LAM Akui Tidak Terlibat PP Gambut

id , lam akui, tidak terlibat, pp gambut

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau mengakui tidak dilibatkan dalam menyusun Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang dikeluarkan diakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Ngak, sama sekali tidak dalam PP Gambut. Tapi kalau yang lain kadang-kadang kita diundang, tetapi tidak diberi hak penuh untuk berbicara," ujar Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat LAM Riau Tenas Effendy di Pekanbaru, Senin.

Menurutnya, masalah gambut di Riau yang memiliki total luas mencapai 4,04 juta hektare atau hampir separuh dari luas daratan provinsi tersebut, telah lama memiliki masalah serius karena sering terjadi kebakaran lahan gambut akibat aksi perambahan liar.

Seperti diketahui, luas lahan gambut terbesar Indonesia terdapat di Pulau Sumatra yang berkisar antara 7,3 juta sampai 9,7 juta hektare. Sebagaian besar luas gambut terdapat di Riau yang selalu menjadi masalah serius karena tidak dilibatkan kearifan lokal di provinsi itu.

"Kami melihat persoalan gambut kita ini, perlu dilibatkan kearifan lokal selain peraturan. Sejauh mana gambut dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat di Riau dan sejauh mana gambut bisa dilestarikan untuk anak cucu kita," katanya.

Pihaknya tidak keberatan dengan kehadiran industri perkebunan kelapa sawit, kemudian di sektor kehutanan seperti pulp dan paper yang menggunakan lahan gambut untuk tanaman dan banyak menyerap para tenaga kerja termasuk di Riau.

"Itu perlu dikaji (PP Gambut) karena masyarakat di Riau punya kearifan lokal, sehingga pengelolaan gambut tidak menyimpang dan tidak cenderung merusak. Itu yang kita jaga. Jadi LAM, tidak menolak kehadiran industri, tetapi jangan merusak alam kita," ucap Tenas.

Seorang pakar lingkungan dari Universitas Lancang Kuning Prof Dr Syafrani MSi sebelumnya menyebut, diakhir masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah membuat peraturan yang keliru karena tanpa melibatkan pemangku kepentingan.

"Kalau (pemerintah) mengambil suatu kebijakan, maka libatkan para pemangku kepentingan agar kebijakan itu bisa jalan. Jangan lagi kita pertentangkan seperti yang terjadi sekarang ini," ujarnya.

Seperti kalangan dunia usaha di Indonesia dan para pemangku adat di satu daerah yang tidak pernah dilibatkan dalam membuat peraturan itu, padahal pemangku adatlah yang menjalankan fungsi pengawasan ketika peraturan itu diberlakukan, katanya.

Pada September 2014, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menilai rencana pemerintah akan mengesahkan rancangan peraturan pemerintah tentang gambut dinilai mengganggu ekonomi nasional dan secara khususnya mempengaruhi pertumbuhan perekonomian di Riau.

"Aturan itu kontraproduktif dengan tujuan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Ketua APHI Bidang Hutan Tanaman Industri, Nana Suparna.

Menurut dia, pihaknya memperkirakan potensi kerugian akibat pemberlakuan RPP gambut tersebut bisa mencapai Rp103 triliun per daur tanam atau dengan masa periode tanam lima tahun hingga enam tahun.

Angka itu berasal dari hilangnya devisa negara pulp dan kertas 5,4 miliar dolar AS per tahun yang secara otomatis hilangnya produksi sekitar 16,8 juta ton dan pemutusan hubungan kerja 300.000 orang tenaga kerja di industri yang berbahan baku dari hutan tanaman industri.

"Riau sebagai salah satu wilayah penghasil industri pulp dan paper akan terkena dampak, jika RPP itu disahkan. Ini masalah serius bagi dunia usaha karena besarnya potensi kerugian yang akan hilang. Apalagi, pemerintahan Jokowi-JK menargetkan pertumbuhan ekonomi 7 persen per tahun," katanya.