Terlahir Sebagai Belanda, Hidup Mati Demi Indonesia

id terlahir sebagai, belanda hidup, mati demi indonesia

Terlahir Sebagai Belanda, Hidup Mati Demi Indonesia

Jakarta, (Antarariau.com) - Ketika usianya masihlah belia, baru 23 tahun, Chaim Fetter sudah bertanya tentang hakikat hidupnya, "Untuk apa dan apa yang saya kejar dari hidup?".

Pertanyaan itu terlontar dari pria asal Belanda pendiri Yayasan Peduli Anak dan situs iklan baris Jualo.com itu ketika dia sudah memiliki segalanya, mulai harta, perusahaan, sampai kesenangan duniawi lainnya.

Sepuluh tahun sebelum usianya sampai pada bilangan 23, Chaim sudah mengenal bagaimana mencari uang, kendati hukum Belanda melarang anak-anak untuk bekerja.

"Karena Belanda melarang anak di bawah 16 tahun bekerja, saya diam-diam melakukannya," kata pria yang kini berusia 33 tahun dan lebih bangga disebut "orang Indonesia" itu kepada Antara News pekan lalu.

Selama sepuluh tahun sampai usia 23 tahun, dia bekerja dan menumpuk harta sampai-sampai memiliki perusahaan sendiri pada usia teramat belia, selain tabungan yang jauh lebih dari cukup bagi seorang lajang.

Ketika sukses menyapa hidupnya, pertanyaan mencari esensi hidup mulai mengganggunya.

Dia lalu memutuskan menjual perusahaannya untuk pergi bermuhibah ke banyak negara demi mencari jawaban mengenai tujuan dan esensi hidup itu.

"Saya keliling dunia hingga akhirnya sampai di Lombok," kata Chaim.

Dia mengaku langsung jatuh hati pada Lombok yang pertama kali dia singgahi pada 2004.

Segera setelah itu dia memproklamasikan "Saya cinta Lombok, cinta Indonesia."

Adalah anak-anak jalanan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang berada di Pulau Lombok, yang membuat pertanyaan "mencari esensi hidup" itu terjawabkan.

Chaim yang waktu itu datang ke Indonesia bersama kekasihnya sesama Belanda, menjadi tahu "tujuan" hidupnya, yakni membaktikan hidup untuk kaum papa, yakni anak-anak jalanan dan kurang beruntung.

"Melihat anak kecil berjuang di jalanan sembari menahan lapar ketika mereka sebenarnya masih ingin bersekolah, membuat hati saya tergerak menyelamatkan mereka. Ternyata inil yang membuat saya tahu untuk apa saya hidup," kata Chaim.

Tidak itu saja, dia kini merasa Indonesia adalah rumahnya, apalagi dia sudah lama mengenal Indonesia dari orang tua dan kakek neneknya yang pernah tinggal di Indonesia sampai masa Orde Lama silam.

Pada 2006 dia mendirikan Yayasan Peduli Anak yangkini sudah beroleh pengakuan dan dukungan luas dari semua kalangan di Indonesia, dari menteri dan pejabat daerah, sampai lembaga swadaya masyarakat.

Ratusan anak ditampung dan diberdayakan di situ. Anak-anak jalanan itu dicukupkan hidupnya, di samping mendapat pendidikan yang cukup sehingga bisa menjadi manusia penuh arti.

"Beberapa anak telah berhasil, dengan bekerja dan berkuliah di perguruan tinggi," kata Chaim yang tak bisa menyembunyikan kebanggaannya.

Kendati dibiayai dari kontong pribadi dan beberapa LSM termasuk dari luar negeri, anak-anak jalanan dan kurang mampu di Yayasan Peduli Anak ini melulu diajari konten-konten lokal.

Tak terbersit sedikit pun dari pikiran Chaim untuk menyuntikkan unsur-unsur asing pada yayasan yang segalanya bernuansa hijau dan terletak di tengah kehijauan sawah di sebuah tempat di Pulau Lombok itu.

"Semuanya lokal,termasuk para pengajar dan kurikulum. Semuanya dari dan untuk Indonesia," kata Chaim.

Yang terbesar demi yang terpinggirkan

Namun, Chaim yang lima tahun lalu mempersunting seorang perempuan Surabaya, lama-lama menghadapi tantangan berat, harus menghidupi yayasannya.

"Saya tak bisa terus-terusan mengandalkan tabungan," kata dia yang selama ini mengeluarkan jutaan rupiah per hari untuk anak-anak kurang beruntung itu.

Setelah dia pindah ke Jakarta bersama istri dan dua anak asuhnya demi memberikan kepastian finansial untuk Peduli Anak, dia kembali melanjutkan kerja pada bidang inovasi internet, bidang yang dulu membuatnya menjadi jutawan.

Di Jakarta dia melihat masa depan bisnis berbasis internet Indonesia begitu cerah dan menawarkan peluang lapang kepada siapa saja, termasuk dia.

Yang dipilihnya kemudian adalah bisnis marketplace atau situs pemasilitasi interaksi pembeli dan penjual online.

"Baru sekitar 1 persen atau 2,6 juta penduduk Indonesia saja yang benar-benar tergali oleh bisnis ini," katanya tentang bisnis pada sektor ini.

Di sisi lain, dia menemukan para pemain lama bisnis ini bergerak di situ-situ saja.

"Mereka belanja iklan begitu banyak, tapi cara mereka menjalankan bisnis tidak berubah banyak dan kesalahan terbesar mereka adalah mengabaikan pembeli dengan lebih banyak memanjakan penjual," katanya menganalisis.

Pada Februari 2014 dia pun mendirikan Jualo.com, yang akan menantang para pemain besar seperti Tokobagus.com yang kini menjadi OLX.co.id dan Berniaga.com.

Namun, berbeda dari kebanyakan situs marketplace, Chaim menekankan keberbedaan Jualo.com dalam orientasinya kepada pembeli yang dia yakini kunci dalam memenangkan persaingan bisnis ini.

Demi pembeli itu, Jualo.com menyediakan berbagai fitur yang memudahkan pengguna memastikan aman selama bertransaksi, termasuk kemungkinan tertipu. Salah satunya fitur pendeteksi lokasi dan pengaduan cepat tanggap.

"Kita juga aktif memantau para penjual. Sedikit saja ada laporan mereka nakal, maka kami segera menghapus akunnya, dan memblokir baik alamat email maupun nomor teleponnya," tandas Chaim.

Sudah sekitar seratus ribu dolar AS dia benamkan untuk Jualo.com yang hanya hanya dikelola empat orang saja, meliputi seorang customer service, seorang tenaga marketing, dan dua web master itu.

Kendati tak beriklan banyak, hanya mengandalkan promosi media sosial, Jualo.com sukses menggaet 80 ribu pengguna aktif atau melampaui target 50 ribu pengguna aktif dalam tahun pertama. Padahal, belumlah genap satu tahun usia Jualo.com.

"Kami bahkan pernah mencatat transaksi bulanan tertinggi sekitar 5 juta dolar AS. Saya yakin ini akan terus bertambah," kata Chaim.

Dengan menekankan efisiensi dan fokus pada pembeli, serta inovasi-inovasi pemerifikasi layanan dan barang yang ditawarkan penjual, Chaim yakin Jualo.com segera menjadi yang terbesar di Indonesia.

"Dua tahunan lagi kami bisa menjadi yang terbesar di Indonesia," katanya optimistis.

Dia mengakui membutuhkan investasi lebih dari 1,5 juta dolar AS. "Namun untuk sementara ini kami bisa memenuhinya dari kantong kami sendiri," sambung dia.

Chaim tak mau berspekulasi apakah jika situsnya menjadi sangat besar kelak apakah dia akan menjualnya kepada raksasa-raksasa bisnis seperti umum ditemukan pada startup-startup yang kerap dicaplok para pemain besar seperti terjadi pada Tokobagus.com.

Yang pasti, Chaim ingin menegaskan bisnisnya ini didedikasikan untuk membesarkan yayasan sosialnya di Lombok, selain demi turut memajukan Indonesia. Lima persen dari keuntungan Jualo.com dia sisihkan untuk Peduli Anak.

"Semuanya untuk Indonesia karena saya cinta Indonesia," kata dia.

Sudah sepuluh tahun dia di Indonesia dan selama itu pula dia mulai melupakan Belanda, negeri asalnya, yang kini dianggapnya tak lebih dari satu negeri tujuan wisata belaka.

Bukan ini saja yang menarik dari dia. Pelajaran lainnya dari dia adalah tidak memulai bisnis dengan motif untung semata atau mengeksploitasi peluang demi uang belaka.

Sebaliknya, dia memulai usaha dari kebajikan sosial, untuk anak-anak miskin di Lombok. Sebuah motif berbisnis yang langka.