DPRD Pilih Kepala Daerah Harus dengan Catatan

id dprd pilih, kepala daerah, harus dengan catatan

DPRD Pilih Kepala Daerah Harus dengan Catatan

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Pengamat Politik dari Universitas Andalas Drs. Syaiful Wahab MSi menilai pemilihan kepala daerah sebaiknya memang dilakukan di lembaga DPRD namun harus dengan empat catatan atau ada beberapa hal yang harus dipenuhi.

"Pertama, partai-partai yang berhak mengajukan calon kepala daerah adalah partai politik yang memenuhi electoral threshold atau memenuhi standar minimal perolehan suara karena partai ini telah mendapatkan dukungan minimal warga negara dan memperoleh kursi di DPRD," kata Syaiful Wahab, dihubungi Antara Riau, Rabu.

Pendapat demikian disampaikannya terkait prokontra pemilihan kepala daerah terkait pembahasan RUU Pilkada.

Lalu bagaimana plus-minus kedua sistem pemilihan itu dan bagaimana terjemahan sila 4 Pancasila yang memunculkan demokrasi keterwakilan, yang menjadi rujukan sistem Pilkada tidak langsung.

Menurut Syaiful Wahab yang juga wakil Dekan III FISIP UNAND, itu catatan kedua adalah setiap calon kepala daerah yang diusulkan partai politik wajib mengikuti fit and propert test yang dilakukan tim independen atau uji publik sebelum diputuskan menjadi calon kepala daerah oleh sebuah partai.

Melalui mekanisme ini, katanya, selain faktor profesionalisme calon yang menjadi pertimbangan, juga diperoleh proses demokrasi dengan melibatkan publik pendukung partai tersebut dalam menentukan calon yang diinginkan.

"Catatan ketiga, adalah semua calon yang diajukan oleh partai politik, selanjutnya dimintakan persetujuan dari Presiden melalui Mendagri. Karena kedudukan kepala daerah sebenarnya berada dalam rezim pemerintahan daerah, bukan pada rezim Pemilu,"katanya.

Artinya, katanya lagi, kepala daerah adalah bagian dari eksekutif yang berkewajiban menjalankan tugas-tugas eksekutif.

Ke-empat, calon yang telah mendapatkan persetujuan Presiden (dengan mempertimbangkan hasil-hasil fit dan proper test dan uji publik) selanjutnya dipilih oleh anggota DPRD.

Ia memandang bahwa melalui mekanisme ini banyak keuntungan yang diperoleh, selain lebih efisien dari sisi penggunaan anggaran pemilukada, juga dapat meminimalisir pengerahan massa dan konflik antar pendukung calon KD. Selain itu calon yang diajukan lebih professional karena telah melalui tahapan fit and proper test.

"Dan yang terpenting adalah menjadikan partai politik lebih berfungsi dengan perannya sebagai lembaga rekrutmen politik dan artikulasi kepentingan. Dengan mekanisme ini maka sorotan public akan tertuju kepada Partai Politik. Dan sudah saatnya memfungsikan kembali partai politik yang selama ini "sakit", " katanya.

Kendati memang sebagian besar publik berpendapat bahwa pemilihan secara langsung dianggap lebih demokratis dibandingkan pemilihan yang dilakukan oleh DPRD.

"Jika ukurannya demokratis atau tidak, maka saya meragukan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung lebih demokratis. Secara empirik, ada beberapa kelemahan yang dapat dilihat dalam pemilihan kepala daerah secara langsung,

Pertama, proses penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang diusung oleh partai politik selama ini tidak pernah berlangsung secara demokratis,"katanya.

Selama ini publik tidak pernah tahu, apalagi dilibatkan oleh parpol dalam menjaring calon kepala daerah. Publik telah di-faith accomply oleh partai pengusung (di DPRD) dan dipaksa menerima tanpa garansi.

Calon kepala daerah tidak pernah dilakukan uji public apakah para pendukung (pemilih) partai menyetujui calon yang diajukan. Tidak ada proses demokrasi disana, yang ada hanya praktek transaksi (dana) politik.

Kedua, selama kampanye pemilukada, dukungan masyarakat terhadap calon kepala daerah bukan semata-mata karena pertimbangan rasional tetapi lebih pada pertimbangan irasional, misalnya, pembagian sembako, kaos, hubungan darah, atau kedaerahan dan lain-lain.

Tidak ada proses demokrasi disana, bahwa kehadiran dan dukungan publik terhadap calon kepala daerah karena alasan-alasan kompetensi, reputasi dan dedikasinya terhadap masyarakat dan bangsa.

Ketiga, ketika sang calon kepala daerah telah terpilih, tidak ada jaminan bahwa kepala daerah yang terpilih akan menjalankan proses demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya sebagaimana dirinya terpilih melalui sebuah proses demokrasi.

"Kepala daerah terpilih bahkan cenderung menjadi otoriter, atau sering diistilahkan dengan "raja-raja kecil". Dirinya merasa bahwa dia dipilih langsung oleh rakyat. Kekuasaannya cenderung absolute, terlebih lagi jika perolehan suaranya mayoritas (termasuk di partai pengusungnya di DPRD),"katanya.

Cenderung resisten terhadap demonstrasi, membatasi partisipasi dan transparansi. Tidak ada lagi ruang bagi demokrasi, karena proses keterpilihan dirinya sendiri juga bukan melalui proses demokrasi (sejak pencalonan oleh parpol hingga terpilih).

"Keempat, jika argumennya bahwa pemilihan langsung membuat publik lebih mengenal calonnya, lebih dekat dan lebih aspiratif, bagi saya tidak ada jaminan,"kata Syaiful Wahab yang juga dosen jurusan ilmu politik UNAND.

Karena toh setelah calon kepala daerah terpilih, program yang harus dijalankan pemerintahannya adalah hasil pembahasan di DPRD. Aspirasi publik hanya tinggal retorika belaka selama masa kampanye. Kepala daerah akan lupa siapa masyarakat yang pernah memilihnya.

Oleh karena itu, demokrasi keterwakilan jika diterapkan memerlukan kualitas partai politik yang mumpuni dan mampu menyerap aspirasi masyarakat. Kepercayaan masyarakat atas partai politik harus dibangun kembali dengan kinerja partai yang memuaskan rakyat, jauh dari KKN.