PP Gambut Bisa Berbeda Sesuai Budidaya

id pp gambut, bisa berbeda, sesuai budidaya

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Himpunan Gambut Indonesia (HGI) menyatakan, pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut bisa saling berbeda di lapangan sesuai dengan peruntukan budidaya di lahan gambut.

"Dalam pelaksaan atau keputusan menterinya yang bisa dibuat menteri pertanian, menteri kehutanan atau menteri yang lain berbeda. Sehingga ini yang ingin kita sampaikan karena peluang dalam pelaksanaan PP gambut itu tidak sama," ujar Ketua HGI Prof Dr Supiandi Sabiham di Pekanbaru, Jumat.

Pernyataan itu dikeluarkan Supandi pada saat menghadiri acara diskusi grup yang fokus membahas masalah pada pengelolaan gambut berkelanjutan yang diselengarakan Fakultas Pertanian Universitas Riau dan diikuti para pemangku kepentingan berjumlah 35 orang.

Menurut dia, PP tentang gambut yang telah dikeluarkan pemerintah tidak perlu diusik dengan catatan dalam petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis bisa dikembangkan, termasuk soal batas paling rendah muka air gambut yang telah dikunci 0,40 meter dan dikeluhkan oleh pelaku usaha.

Kebijakan tersebut ditempuh setelah melihat beberapa alternatif diantaranya dengan melakukan revisi terhadap peraturan pemerintah tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut menemui jalan buntu karena tidak memungkinkan untuk dilakukan

"Kalau tidak ketemu, maka ada aturan-aturan penjelasan yang mungkin bisa mengatur tadi (muka air gambut) dan tergantung dari komoditi yang dikembangkan atau dibudidayakan," katanya.

Pihaknya mempunyai saran untuk tanaman kelapa sawit berkisar antara 50-60 centimeter, sedangkan hutan tanaman industri adalah 0,60 meter untuk tanaman yang berumur kurang dari satu tahun dan bagi yang lebih dari satu tahun harus 80 centimeter

"Aturan mengenai angka di gambut itu, tidak bisa dikunci. Jadi saya sarankan dalam beberapa diskusi bukan pada satu poin, tetapi dalam bentuk kisaran atau dalam bentuk range. Karena itu saya meminta ada aturan penjelasan bahwa angka itu tidak harus satu angka, tapi dalam bentuk range," ucapnya.

Kalangan pelaku usaha yang menghadiri forum diskusi tersebut mengaku keberatan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, terutama soal batas paling rendah muka air gambut yang telah dikunci 0,40 meter.

"Jika peraturan itu diikuti dengan petunjuk pelaksaan atau petunjuk teknis, maka bisa dibayangkan nasib tenaga kerja yang bekerja di sektor kelapa sawit dan hutan tanaman industri," kata perwakilan asosiasi usaha yang namanya minta tidak ditulis.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi sebelumnya mengaharapkan pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla dapat mengambil langkah cepat untuk merevisi PP gambut demi menjaga kemampuan industri berbasis hutan tanaman dan kelapa sawit serta menyerap tenaga kerja.

Terbitnya PP gambut malah menjadi pukulan berat terhadap industri unggulan di Indonesia. "Ketentuan yang bisa ditafsirkan seenaknya dan terkesan berlaku surut itu tentu tidak baik bagi industri andalan nasional," katanya.

Jika situasi itu terjadi, lanjut dia, maka akan mengancam kelangsungan investasi hutan tanaman yang bisa menimbulkan kerugian hingga Rp103 triliun dan membuat sedikitnya 300.000 tenaga kerja langsung menganggur.

Industri berbasis hutan tanaman telah menyumbang devisa yang cukup besar, dimana dari pulp dan kertas sudah mampu berkontribusi hingga 5,4 miliar dolar AS. Kemudian investasi perkebunan dengan nilai Rp136 triliun akan mati dan membuat 340.000 orang kehilangan pekerjaan.

Devisa ekspor yang dihasilkan berbasis kelapa sawit mencapai Rp103,2 triliun. "Industri unggulan harus dipertahankan agar selamat dari krisis," katanya.