Demokrasi Indonesia Dalam Eulogi

id demokrasi indonesia, dalam eulogi

Demokrasi Indonesia Dalam Eulogi

Jakarta, (Antarariau.com) - Banyak yang harus disyukuri oleh rakyat Indonesia, dari mana pun kategori kelas sosial mereka, atas perjalanan demokrasi di negeri ini, terutama setelah penyelenggaraan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 yang baru berlalu.

Banyak kalangan, termasuk pakar politik yang biasa disebut sebagai Indonesianis, mengungkapkan eulogi atau pernyataan pujian yang membanggakan pencapaian penyelenggaraan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014.

Tentu yang dipuji bukan hanya satu dua kelompok saja tapi hampir semua yang terlibat dalam proses Pilpres 2014.

Memang selalu ada kekurangan di sana-sini dalam setiap penyelenggaraan pemilu di mana pun dan kapan pun.

Dan kekurangan yang terjadi dalam Pilpres 2014 tak sebanding dengan pencapaian-pencapaian substansial yang memperlihatkan bahwa Indonesia sanggup menjalankan demokrasi dengan elegan, matang dan mengikuti prinsip-prinsip hukum yang menjadi penyangga demokrasi itu.

Simaklah apa yang dikemukakan R William Liddle, Indonesianis yang juga Profesor Emeritus Ilmu Politik, Ohio State University, Amerika Serikat.

Liddle menulis, International Foundation for Electoral System (IFES), yang sejak awal Reformasi memantau dari dekat pelaksanaan pemilu-pemilu di Indonesia, menyimpulkan bahwa Pilpres 2014 adalah yang terbaik dari segi pendaftaran pemilih dan pengorganisasian hari pemilih sendiri. Yang juga terpuji: keputusan Komisi Pemilihan Umum membuat rekapitulasi transparan dari awal supaya bisa diikuti semua orang.

Pujian juga diberikan pada polisi, tentara dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pernyataan Yudhoyono yang mengajak semua pihak agar menghormati hasil Pilpres ditujukan pada pihak yang paling berat menerima kekalahan.

Kini perhelatan demokrasi yang digelar dalam ajang Pilpres 2014 telah berakhir. Namun, semua pihak agaknya perlu terus waspada terhadap jalan terjal menuju demokrasi yang lebih mantap lagi, atau menjaga agar yang sudah tercapai tidak meluncur kembali ke dasar sehingga kembali ke titik nol demokrasi di Indonesia.

Banyak ikhtiar yang perlu dilakukan untuk menjaga agar demokrasi tetap terjaga dan kian mantap. Jika mengacu pada praksis demokrasi di negara-negara yang demokrasinya demikian mantap, salah satu ikhtiar itu adalah mendorong pesaing politik presiden terpilih dan parpol pengusungnya untuk memainkan peran sebagai kekuatan penyeimbang alias pihak oposisi.

Ya oposisi politik adalah terminologi yang tak perlu dimaknai sebagai sesuatu yang hanya memberi dampak destruktif dalam perpolitikan, seperti yang biasa distigmakan rezim otokrat.

Prabowo Subianto bersama Partai Gerindra dan parpol lain yang bergabung dalam aliansi atau koalisinya bisa secara bermartabat menjadi oposisi politik pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla yang sedang memerintah.

Kinilah saatnya legislator-legislator Partai Gerindra dan koalisinya memperlihatkan kiprahnya di parlemen benar--benar bekerja untuk rakyat.

Rakyat Indonesia kini sebagian besar sudah melek politik dan akan dengan mudah menilai siapa wakil rakyat yang bekerja hanya untuk kepentingan pribadi dan golongannya dan siapa yang bekerja untuk rakyat banyak.

Pertarungan politik yang sebenarnya, yang muaranya untuk kesejahteraan rakyat secara adil, adalah di parlemen.

Rakyat telah memilih politisi-politisi mereka dalam pemilu legislatif dan mereka yang mewakili rakyat itu kini ditagih untuk merealisasikan impian mereka menyejahterakan para pemilih.

Dalam konteks ini maka alangkah elegannya jika konsentrasi Prabowo Subianto dan koalisi parpol pendukungnya berhenti mempermasalahkan hasil Pilpres 2014 dengan terus menggugat legalitasnya lewat Mahkamah Agung dan Pengadilan Tata Usaha Negara setelah Mahkamah Konstitusi menolak semua permohonannya.

Konsentrasi mengawal legislator agar menjalankan politik yang benar-benar prorakyat merupakan pilihan kiprah yang mulia, meskipun kiprah ini muaranya adalah untuk mendapat simpati rakyat, yang pada gilirannya dapat mendukung yang bersangkutan untuk bertarung kembali dalam Pilpres 2019 mendatang.

Adagium Lord Acton pun masih berlaku bagi siapa pun sampai saat ini, termasuk bagi Jokowi-Kalla bahwa kekuasaan menggiring seseorang untuk berlaku korup. Di kelilingi banyak orang dan kepentingan yang silang-sengkarut dalam pusaran kekuasaan kepresidenan, Jokowi-Kalla akan diuji dan terus diuji.

Prabowo dan politisi oposan akan bisa dianggap membantu Jokowi-Kalla jika Prabowo dan kaum oposan ikut dalam proses pengawalan demokrasi, terus mengawal Presiden jangan sampai terjebak di jurang korupsi, kolusi dan nepotisme politik dan ekonomi.

Dalam konteks inilah maka ajakan Partai Demoktasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) untuk membuka lebar-lebar bagi parpol yang mau bergabung dengan pemerintahan Jokowi-Kalla tak harus disambut dan diterima oleh Partai Gerindra dan koalisinya.

Biarlah Jokowi bekerja sebagai presiden untuk menyejahterakan rakyat sesuai dengan platform politiknya, dan Prabowo memainkan peran penuh kehormatan sebagai kekuatan penyeimbang pemerintahan.

Masa lima tahun ke depan akan menjadi lomba siapa yang paling bekerja mewujudkan komitmen mereka terhadap rakyat.

Lima tahun ke depan adalah lomba untuk memperlihatkan kebaikan kepada rakyat. Dan sangat alamiah jika partai oposisi pada akhirnya dapat menang dalam kompetisi kepresidenan selanjutnya.

Pergantian pemerintahan secara damai dalam pilpres hanya satu fase normal singkat sebagai konsekwensi dari pertarungan demi kebaikan rakyat yang diperankan antara pemerintah dan pihak oposisi.

Sesungguhnya tak ada yang dramatik dalam demokrasi yang berlangsung makin hari makin mantap.

Drama kampanye hitam dan negatif tak perlu terjadi jika dalam lima tahun ini pertaruangan politik lewat parlemen antara parpol pendukung pemerintah dan parpol oposisi berlangsung terbuka dan semua itu untuk kepentingan rakyat.

Kampanye hitam dan negatif akan menyeruak kembali di Pilpres mendatang jika selama lima tahun ini yang terjadi adalah politik dagang sapi di parlemen.

Jika tak ada oposisi tapi yang ada adalah koalisi besar yang saling mendukung ikhtiar sembunyi-sembunyi untuk menggangsir (meminjam istilah pakar politik Mochtar Pabotingi) harta negara, riskan lah bagi demokrasi dan nasib rakyat.

Tampaknya, eulogi yang diungkapkan Indonesianis atas pencapaian demokrasi terutama saat Pilpres 2014 masih memerlukan kerja keras semua pihak agar demokrasi Indonesia semakin mantap dan bukannya merosot kembali ke titik nol.