Ketika Menapak "Paru Dunia" Di Hutan TNTN

id ketika menapak, paru dunia, di hutan tntn

Ketika Menapak "Paru Dunia" Di Hutan TNTN

Bukanlah cerita baru ketika anda mendengar nama Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang berada di Provinsi Riau. Konon kabarnya, ribuan hektare lahan di sana saat ini sudah termasuk zona kritis.

Ancaman terhadap penggundulan hutan, kabut asap, habitat suaka langka dan potensi konflik yang berhubungan dengan manusia semakin besar.

Paling tidak, hal tersebut menjadi salah satu alasan bagi lebih 20 jurnalis yang menjadi bagian dari pemerhati lingkungan ini untuk menyusuri hutan di Tesso Nilo.

Siang itu, Kamis, 16 Oktober, Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) memfasilitasi para awak media dan lembaga seperti Equatorial, LSM Hutan Riau dan Scule Up telah berkumpul di kantor AJI di Pekanbaru untuk berangkat ke Tesso Nilo.

Para jurnalis mulai dari media elektronik atau cetak lokal dan nasional di Provinsi Riau, bahkan ada juga utusan dari tanah Aceh, Jawa dan Kalimantan pun ikut merapat.

Workshop Geojurnalisme "Mengolah data sektor kehutanan", itulah tema yang diangkat dalam kegiatan selama tiga hari itu. Beberapa Pemateri mulai memaparkan makalahnya di kantor Seksi Pengelolaan Taman Nasional wilayah I TNTN di desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan yang tak jauh dari areal Flying Skuad.

Di sini, para jurnalis didorong untuk memahami sektor hutan di Riau, khususnya wilayah TNTN.

Terungkap dalam diskusi itu bahwa saat ini Luas daratan Riau 8.598.757 hektare. Sedangkan jumlah Penduduk Riau sudah mencapai angka di atas enam juta jiwa.

Khusus untuk wilayah TNTN, Kepala Seksi Pengelolaan TNTN wilayah I Lubuk Kembang Bunga, Edward Rahadian, menjelaskan, Secara giografis, Tesso Nilo terletak di Provinsi Riau yang merupakan salah satu dari 200 Ecoregion WWF Global.

Hutan Taman Nasional Tesso Nilo salah satu sisa hutan dataran rendah yang menjadi kawasan konservasi dan tempat tinggal ratusan ekor gajah.

Hutan ini terbentang di empat kabupaten yaitu Pelalawan, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi, dan Kampar.

Seluas 38. 576 hektare hutan Tesso Nilo yang terletak di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu ditunjuk menjadi Taman Nasional Tesso Nilo pada 19 Juli 2004.

Pada 19 Oktober 2009, taman nasional tersebut diperluas menjadi 83.068 hektare.

Keistimewaan TNTN ini, pada setiap hektare terdapat 360 flora yang tergolong dalam 165 marga dan 57 suku, 107 jenis burung, 23 jenis mamalia, tiga jenis primata, 50 jenis ikan, 15 jenis reptilia dan 18 jenis amfibia.

Menelusuri hutan

Usai sarapan, pagi Sabtu, rombongan mulai menelusuri keberadaan hutan di Tesso Nilo untuk praktek lapangan, setelah pada hari sebelumnya mengikuti diskusi dan mempelajari teori.

Perjalanan mengarah ke Sei Perbekalan yang merupakan jalur ekowisata di TNTN.

Sebenarnya, para wisatawan yang datang ke sini bisa saja melakukan perjalanan dengan menggunakan gajah jinak yang dikelola tim Flying Squad. Namun, kali ini rombongan sengaja memilih berjalan kaki supaya bisa melihat lebih detil apa yang ada di hutan.

Di perjalanan, masih dekat dengan lokasi penginapan, langkah rombongan terhenti. Banyak pohon roboh dan menghambat jalan. Perhatian tertuju pada sejumlah pohon Akasia yang terkelupas kulitnya.

"Itu bekas gajah liar. Sepertinya masih baru. Gajah memakan kulit pohon ini," kata Edwar di dampingi empat orang rekannya dari Balai TNTN yang juga ikut dalam penelusuran itu.

Benar. Selain jejak, di sepanjang perjalanan ini rombongan juga banyak menemukan kotoran gajah liar yang sepertinya masih baru. Hanya saja, saat itu tidak bertemu langsung dengan gajah liar.

Pendamping dari TNTN juga menjelaskan, bahwa di areal ini hutan banyak terdapat jenis kayu yang tidak bisa ditemukan di hutan biasa.

Selain itu, pendamping juga menunjuk beberapa pohon yang sudah mulai tumbuh dan daunnya rindang merapat.

"Ini baru ditanam sejak empat tahun yang lalu," kata Tono dari balai TNTN.

Cukup lama berjalan, akhirnya, rombongan menemukan sungai. Di sana ada tulisan "Selamat Datang di Lubuk Balai".

Luar biasa, sungai ini sangat indah. Airnya jernih, Di sekelilingnya penuh dengan pasir putih dan halus.

Sebagian dari rombongan langsung mencebur ke dalam sungai. Airnya sejuk. Panas cuaca dan letih dalam perjalanan hilang seketika waktu berenang dalam sungai.

Di lokasi ini, rombongan juga mempraktikkan pemakaian sejumlah alat bantu dalam tugas peliputan seperti yang dipelajari dalam diskusi pada hari sebelumnya.

Bule Amerika yang bernama Willie Shubert langsung memandu. Saat itu praktik pengambilan gambar lingkungan dengan menggunakan layangan. Di sana, layangan lengkap dengan kamera atau cctv dicoba untuk diterbangkan.

Sebelumnya, coordinator of Internews Earth Journalism Network itu telah menjelaskan beberapa peralatan pendukung yang bisa digunakan dalam meliput lingkungan. Mulai dari layangan, hingga peralatan pengukur indeks pencemaran udara (ISPU) yang sederhana dan mereka namakan dengan "dask duino". Ada juga menggunakan pesawat pakai remot kontrol yang jika dibeli dengan harga beragam, mulai dari lima hingga 16 juta rupiah.

Saat sore, setelah melakukan praktik peralatan ini dan makan siang, rombongan melanjutkan perjalanan untuk melihat lokasi perambahan yang terjadi di TNTN.

Di daerah Sei Tapak, nampak banyak kebun sawit baru dan sisa pembakaran hutan. Pada lahan ini seharusnya tidak boleh terjadi perambahan karena termasuk kawasan konservasi TNTN.

"Masyarakat tidak peduli. Terutama para pendatang," kata petugas TNTN Ilham Gobel.

TNTN semakin gundul

Di sana, rombongan menemukan seorang ibu dan anaknya sedang berada di "dangau" atau pemondokan kecil. Dia sedang menanam sayur pada lahan yang cukup luas yang di sekelilingnya masih tercium aroma puntung sisa pembakaran hutan.

Ibu ini mengaku baru menempati lahan tersebut sejak hari raya Idul Adha 2014. Namun, dia mengatakan telah membeli lahannya kepada seseorang yang tidak disebutkan namanya sejak dua tahun lalu dengan harga Rp2 juta untuk satu kapling tanah.

"Pemiliknya sudah meninggal. Saya segan membicarakan orang yang telah mati," katanya dengan bahasa khasnya.

Menurut Ilham Gobel, sebagian kalangan tidak peduli dengan keselamatan hutan di daerah tersebut.

Mereka sungguh mengabaikan keselamatan lingkungan. Semakin hari, hutan Tesso Nilo kian menyusut. Komunitas satwa langka semakin langka dan manusia juga ikut terancam.

"Kita khawatir. Bisa saja suatu saat terjadi kekeringan. Apa lah jadinya jika kebun luas, tapi air terpaksa harus membeli," katanya.

Terancam dan kritis

Secara umum, ancaman paling besar terhadap hutan ini adalah perambahan dan setiap tahun terjadi peningkatan.

"Selain perambahan hutan, ancaman yang terjadi di TNTN juga berupa kebakaran, ilegal minning, illegal logging termasuk konflik satwa atau perburuan," kata Edwar Rahadian, petugas TNTN.

Saat ini, katanya, luas areal TNTN ada lebih 83 ribu hektare. Namun, perambahan hutan cukup banyak terjadi sejak beberapa tahun belakangan, terutama sejak 2002.

Bahkan, hingga 2014 tercatat perambahan terjadi disana hampir mencapai angka 53, ribu hektare.

"Sudah lebih dari 50 persen perambahan yang dilakukan di TNTN," katanya.

Terkait dengan kebakaran di kawasan TNTN, menurut dia, kebanyakan titik api juga terdapat pada areal perambahan tersebut.

Saat ini, katanya, khas permasalahan yang terjadi di areal tersebut adalah rasistensi masyarakat dan sering terjadi konflik serta melakukan aksi demonstrasi.

Menurut dia, sudah ada penangkapan terhadap pelaku perusak hutan di areal taman tersebut.

Tahun depan pihak terkait menargetkan untuk mengusut 20 perambah ke ranah hukum.

Sebab, katanya, salah satu upaya yang dilakukan pihak terkait dalam penyelamatan TNTN memang dengan jalur hukum.

"Penegakan hukum harga mati," katanya.

Sementara itu, yang menjadi kendala di lapangan, dia mengaku keterbatasan tenaga personel yang ada menjadi salah satu penyebab, sehingga para petugas yang ada saat ini kewalahan.

Sementara itu, Harry dari LSM Scule Up menyebutkan telah terjadi 96 konflik menyangkut 200.586 ha pada 2008, 67 konflik (345.619 ha) pada 2009, 44 konflik (342.571 ha) pada 2010, 34 konflik (329.763 ha) pada 2011, pada 29 konflik (79.100 ha) pada 2012 serta 62 konflik (171.645 ha) pada 2013.

Pada 2008 ada satu korban meninggal dan 76 orang ditangkap/dipenjara, sedangkan di 2009 ada tiga korban meninggal dan 16 orang luka-luka.

Sementara itu, pada 2010 ada satu korban meninggal disusul pada 2011 dua korban meninggal dan puluhan menghilang. Selanjutnya, pada 2012 kembali ada satu korban meninggal dan 37 orang luka-luka. Terakhir pada 2013 ada lima korban meninggal dan 27 orang luka-luka.

Menurut dia, akar permasalahan konflik ini terjadi karena penghancuran struktur masyarakat hukum adat secara sistematis oleh negara pascalahirnya UU 5/1979, di samping penunjukan dan atau penetapan sepihak kawasan hutan negara.

Selanjutnya, katanya, hak masyarakat hukum adat atas hutan dan tanah tidak mendapat ruang pengakuan yang nyata dalam kebijakan pembangunan daerah. Belum lagi orientasi pembangunan menitikberatkan industri skala besar berbasis lahan (HTI, HPH, Perkebunan, Tambang, migas) serta Tumpang tindih kewenangan sektor pertanahan.



Muhammad Zikri