Masa Depan Lingkungan Di Tangan Siti Nurbaya

id , masa depan, lingkungan di, tangan siti nurbaya

  Masa Depan Lingkungan Di Tangan Siti Nurbaya

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Pria itu lebih rasional dibandingkan wanita, namun wanita lebih telaten dibandingkan laki-laki. Untuk menyelesaikan persoalan lingkungan yang erat kaitannya dengan kehutanan membutuhkan kesabaran, dan kesabaran ini lebih mudah dilakukan oleh seorang wanita.

Kesabaran yang dimaksud adalah dalam fungsi pengawasan, dan itu diprediksi memang akan lebih baik dinakhodai oleh wanita, terlebih persoalan lingkungan yang saat ini telah kian memprihatinkan.

Pemerhati lingkungan dari Universitas Riau Tengku Ariful Amri mengatakan itu kepada Antara di Pekanbaru, Senin (27/10) menanggapi Siti Nurbaya Bakar yang didaulat sebagai Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup dalam Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Penetapan seorang wanita menjadi nakhoda di dalam satu lembaga besar yang merupakan peleburan dua kementerian itu diumumkan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Minggu (26/10).

Menurut catatan sejarah, Siti Nurbaya Bakar merupakan wanita pertama yang menjabat sebagai menteri membidangi masalah kehutanan dan lingkungan hidup Indonesia.

Sejak dibentuknya Kementerian Kehutanan pada 1966 hingga saat ini, tak seorangpun "Kartini" menduduki kursi sebagai pejabat tertinggi di lembaga tersebut. Pada awal pembentukan, lembaga yang khusus menangani masalah-masalah kehutanan tersebut memiliki menteri laki-laki bernama; Soedjarwo yang bertahan mulai dari Kabinet Dwikora I hingga Kabinet Pembangunan IV tahun 1988.

Pada Era Kabunet Pembangunan V mulai tahun 1988 - 1983, Menteri Kehutanan diduduki oleh Hasjrul Harahap dan pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998) Djamaluddin Suryohadikusumo, serta pada Kabinet Pembangunan VII ada Sumohadi yang bertahan kurang setahun pada 1998, ketika itu terjadi kudeta penurunan paksa Presiden Soeharto.

Kemudian di Era Reformasi Pembangunan yang dimulai hingga 1999, Muslimin Nasution dipercaya sebagai Menteri Kehutanan. Dan memasuki Kabinet Persatuan Nasional (1999-2000), Menteri Kehutanannya adalah Nur Mahmudi Ismail dan kemudian dilanjutkan Marzuki Usman hingga 2001.

Mohamad Prakosa menjadi satu-satunya Menteri Kehutanan di Kabinet Gotong Royong (2001-2004), disusul dengan MS Kaban yang menjabat pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid I (2004-2009) dan terakhir adalah Zulkifli Hasan di Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014) yang kemudian mundur setelah dilantik menjadi Ketua MPR hingga sementara digantikan Chairul Tanjung.

Daftar Menteri Lingkungan Hidup juga sama, sejak Era Kabinet Pembangunan pada 1978 di masa Presiden Soeharto hingga Kabinet Indonesia Bersatu II dimasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jabatan menteri di lembaga tersebut selalu diisi oleh kalangan gender laki-laki.

Lima Menteri Lingkungan Hidup Indonesia terakhir adalah; Sonny Keraf (1999-2001), Nabiel Makarim (2001-2004), Rachmat Witoelar (2004-2009), Gusti Muhammad Hatta (2009-2011) dan terakhir adalah Berth Kambuaya yang menjadi Menteri Lingkungan Hidup sejak 2011 hingga akhirnya (2014) digantikan sosok wanita, Siti Nurbaya Bakar.

Malang Melintang

Siti Nurbaya Bakar adalah seorang birokrat tulen yang malang melintang sejak 30 tahun lalu di jajaran pemerintahan daerah dan pusat. Karirinya dimulai di Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Lampung pada 1981.

Kemudian pada 1998 Siti Nurbaya ke Jakarta dan masuk Departemen Dalam Negeri dengan menjadi Sekretaris Jenderal (2001-2005). Pada 2006, ia direkrut menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Indonesia.

Memasuki tahun 2013, Siti memutuskan untuk berhenti di dunia birokrat dan memilih terjun ke dunia politik hingga akhirnya menjadi Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Nasional Demokrat (NasDem) yang menangani bidang otonomi daerah.

Selain itu, dia aktif sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan sebagai pembina lembaga swadaya masyarakat. Nama Siti Nurbaya belakangan menjadi tenar karena ia disebut-sebut sebagai kandidat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), namun Joko Widodo berkehendak lain dengan menempatkannya sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Siti merupakan salah satu perempuan berprestasi yang pernah menjadi PNS teladan pada tahun 2004 dan dinobatkan sebagai 99 perempuan paling berpengaruh di Indonesia versi majalah Globe Asia pada tahun 2007.

Dia juga pernah menerima Bintang Jasa Utama dari Presiden pada tahun 2011 serta Satya Lencana Karya Satya XXX tahun 2010. Alumni dari Institut Pertanian Bogor ini pernah mengenyam studi di Belanda dengan mengambil konsentrasi International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC), Enschede, Belanda.

"Dia punya komitmen yang bagus, memiliki semangat juang yang baik, dan berkoordinasi dengan berbagai pihak dengan cara yang komunikatif. Ini artinya ada harapan dibalik latar belakang kepribadian Siti Nurbaya," kata pemerhati Tengku Ariful Amri.

Menjadi perempuan pertama yang menempati jabatan sebagai Menteri Lingkungan Hidup sekaligus Menteri Kehutanan, Siti Nurbaya menurut Ariful Amri memiliki tugas berat untuk memperbaiki tata kelola lingkungan yang sejauh ini telah mengalami krisis hebat akibat kegundulan hutan di Tanah Air.

Menjadi Satu

Pengamat lingkungan dari Universitas Riau Tengku Ariful Amri berpendapat penyatuan dua lembaga Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) merupakan satu langkah tepat dari kabinet pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk mengatasi persoalan kerusakan lingkungan.

"Banyak kerusakan lingkungan itu karena eksploitasi yang berlebihan dan akhirnya melewati daya tampung dan daya dukung," kata Ariful Amri kepada Antara di Pekanbaru, Senin sore.

Oleh sebab itu, lanjut kata dia, sumber daya yang paling bermasalah yang terus dihadapi bangsa ini adalah eksploitasi sumber daya hutan seperti kebakaran lahan yang selama ini terjadi.

Akibatnya, lanjut dia, keseimbangan vegetasi dan hidrologi menjadi terganggu, dan terganggunya dua tatanan tersebut, yang kemudian menyebabkan lingkungan menjadi rusak.

Di sisi lain, menurut dia, ada lagi eksploitasi sumber daya mineral dan pertambangan, seperti batubara yang juga kerap mengakibatkan kerusakan terhadap hutan dan lingkungan di sekitarnya.

Ariful Amri mengatakan, selama ini masih banyak kebijakan di bidang kehutanan yang tidak bersinergi dengan lingkungan hidup, itu yang kemudian menyebabkan ketimpangan di lapangan.

Sebab itu, lanjutnya, fungsi pengawasan yang paling tepat adalah ketika dua lembaga ini disatukan menjadi dibawa satu kementerian.

"Hanya saja, operasionalnya nanti harus tetap terpisah, ada sub lingkungan dan ada sub kehutanan. Tujuannya agar pekerjaan di masing-masing bidang bisa maksimal untuk kemudian disinkronkan," katanya.

Nantinya, lanjut dia, kedua bidang ini akan muda dikontrol di "atas meja" sehingga penyelesaiannya akan lebih optimal.

Dengan demikian, kata Ariful, kalaulah kinerja kabinet Jokowi-JK bagus di lapangan, diharapkan akan ada perbaikan mutu lingkungan dan ini yang menjadi harapan semua pihak.

Kemudian, demikian Ariful Amri, dengan adanya spesifikasi ekosistem lingkungan hidup di nagara ini, maka sangat tepat jika dua lembaga ini disatukan.

Karena walau bagaimanapun, lanjutnya, ekosistem dari lingkungan hidup akan memberikan warga dari berbagai sisi, mulai dari fegetasi, hidrologi, keanekaragaman hayati dan lain-lain.

Dengan kontrol satu menteri yang dibawanya ada sub-sub, katanya, tentu akan lebih memudahkan dalam koordinasi di lapangan sehingga pengawasan dan upaya perbaikan dapat lebih ditingkatkan dan dimaksimalkan.

Terlepas dari itu semua, kata Ariful, tetap saja keberhasilan akan terlihat dari kinerja di lapangan, dan sebaiknya di tingkat kabupaten/kota sebagai pengambil kebijakan nasional, juga harus memahami tatanan kebijakan itu.

"Ini yang selama ini kita lihat bahwa Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU lainnya itu tidak sinkron," kata dia.

Mengapa tidak sinkron?, lanjutnya, karena tugas pokok dan fungsi (tupoksi) undang-undang tersebut justru tersebar di berbagai departemen.

Dengan penyatuan dua lembaga yang saling berdampingan ini, lanjutnya, maka dapat dipastikan akan mampu mengurangi beban pencemaran lingkungan di masa yang akan datang.

"Namun ini bisa lebih baik kalau yang memimpin dapat merangkul berbagai pihak yang terkait di dalamnya. Artiya memang harus ada kebijakan untuk merangkul sejumlah pakar lingkungan dalam upaya memperbaiki lingkungan secara nasional," katanya.

Kinerja Siti Nurbaya Bakar selaku Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup pada Kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam mengatasi persoalan lingkungan yang sedemikian parah menurut Ariful Amri masih akan dinanti rakyat.

Menurut dia, kebijakan yang paling tepat untuk mengatasi persoalan lingkungan adalah ketegasan dan keuletan serta koordinasi dan analisis yang baik.

Namun sesungguhnya, masa depan lingkungan dan kehutanan tidak meski harus menunggu akhir kisah Siti Nurbaya. Perbaikan lingkungan itu dapat dimulai dari diri sendiri, dengan tidak membuang sampah ke dalam aliran sungai penyebab banjir, tidak membakar lahan penyebab polusi asap, dan tentunya jangan ada lagi penggundulan hutan yang menjadi paru-paru dunia.

Maka selamatlah Negeriku...!