Akhiri Sengkarut Salah Urus Gambut

id akhiri sengkarut, salah urus gambut

Akhiri Sengkarut Salah Urus Gambut

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Pengelolaan lahan gambut di Indonesia menjadi sorotan karena kenyataannya kebijakan salah urus selama puluhan tahun mengakibatkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit, khususnya kerugian dari kerusakan lingkungan ketika terjadinya kebakaran. Dan ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia yang tak kunjung selesai.

Khusus di Provinsi Riau, kebakaran hutan dan lahan gambut seakan menjadi musibah yang terus berulang tiap tahunnya.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kerugian ekonomi dari bencana asap akibat kebakaran lahan dan hutan di Riau selama Februari hingga April 2014 lebih dari Rp20 triliun. Jumlah itu lebih dua kali lipat dari APBD Riau 2014 yang mencapai Rp8 triliun.

BNPB menghitung kerugian tersebut dari dampak bencana asap terhadap Produk Domestik Regional Bruto Riau yang telah mengganggu aktivitas perputaran ekonomi dan uang daerah sekitar 30 persen. Itu belum termasuk uang negara yang tersedot dari biaya penanggulangan bencana asap Riau yang juga sangat besar, yakni sekitar Rp164 miliar, atau sepertiga dari anggaran penanggulangan kebakaran nasional tahun ini yang mencapai sekitar Rp500 miliar.

Gambut sebenarnya merupakan jenis tanah kurang layak untuk bercocok tanam dan pembangunan. Lahan ini terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk, warnanya dominan hitam dan membal seperti karet namun bisa menyerap air dan karbon layaknya spons.

Kementerian Lingkungan Hidup mencatat Indonesia merupakan negara keempat dengan luas lahan rawa gambut terluas di dunia, yaitu sekitar 14 juta ha, dengan penyebaran umumnya terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Papua.

Dari luas tersebut, lebih dari 3 juta ha lahan gambut di Indonesia kini mengalami degradasi akibat kegiatan kegiatan pertanian, perkebunan, penebangan liar serta kebakaran hutan dan lahan.

"Kalau gambut sudah rusak, secara teknik mudah direhabilitasi tapi praktiknya sulit," kata Pakar tanah dan gambut dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr. Basuki Sumawinata pada dialog pengelolaan gambut di Kota Pekanbaru pada akhir Agustus.

Menurut dia kerusakan tersebut tidak lepas dari kesalahan kebijakan pemerintah di masa lalu yang tidak menerapkan sistem tata kelola air saat pembukaan lahan gambut untuk pertanian transmigrasi di Sumatera, dan juga proyek kelapa sawit satu juta hektare di Kalimantan Tengah pada 1998.

Ketika lahan gambut rusak karena pembuatan kanal yang tak dikelola dengan benar dan pembersihan lahan dengan dibakar, maka unsur hara lahan akan sangat miskin dan kandungan asam di air sangat tinggi.

"Kondisi sawah di lahan gambut milik transmigran di Delta Lebak Provinsi Jambi telah rusak dan produksinya hanya 0,8 ton per hektarnya," kata Basuki.

Metode tradisional bakar dan tebas (slash and burn) juga masih jadi andalan mayoritas petani kita dalam membersihlan lahan gambut untuk pertanian.

Ia mengatakan, cara konvensional ini memang ampuh untuk menyuburkan gambut. Namun ketika motif ekonomi sudah bermain dibelakangnya, yang muncul adalah kerusakan lingkungan akibat kebakaran yang meluas tak terkendali.

"Khususnya petani kecil, mereka masih menerapkan sistem tebas dan bakar yang sudah ketinggalan zaman. Apalagi, kalau dibelakang mereka ada toke (pemodal), maka yang terbakar bisa sangat luas," ujarnya.

Miskin Inovasi

Dr Basuki menilai, pemerintah Indonesia termasuk "miskin" dalam hal kebijakan yang mendukung inovasi dalam pengelolaan gambut berkelanjutan. Penegakan hukum dan larangan membuka lahan dengan membakar tidak diikuti dengan kebijakan pemerintah yang memberdayakan petani.

"Selama ini petani dilarang membakar gambut saja, tapi tak ada alternatif teknologinya dari pemerintah," katanya.

Ia mengatakan kebijakan penegakan hukum semata tidak akan efektif karena kebutuhan manusia akan lahan terus meningkat seiring laju populasi manusia dan pembangunan. "Pelarangan mengelola gambut dalam juga bukan solusi. Sebagai contoh, Kota Bengkalis dan Tembilahan di Riau itu berdiri di atas kubah gambut yang dalamnya mencapai sembilan meter," katanya.

Karena itu, ia mengatakan pemerintah harus memiliki visi yang maju untuk pengelolaan gambut. Petani yang miskin tetap harus dilindungi dengan bantuan modal, sarana dan ilmu untuk mengolah gambut secara aman. Ia mengatakan, pemerintah harus membuat sistem pengelolaan tata air secara terpusat seperti yang diterapkan oleh pemerintah Taiwan dalam pengembangan budidaya anggrek.

"Pemerintah harus mendukung penuh petani untuk mengelola gambut, karena butuh penanganan ekstra agar tidak rusak," katanya.

Menurut dia, pemerintah juga harus menerapkan metode yang benar untuk merehabilitasi gambut yang terlanjur rusak. Dukungan penuh untuk petani miskin sangat dibutuhkan karena memperbaiki gambut rusak butuh kesabaran dan dana tidak sedikit.

Ia mengatakan cara pertama yang perlu dilakukan adalah aliran tata air kanal harus diperbaiki sehingga gambut masih bisa menyerap air dan ketinggian airnya bisa dikontrol. Yang terpenting lagi, penggunaan pupuk juga tidak lazim dan tidak cukup dengan pupuk konvensional biasa karena diantaranya harus mengandung unsur besi dan seng.

Menurut dia, ada dua jenis tumbuhan yang cocok untuk program rehabilitasi gambut, yakni sagu untuk tanaman pangan dan akasia untuk hutan tanaman industri.

Karena itu, pemerintah perlu mempertimbangan untuk menggandeng pihak perusahaan dengan modal yang tinggi. Sebab, rehabilitasi gambut rusak tidak cukup hanya dengan menanam bibit pohon dan pupuk biasa.

Guru besar ekologi hutan Universitas Kyoto Jepang, Prof. Hisao Furukawa, menilai Indonesia telah memiliki banyak pengalaman dari berbagai kegagalan pengelolaan lahan gambut. Ia mengatakan kunci utama kesuksesan pengelolaan gambut adalah jangan pernah menguras habis kandungan airnya, serta pengembangan manajemen tata kelola air harus diterapkan dengan tingkat kontrol yang ekstra kuat.

Berdasarkan pengalamannya, Prof. Hisao mengatakan pengelolaan lahan gambut yang sukses bisa dilihat di Malaysia. Pemerintah Malaysia memfasilitasi petaninya di negara bagian barat seperti Selangor dan Malaka dengan menggunakan sistem pintu air untuk mengontrok tinggi muka air.

"Sistem ini sudah berfungsi bagi sejak sekian lama dan lahan gambut disana masih produktif untuk padi, karet dan tanaman pangan lainnya," ujar Prof. Hisao.

Meski begitu, Prof Hisao menilai pengelolaan gambut oleh industri kehutanan di Indonesia makin membaik dan aman untuk lingkungan. Ia mengatakan hal itu setelah bersama koleganya Profesor Isamu Yamada melakukan studi banding pada areal Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), yang berada di lahan gambut di Pelalawan, Riau.

"Kunci dari pengelolaan gambut adalah tata air untuk mencegahnya mengalami kekeringan dan subsidensi. Pemilihan jenis tanaman juga menentukan demi mengoptimalkan produksi tanaman yang dibudidayakan," katanya.

Bahkan, Furukawa mengaku terkejut dengan pertumbuhan ekonomi yang ditopang dari industri kehutanan di Pelalawan. Ia menyatakan saat pertama kali berkunjung 30 tahun lalu, hanya ada 1-2 rumah dengan jarak yang berjauhan.

"Kini ada banyak bangunan, toko, dan kesejahteraan masyarakat tumbuh pesat. Hal itu diperoleh dari pengelolaan lahan gambut yang baik," katanya.

Investasi Besar

Deputy Director Sustainability RAPP, Dian Novarina, mengatakan perusahaan menerapkan manajemen pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan tidak main-main dalam melakukan investasi untuk mendukungnya.

Ia mengatakan RAPP kini tengah memperbarui manajemen tata air (ekohidro) di lahan gambut dengan sistem sensor pintu air otomatis, yang diklaim mampu mencegah kebakaran lahan dan degradasi lingkungan.

"Kami sedang menerapkan sensor pintu air otomatis karena untuk mempermudah mengelola konsesi perusahaan yang luas karena tidak mungkin setiap saat kami datang ke lokasi," katanya.

Menurut dia, manajemen ekohidro terbaru itu jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan pembukaan kanal oleh perambah hutan, karena memperhatikan kontur geografi dan mencegah air di lahan gambut terkuras yang berpotensi memicu kebakaran. "Pintu air ini menggunakan sensor, kalau air (kanal) terlalu rendah maka pintu air menutup dan juga sebaliknya," katanya.

Pengoperasian pintu air akan dipantau terus di ruang kontrol khusus yang monitoringnya tersambung langsung menggunakan satelit. "Jadi monitoring secara real time dan akurat," katanya.

Hanya saja Dian belum bersedia membeberkan nilai investasi dalam teknologi canggih tersebut. Menurut dia, seluruh perusahaan dari grup Asia Pacific Resources International Limited (APRIL), termasuk didalamnya RAPP, menerapkan manajemen tata kelola air "ecohydro" yang biaya investasinya tidak sedikit di konsesi seluas sekitar 400 ribu hektare.

"Biayanya pengelolaanya berkisar 1.500 hingga 2.000 dolar AS per hektare," katanya.

Ia menambahkan, pihaknya tentu akan menyambut baik apabila ada kebijakan kolaborasi dengan petani untuk merehabilitasi lahan gambut yang rusak dengan ditananami akasia. "Dari pihak perusahaan, kalau ada kesempatan seperti itu tentu akan senang sekali," ujarnya.

Hanya saja, perlu ada aturan pemerintah yang mendukungnya seperti pola hutan tanaman rakyat, karena selama ini kebun akasia perusahaan harus berasal dari kawasan hutan, bukan lahan milik masyarakat.

"Dan sayangnya, masyarakat lebih suka menanam sawit," katanya.