama tak kunjung selesai," keluhnya.

Menurut dia, banyak persoalan timbul karena RTRWP Riau tak kunjung disahkan oleh Menteri Kehutanan, baik dari pelaku usaha, masyarakat dan pemerintah. Pemerintah juga tidak bisa melakukan ganti rugi karena lahan yang berstatus hutan, sedangkan kenyataannya sudah ada kebun masyarakat tapi tidak mungkin negara bayar ganti rugi melepas hutan.

"Pemerintah Kota Dumai tidak dapat memproses permohonan perizinan investasi karena daerah dimohonkan masih termasuk sebagai kawasan hutan, sedangkan Rencana Umum Tata Ruang Dumai juga telah habis masa berlakunya sehingga tidak dapat jadi dasar pengeluaran rekomendasi maupun perizinan lokasi," katanya.

Kado Istimewa

Peringatan HUT Riau ke-57 pada tanggal 9 Agustus lalu ada pemandangan yang tak biasa karena kehadiran Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan.

Menhut melakukan kunjungan singkat, hanya sekitar satu jam, untuk menghadiri upacara di Kantor Gubernur Riau dan yang utama adalah mengantarkan Surat Keputusan (SK) Pelepasan Kawasan Hutan. Artinya, tinggal selangkah lagi proses RTRWP selesai.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan, pengesahan tata ruang Riau belum final karena masih perlu perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

"Yang saya bawa sekarang surat keputusan perubahan peruntukan dan nanti perlu diikuti dengan surat keputusan penunjukan. Karena itu masih ada waktu untuk perbaikan," kata Zulkifli Hasan.

Ia mengatakan pihaknya memberikan waktu selama dua pekan untuk gubernur, bupati dan wali kota untuk melakukan evaluasi dan perbaikan apabila memang dibutuhkan.

Zulkifli Hasan mengaku memaklumi apabila ada kekurangan dari pemerintah daerah karena proses RTRWP sudah berlangsung cukup lama sejak tahun 2006, dan Riau belum pernah mengalami perubahan tata ruang sebelumnya.

Ia mengatakan kementerian kehutanan kini terus mengembangkan pengelolaan kawasan berbasis pemberdayaan masyarakat (social forestry).

Menurut dia, pihak kementerian sudah mengeluarkan izin seluas 200 ribu hektare dengan izin pengelolaan 60 hingga 90 tahun untuk hutan desa hingga hutan tanaman rakyat.

Karena itu, ia berpesan agar pemerintah daerah di Riau untuk mengambil peluang agar masyarakat bisa mengelola kawasan hutan dari konsesi perusahaan yang sudah berakhir izinnya.

"Kalau masih ada di kabupaten/kota kawasan hutan yang berakhir izin perusahaannya. Cukup beri rekomendasi berikan untuk rakyat agar keadilan tercipta," katanya.

"Karena tak adil rasanya kalau orang luar negeri bisa buka lahan sampai ratusan ribu hektare, tapi kok orang Melayu tak punya lahan," lanjut Zulkifli Hasan.

Gubernur Riau Annas Maamun pun kini merasa sumringah dan mengatakan perjuangkan masyarakat Riau selama ini tidak sia-sia. Ia pun menilai pengesahan RTRWP menjadi kado istimewa pada peringatan HUT Riau bagi masyarakat.

"Sebenarnya itu secara berkebetulan saja. Dan menurut saya yang lebih tepat itu, merupakan hadiah dari kepemimpinan Presiden SBY kepada masyarakat Riau, karena RTRW disahkan diakhir masa jabatan beliau. Dan kita selaku masyarakat Riau patut memberikan apresiasi dan penghormatan kepada beliau khususnya," katanya.

Ia mengatakan RTRW selama ini menjadi dasar bagi pemerintah daerah dalam menjalankan pembangunan, maupun masyarakat secara umum, karena RTRW itu merupakan pengelolaan tata ruang tidak saja menyangkut tanah dan wilayah, namun juga statusnya. Lambannya revisi tata ruang, lanjurnya, justru menghambat pembangunan di Riau.

"Misalnya, pembangunan jalan dari Bagan Siapi-api ke Dumai yang terhalang karena melintasi lahan HGU milik sebuah perusahaan. Yang paling dekat, terhalangnya pembangunan tol Pekanbaru-Dumai akibat persoalan status lahan," katanya.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau Irwan Effendi mengatakan Kementerian Kehutanan sudah menyetujui usulan perubahan kawasan hutan dalam proses pengesahan RTRWP Riau. Ia mengatakan, Pemprov Riau telah mengirim surat revisi penetapan ke pihak Kementerian Kehutanan pada Kamis lalu (14/8), atau sebelum tenggat waktu dua minggu yang diberikan habis.

"Sudah disetujui oleh kementerian. Mudah-mudahan minggu ini sudah diteken (Surat Keputusan Menteri Kehutanan)," kata Irwan Effendi.

Penegakan Hukum

Pelaku bisnis yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Provinsi Riau mengharapkan pengesahan RTRWP dibarengi dengan komitmen pemerintah penegakan hukum untuk menertibkan perkebunan ilegal di kawasan hutan. "Kalau RTRWP Riau sudah disahkan, pemerintah harus berani dalam penegakaan hukum karena kalau tidak ya percuma saja," kata Ketua APHI Riau, Ahmad Kuswara.

Kuswara menilai belum adanya tata ruang yang jelas juga merugikan pengusaha karena sering menjadi sasaran kampanye LSM lingkungan karena dituding izinnya bermasalah. Padahal, ia mengatakan selama ini perusahaan sudah mengantongi izin resmi dari Menteri Kehutanan.

Kerena itu, selesainya RTRWP diharapkan bisa memberi kepastian hukum untuk berinvestasi dan perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah untuk menertibkan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan. "Soalnya, selama ini perusahaan dimata LSM lingkungan selalu dianggap salah melulu. Padahal, perusahaan juga berusaha membantu dan memberi kontribusi," keluhnya.

Gubernur Riau Annas Maamun juga memiliki pendapat senada bahwa LSM lingkungan, terutama lembaga asing, lebih baik tidak menganggu rencana investasi yang dilakukan oleh para investor setelah disahkannya RTRW. Ia meyakini kepastian tentang tata ruang akan mendorong masuknya investasi kehutanan dan perkebunan sawit, khususnya "industri hijau" yang dinilainya kesadaran untuk beroperasi secara ramah lingkungan dan sah sudah lebih baik.

"Masih banyak tugas kita lagi, masih banyak orang miskin. Sekarang, investor akan mampu membuat keputusan yang lebih efisien dan konsisten karena kepastian kawasan setelah disahkannya RTRWP Riau," kata Annas.

Menurut dia, kampanye LSM asing terkesan berkampanye tanpa memberikan solusi karena itu sebaiknya dihentikan karena bertendensi untuk menghambat pertumbuhan ekonomi daerah. "Kampanye-kampanye hitam mereka sebaiknya dihentikanlah, karena tidak membawa perbaikan. Apalagi bisa, langsung saja menyentuh kepentingan masyarakat terutama masyarakat miskin di Riau," tegasnya.