Pemerhati: PP Gambut Perlu Disempurnakan

id pemerhati pp, gambut perlu disempurnakan

Pemerhati: PP Gambut Perlu Disempurnakan

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Pemerhati lingkungan hidup dari Universitas Riau (UNRI) Tengku Ariful Amri berpendapat Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut perlu disempurnakan.

"Kalau misalnya kita membatasi gambut dengan tingkat kedalaman tertentu dan diberlakukan secara umum, hal itu juga kurang tepat. Perlu dilakukan pemetaan ulang atau sama dengan perlu disempurnakan," katanya di Pekanbaru, Kamis.

Ariful yang juga Direktur Rona Lingkungan UNRI mengatakan, pihak terkait harus ke lapangan untuk melakukan pemetaan, kemudian mempelajari karakteristik lingkungan dengan cara melihat keterkaitan antara hutan, kemudian lahan genangan dan hubungannya dengan kedalaman gambut.

Gambut itu sebuah lingkungan yang mampu menyimpan air dan bahkan para pakar menyebutkan setiap 10 centimeter ketebalan gambut dengan luas satu hektare, bisa menyimpang sekitar 650 meter kubik air yang memiliki peran untuk mengamankan dari kekeringan saat terjadinya musim kemarau.

Gambut tersebut juga bisa menjamin ketersediaan pangan dan kemudian ketersedian sumber daya hutan karena disebut hutan tidak harus dimakan, melainkan mengamankan keanekaragaman hayati yang hidup didalamnya dengan bisa menjamin kehidupan berkelanjutan.

"Kehidupan yang berkelanjutan itu merupakan ciri dari pembangunan yang baik. Oleh sebab itu, apa hubungannya dengan satwa, unggas, reptil dan binatang lainnya? Semua itu ditentukan dengan karakter lingkungannya terutama di lahan gambut," ucapnya.

Oleh sebab itu, lanjutnya, kalau pemerintah memberikan catatan secara kaku misalnya harus tiga meter untuk menjaga ekositem gambut, maka kalau kurang dari tiga meter bisa mengunakan pola di lahan gambut barang kali tidak sepenuhnya tepat.

"Harus dilihat bagaimana tata aliran air di suatu kawasan dan secara spesifik pula harus dilihat lahan gambut di suatu kawasan. Semakin spesifik suatu kawasan baik flora dan fauna, maka hal tersebut menunjukan ciri khas yang berfungsi untuk mengamankan iklim kita kedepan," ujar Ariful.

Kementerian Lingkungan Hidup menyodorkan rancangan peraturan pemerintah tentang gambut pada akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden mengeluarkan PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Pelaku usaha di sektor kehutanan dan perkebunan keberatan atas PP itu karena salah satu klausul menyebutkan soal penetapan batas paling rendah muka air gambut dikunci pada angka 0,4 meter yang bisa berakibat fatal pada tanaman kelapa sawit serta pohon akasia bakal terendam dan akhirnya mati.

"Aturan itu kontraproduktif dengan tujuan pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Bidang Hutan Tanaman Industri, Nana Suparna.

Pihaknya memperkirakan potensi kerugian akibat pemberlakuan PP gambut tersebut bisa mencapai Rp103 triliun per daur tanaman jenis akasia atau dengan masa periode tanaman lima tahun hingga enam tahun.

Angka itu berasal dari hilangnya devisa negara dari pulp dan kertas mencapai 5,4 miliar dolar AS per tahun yang secara otomatis hilangnya produksi sekitar 16,8 juta ton dan pemutusan hubungan kerja sekitar 300.000 orang di industri berbahan baku dari hutan tanaman industri.

Berdasarkan data Kementerian Kehutanan terdapat 15 juta hektare lahan gambut di Indonesia, dengan 11,5 juta diantaranya berada di dalam kawasan hutan. Seluas 2,4 juta hektare telah dibebani izin pengelolaan hutan tanaman industri.