PP Gambut Sebenarnya untuk Siapa?

id pp gambut, sebenarnya untuk siapa

PP Gambut Sebenarnya untuk Siapa?

Pekanbaru (AntaraRiau.com) - Sebenarnya; Tidak ada penumpang pada Spaceship Bumi. Kita semua awak. (Marshall McLuhan Komunikasi teori, pendidik, filsuf)

Gonjang-ganjing Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP Gambut). Mulai dari lembaga swadaya masyarakat hingga akademisi dan korporasi, memprotes keberadaannya setelah bertahun-tahun pembahasan.

PP Perlindungan Gambut adalah mandat dari Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) Nomor 32 Tahun 2009. Menurut LSM lingkungan, kebijakan ini malah tidak melakukan proteksi menyeluruh ekosistem gambut yang tersisa, tidak memiliki unsur preventif melindungi warga negara dari bencana pembukaan gambut untuk perkebunan sawit maupun hutan tanaman industri (HTI).

Namun kalangan akademisi berpandangan sebaliknya, PP Gambut justru terlampau ekstrem, seperti penetapan kawasan lindung seluas 30 persen dari seluruh kesatuan hidrologis gambut. Kemudian gambut juga ditetapkan berfungsi lindung jika memiliki ketebalan lebih dari 3 meter serta ketentuan yang menyatakan bahwa muka air gambut ditetapkan minimal 0,4 meter, atau bakal dinyatakan rusak.

"Dengan demikian, maka banyak industri perkebunan dan kehutanan akan segera tutup karena sebagian besar lahannya berada di kawasa lingdung tersebut," kata pakar tanah, Profesor Sudarsono di Pekanbaru, Jumat (31/10).

Sekjen Himpunan Ilmu Tanah Indonesia dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Suwardi mengatakan, saat ini hampir setengah dari luas wilayah Provinsi Riau yang mencapai 8,9 juta hektare atau sekitar 4,1 juta adalah lahan gambut.

Diketahui, sekitar 1,1 juta hektare digunakan untuk hutan tanam industri (HTI), 0,8 juta hektare tanaman kelapa sawit, dan 0,5 juta hektare adalah tanaman pertanian lainnya.

Maka dari itu, menurut dia pengembangan lahan gambut di Provinsi Riau sebenarnya sangat penting dalam sektor pertanian dan industri berkaitan dengan kehutanan. Menurutnya, gambut merupakan sumber kehidupan jika dikelola dengan baik. Pengelolaannya harus dilakukan secara berkelanjutan melalui pendekatan tiga pilar yakni ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.

Hal itu menurut Suwardi agar pengembangan gambut dapat mendukung pengembangan ekonomi dan sosial wilayah dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup.

"Peraturan Pemerintah tentang Gambut yang mengatur tentang ketebalan gambut lebih dari 3 meter harus dijadikan areal lindung, berimplikasi pada sebagian besar areal HTI dan perkebunan sawit serta karet di lahan gambut harus dikembalikan menjadi kawasan lindung. Maka itu perlu ditinjau kembali," katanya.

Menurut dia, kunci pokok pengelolaan gambut adalah pengaturan tata air untuk areal tanaman budidaya serta perlindungan ekosistem areal lindung yang perlu dilestarikan. Kedalaman muka air tanah untuk tanaman HTI dan perkebunan berkisar antara 60-90 centimeter.

Untuk pengukuran kedalaman muka air tanah itu, menurut dia perlu mempertimbangkan relief mikro permukaan gambut waktu dan tempat pengukurannya. Berkaitan dengan PP 71/2014 yang mengatur kedalaman muka air tanah maksimal 0,4 meter, maka peraturan tersebut perlu ditinjau kembali agar sesuai dengan kebutuhan tanaman dan menggunakan selang kedalaman.

"Sementara itu untuk mengatasi persoalan kebakaran lahan di Riau yang terus-menerus terjadi selama ini, yang dibutuhkan untuk mengatasinya hanya pendekatan sosial. Agar mereka tidak lagi membuka lahan dengan cara membakar," katanya.

Ancam Kota

Profesor Sudarsono selaku Guru Besar Ilmu Tanah Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, PP tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut sesungguhnya dapat mengancam keberadaan sejumlah kota di Provinsi Riau yang jika diteliti berada pada kawasan muka air gambut berkedalaman lebih 0,4 meter.

"Kalau PP Gambut ini tidak direvisi, maka Kota Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu dan Selatpanjang di Kabupaten Kepulauan Meranti serta Tembilahan di Kabupaten Indragiri Hilir yang jelas-jelas sebagian besarnya merupakan lahan gambut mau dikemanakan?" katanya.

Maka menurut dia, sebaiknya PP Gambut segera direvisi agar tidak menjadi hambatan bagi pembangunan daerah khususnya di Provinsi Riau.

PP Gambut sebelumnya dirancang atas inisiatif Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), sedangkan pihaknya tidak menyepakati ketentuan yang diatur dalam PP tersebut termasuk soal penetapan kawasan lindung gambut dan batas paling rendah muka air gambut.

Profesor Sudarsono mengatakan, batas bawah muka air 0,4 meter hanya cocok untuk budidaya tanaman semusim termasuk juga tanaman pangan. Namun untuk tanaman keras yang dibudidayakan seperti akasia dan kelapa sawit, muka air tersebut akan membanjiri akar dan membuat pohon mati.

Untuk patut diketahui, katanya, lahan gambut bukanlah lahan yang salah jika dimanfaatkan, karena masih sangat bisa bersahabat dengan lingkungan, bahkan selama ini terbukti bisa dikelola secara lestari.

Menurut dia, dengan kecanggihan teknologi saat ini, maka sebenarnya pengelolaan lahan gambut dapat lebih baik dan lestari, sehingga pemerintah dan masyarakat tidak perlu mengkhawatirkannya.

Ia mengatakan lagi, bahwa sejak 1994, sebenarnya telah dimulai pengelolaan gambut, dan terbukti gambut tidak hilang dan tetap terjaga dengan kondisi yang sama seperti sebelum dikelola atau ditanami akasia.

Solusi Ekohidro

Pengelolaan lahan gambut di Provinsi Riau sebaiknya perlu dilakukan dengan menerapkan teknologi ekohidro (tata kelolal air) agar fungsi ekologis dan ekonomis dapat berjalan seimbang.

Demikian benang merah dalam Forum Discussiaon Group (FDG) yang berlangsung di Universitas Riau (UR), Jumat (31/10) yang diikuti sedikitnya 15 pakar gambut dan tanah dari berbagai universitas ternama di Indonesia, Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Riau, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gaapki), Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan korporasi.

Pakar gambut Univeristas Riau, DR Wawan mengatakan, untuk mengurangi pro kontra pemanfataan lahan gambut, Pemerintah Riau sebenarnya bisa menyelesaikan permasalahan tersebut dengan menerapkan desain pengelolaan ekohidro pada semua konsesi baik hutan tanaman industri, perkebunan sawit maupun perkebunan rakyat.

Menurut Wawan, jika dikelola dengan menggunakan teknologi yang mumpuni, fungsi lahan gambut sebagai penyimpan karbon, pengatur tata air dan menjaga kelangsungan plasma nuftah dapat tetap terjaga.

Wawan juga meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar untuk melakukan perbaikan lingkungan hidup termasuk kawasan gambut dengan menerapkan teknologi ekohidro yang terbukti mampu menjaga keutuhan gambut di Provinsi Riau.

"Teknologi ini sudah diterapkan oleh perusahaan hutan tanam industri di Riau dan sebaiknya jangan terhambat dengan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP Gambut)," kata Wawan.

Wawan yang juga dosen Fakultas Pertanian Universitas Riau (UR) mengatakan, segala bentuk aturan yang diterbitkan dan diberlakukan oleh pemerintah sebaiknya mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan manusia yang meliputi ekonomi, lingkungan hidup dan sosial.

"Ketiganya ini jangan dipisahkan dan harus menjadi prioritas secara bersama-sama. Sehingga aturan yang diberlakukan, bukan malah merugikan masyarakat dan perekonomian nasional," katanya.

Salah satu kiatnya adalah dengan pendekatan keberlanjutan pembangunan ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial yang sebenarnya selama ini sudah berjalan cukup baik.

Maka sesungguhnya gonjang-ganjing PP Gambut yang selama ini terjadi telah terjawab dengan adanya teknologi hidrologi yang sesungguhnya menguntungkan berbagai sektor, baik ekonomi, sosial dan lingkungan hidup yang tetap lestari.

Maka menurut dia, adalah menjadi harapan bersama, agar Menteri LHK yang baru kedepan dapat mengakomodir kepentingan seluruh aspek tersebut dalam revisi PP Gambut.

"Sebenarnya hanya tinggal melanjutkan saja dari Menteri Kehutanan sebelumnya, Zulkifli Hasan. Dia ketika jadi menteri menyatakan untuk kawasan gambut yang dikelola dengan teknologi ekohidro masih dapat dibenarkan," katanya. ***