Filsafat Anti Korupsi Membedah Hasrat Kuasa

id filsafat anti, korupsi membedah, hasrat kuasa

Filsafat Anti Korupsi Membedah Hasrat Kuasa

"JIKA tubuh ini hidup dan tidak mati, tubuh ini tetap harus memperlakukan tubuh-tubuh lain sama seperti ia memperlakukan tubuhnya sendiri.

Tubuh itu sendiri tetap merupakan pembadanan dari kehendak untuk berkuasa, tubuh itu akan ingin tumbuh, menyebar, memegang, memenangkan dominasi -- bukan soal moralitas atau imoralitas, melainkan tubuh itu hidup, dan karena hidup adalah kehendak untuk berkuasa."

Itu adalah gambaran intuitif realistik tentang realitas kehidupan manusia, dan kehidupan alam semesta pada umumnya, demikian Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman dalam buku Reza A.A Wattimena halaman 32 berjudul Filsafat Anti Korupsi.

Buku setebal 208 halaman yang diterbitkan 2012 silam ini mengupas tentang keganasan para koruptor melalui hasrat berkuasa, mendominasi kehendak atas manusia-manusia lainnya.

Tindakan korup adalah tindakan yang menjauh dari yang baik, dari yang ideal. Di dalam wacana ekonomi dan hukum, korupsi adalah pembayaran atau pengeluaran yang mengangkangi aturan hukum.

Ada beragam sebutan tindakan ini, mulai menyuap, main belakang, sampai sebutan unik di daerah Timur Tengah, yakni "bakseesh".

Secara etomologis, kata korupsi berasal dari bahasa Latin yakni; corrutus, yang artinya tindakan merusak atau menghancurkan. Namun ketika digunakan sebagai kata benda, korupsi berarti sesuatu yang telah hancur atau patah.

Reza dalam bukunya menulis, ada banyak wujud korupsi, semisal di dunia politik, pelaku biasanya melakukan penyalahgunaan kekuasaan publik untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dan itu telah menjadi "virus" bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

"Virus" menjangkiti tubuh politikus dan birokrat karena sistem pembagian kekuasaan antara eksekutif, (pelaksana kebijakan), legislatif (pembuat kebijakan), dan yudikatif (pemantau kebijakan), tidak berjalan dengan lancar.

Hal itu yang pada akhirnya membuat sistem hukum tak memiliki kekuatan dan kemandirian yang cukup untuk menjamin bersihnya pemerintahan dari korupsi.

Di dalam filsafat klasik, korupsi dianggap sebagai segala hal yang bertentangan dengan kemurnian. Dalam arti ini, jiwa adalah sesuatu yang murni, sementara tubuh dan semua materi fisik, adalah hal-hal yang korup.

"Yang diperlukan untuk mencapai kebijaksanaan dan pencerahan adalah menyangkal fisik dan materi, serta mencari kebenaran di dalam jiwa," demikian penulis.

Namun di sisi lain, Aristoteles dalam "Filsafat Anti Korupsi", menyatakan bahwa korupsi juga bisa identik dengan dua hal yakni; kematian dan dekadensi moral yang disamakan olehnya dengan hedonisme, atau hidup yang tujuan utamanya adalah mencari nikmat badaniah semata.

Pada level politik yang cukup terlihat adalah, karena kesenjangan ekonomi yang terlalu tinggi, dan rusaknya kepercayaan yang mengikat antar anggota masyarakat. "Ini bergerak seperti lingkaran setan," tulis Reza.

Itu yang menyebabkan krisis kepercayaan, hingga kesenjangan ekonomi kian jauh, dan akhirnya akan merusak berbagai dimensi kehidupan bersama.

Inilah yang menurut Uslaner (filsuf) menjadi penyebab, mengapa korupsi mampu bertahan lama dan menjadi sulit untuk dibasmi. Korupsi adalah penyakit universal negara yag bisa ditemukan di manapun. Penyebabnya amat mendalam sehingga upaya untuk mengganti sistem pemerintahan, semisalnya dari totaliter ke demokrasi seperti Indonesia, belum cukup untuk menaklukan korupsi hingga ke akarnya.

"Justru sebaliknya negara-negara yang notabene berhasil melenyapkan korupsi, seperti Singapura dan Hongkong (Tiongkok), bukanlah negara demokratis," tulis Reza.

Menyebar Korupsi

Di sisi lain, Filsafat Anti Korupsi menyatakan, masalah utama menyebarnya korupsi adalah karena orang tidak tahu persis apa arti kata korupsi. "Pada dasarnya, korupsi adalah suatu konsep yang amat sulit untuk dijelaskan, apalagi dipahami," demikian filsuf.

Setiap definisi menurut Uslaner selalu bermasalah, dalam arti tidak cukup mewakili kerumitan arti kata tersebut. Namun secara umum, korupsi adalah kekuasaan yang diberikan oleh publik tapi disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.

Namun yang lebih jelas, penulis menekankan bahwa korupsi adalah sesuatu hal yang dapat merusak sistem masyarakat hingga menghancurkan masyarakat tersebut. "Maka dibutuhkan sosok pemimpin yang tegas, berani mengambil keputusan untuk memberantas korupsi dan menghukum para koruptor."

Solusi lainnya yang harus menjadi langkah kebijakan pemimpin menurut penulis adalah dengan membuat pembedaan yang tegas antara kepentingan publik dan kepentingan privat. Pembedaan ini kemudian disosialisasikan secara masif kepada seluruh rakyat melalui pendidikan, maupun media.

"Nietzsche mengajak kita untuk menerima diri kita apa adanya, tidak menolak atau mengutuk, apa yang sesungguhnya merupakan dorongan alamiah kita sebagai manusia, yakni kekuasaan," tulis Reza.

Masa-masa hebat dalam hidup kita, demikian Nietzsche, datang ketika kita mendapatkan keberanian untuk melihat kejahatan-kejahatan di dalam diri kita sebagai bagian terbaik dari kita.

Dengan penerimaan diri semacam ini, menurut penulis, kekuasaan tidak lagi menjadi destruktif, tetapi bisa didorong sebagai kekuatan untuk mencipta.

"Siapa yang bertarung dengan monster," demikian tulis Nietzsche, "harus melihat bahwa ia sendiri tidak menjadi monster. Dan ketika kamu melihat dalam waktu lama ke dalam jurang yang kosong, jurang tersebut melihat kembali kepadamu."

"Inilah orang-orang munafik, ingkari kehendak untuk berkuasa atas nama moralitas. Ia bertarung melawan kejahatan atas nama kebaikan, namun dalam perjalanan, ia sendiri berubah menjadi kejahatan itu, yang mungkin sekali, lebih parah dari kejahatan yang dia perangi.

Ketika ia mengutuk kejahatan, maka kejahatan kembali menatapnya, dan menjadi satu dengan dirinya. Maka pengakuan sisi-sisi jahat dalam diri, membawa manusia pada kebijaksanaan, bahwa ia adalah ketidaksempurnaan.

Hidup yang dirayakan tidak akan pernah jatuh ke dalam pemutlakkan tertentu yang mencekik, termasuk pada pemutlakkan nilai-nilai kebaikan itu sendiri," demikian Nietzsche dalam buku Filsafat Anti Korupsi (halaman 40).

Penulis sependapat dengan filsuf Jerman itu, bahwa kekuasaan bukan untuk diingkari, melainkan untuk diraih, dirayakan, dan digunakan untuk mencipta, bukan untuk bertindak korup.

"Orang tak boleh hanya menjadi alat, melainkan harus selalu menjadi tujuan dari segala sesuatu. Kehendak untuk berkuasa harus memiliki aspek estetik yang tepat dan mendalam.

Keindahan ini mencakup mulai desain penerapan kekeuasaan (termasuk rencana tata kelola, evaluasi, sampai ciri fisik), dan dengan fungsi kontrol yang sudah ada di dalam kekuasaan itu sendiri.

Hanya begini, kekuasaan yang dirindukan manusia tidak bermuara pada kemunafikan maupun korupsi, dan semakin membantu kita merayakan kehidupan," demikian akhir Bab I Filsafat Anti Korupsi.

Membedah hasrat kuasa, mengubur kemunafikan, membenci korupsi mulai dari dalam diri.