Saya Farida: Sebuah Autobiografi Sang Maestro Balet Indonesia

id saya farida, sebuah autobiografi, sang, maestro balet indonesia

Saya Farida: Sebuah Autobiografi  Sang Maestro Balet Indonesia

Jakarta (ANTARA News) - Farida Oetoyo adalah penari balet yang mampu membuat bendera Merah Putih berkibar untuk pertama kalinya di Gedung Teater Bolshoi, Moskow.

Saat itu, 1965 Farida pentas kelulusan di gedung kesenian legendaris itu.

Ia juga yang menyusun kurikulum pengajaran sekaligus menetapkan standar pendidikan balet di negeri ini.

Kegigihannya membela kesenian di Indonesia mengantarnya terpilih menjadi Direktur Gedung Kesenian Jakarta, dari 1987-2001.

Buku berjudul "Saya Farida" yang diluncurkan pada Kamis (11/9) di Kemang, Jakarta Selatan, menceritakan banyak peristiwa penting dalam perjalanan hidup Farida Oetoyo.

Peristiwa-peristiwa inilah yang akhirnya membentuk Farida menjadi seorang penari yang tangguh dan berkarakter.

Di usia yang masih sangat muda, sembilan tahun, Farida telah mengetahui pilihan hidupnya: menjadi penari balet.

"Meskipun baru berumur sembilan saya sudah tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini, JADI PENARI. Jalan panjang itu terbentang di hadapan saya, dan saya tidak pernah berkhianat kepadanya sampai hari ini," tulis Farida.

Farida belajar balet di usia sembilan tahun di Singapura, pada waktu itu ayahnya yang seorang sekjen Kemenlu sedang bertugas di Indonesia Office (Indoff) di Singapura.

Ketika ayahnya dilantik menjadi Duta Besar RI pertama di Australia, tidak pernah sedetikpun Farida melupakan cita-citanya dan tetap belajar balet di Australia sampai tingkat lima.

Tidak hanya sampai di situ, Farida yang lahir pada tanggal 7 Juli 1939 juga belajar balet di Ludwig Werner di Jakarta dan untuk pertama kalinya menari di Gedung Kesenian Jakarta.

Pada tahun 1956 Farida pergi ke Belanda, menjadi penari profesional di Amsterdam dan menari di beberapa negara seperti Belanda, Jerman dan Belgia.

Sepulangnya dari Eropa ia mengambil alih The Jakarta Ballet School bersama Julianti Parani dan memberinya nama baru menjadi Nritya Sundara.

Namun, tidak lama setelah itu ia kembali meninggalkan Jakarta menuju Moscow untuk mempelajari balet lebih dalam dan lulus dari Akademi Balet Bolshoi menyandang gelar Artist of the Ballet dengan nilai cumlaude tertera di ijazahnya.

Pada tahun 1973 Farida juga menerima Fullbright Scholarship untuk belajar di New York, Jurusan Tari Universitas Colombia.

Ketika Farida kembali ke tanah air, banyak rintangan yang dihadapinya untuk mempopulerkan balet di Indonesia. Namun, langkahnya tak pernah surut.

Ia menggelar berbagai pementasan dan mendirikan sekolah balet. "Sumber Cipta," sekolah balet yang dirikan dan merupakan tempat baginya membaktikan diri untuk melahirkan balerina-balerina baru yang andal.

Buku yang berisi 40 chapter ini tidak hanya menceritakan tidak hanya menceritakan kisah perjuangannya menjadi seorang balerina sekaligus maestro balet legendaris Indonesia, namun buku ini juga menceritakan kehidupan pribadinya.

Masa kecil dari maestro balet yang lahir dari seorang nasionalis Raden Oetoyo Ramelan dan perempuan asal Belanda Mary Te Nuyl yang hidup dalam kondisi perjuangan kemerdekaan.

Hubungan dengan ibunya yang tidak begitu erat. Kisah cinta pertamanya saat berusia 13 tahun dengan lelaki asal Australia yang hanya berlangsung tiga bulan.

Kisah cintanya yang lain juga tertuang di dalam buku ini. Pertemua dengan sutradara kenamaan, Sjumandjaja, membawa Farida ke pernikahan dan melahirkan Arya Yudistira Syuman dan Sri Aksana Syuman (Wong Aksan), walaupun pada akhirnya pasangan itu bercerai.

Chapter terakhir, Conclusion, yang ditulis Farida pada saat sakit, berisi saat-saat akhir hidupnya dan bercerita tentang kesimpulan terhadap hidup dan bagaimana dia menemukan cinta yang begitu besar untuk Yudi dan Ahsan, anak-anaknya.

"I found out that to love someone is not ever lasting. The LOVE for my "Children", and now also my grand daughter is the everlasting love... My strength is still with me I hav nt given up on life because I am still in command of my body but one day when my body will fail me, that s when I will say goodbye to life...," tulis Frida.

Buku autobiografi dengan tebal 296 halaman ini diedit oleh penulis Djenar Maesa Ayu dan juga dilengkapi oleh foto-foto dokumentasi pribadi milik Farida Oetoyo.

Mulai dari masa kecilnya, kegiatan-kegiatannya mempelajari balet, karya-karya koreografinya yang dipentaskan, dan tak ketinggalan foto-foto bersama orang-orang terdekatnya, seperti suami dan anak-anaknya.