Ketika Sagu Menawarkan Sebuah Peluang

id ketika sagu, menawarkan sebuah peluang

Ketika Sagu Menawarkan Sebuah Peluang

Oleh Muhammad Zikri

Endang, penjual "lompong sagu" di Pekanbaru dapat menjadi contoh dari ribuan wirausaha lainnya. Usaha yang dilakukan perantau dari Kota Bukittinggi, Sumbar sepatutnya ditiru, oleh para tamatan perguruan tinggi yang "frustasi" karena tidak dapat menggunakan ijazahnya.

"Dimana ada kemauan disitu ada jalan." Ungkapan ini sepertinya berlaku benar bagi ibu muda yang biasa dipanggil Endang (35) itu.

Sejak usaha jualannya dibuka dan belum sampai satu tahun belakangan sudah mulai meraup untung serta memiliki tabungan sendiri. Meski belum terbilang banyak, namun setiap hari ia sudah bisa menyisihkan laba dari hasil usahanya minimal Rp150.000.

Artinya, dengan ketekunan serta menyingkirkan rasa malu karena hanya menjual lompong sagu, dia mampu menghasilkan Rp4,5 juta sebulan. Angka ini sepertinya lumayan besar dan bahkan pegawai negeri pun belum tentu mencapai gaji sebanyak itu.

"Kini, saya sudah memiliki dua cabang lapak lompong sagu di Pekanbaru," katanya yang ketika itu tengah asyik mengipas tungku lompong sagunya di Jalan HR Subrantas Pekanbaru, Jumat.

Aroma asap adonan yang dibakar pada siang itu "merontokkan bulu hidung" para pelintas di jalan penghubung Pekanbaru-Sumbar ini. Apalagi bagi mereka yang memang pecinta makanan tradisional semacam lompong sagu.

Lompong sagu merupakan salah satu olahan makanan tradisional yang terbuat dari tepung sagu. Bagi Endang, supaya terasa lebih enak, pembuatan lompong sagunya juga diaduk dengan pisang yang dibungkus degan daun. Sengaja memilih pembungkus adonan ini dengan daun pisang supaya muncul aroma khas setelah matang dipanggang di atas bara tempurung.

Lompong sagu, bukanlah perkara baru sebenarnya. Hanya saja sekarang, makanan seperti ini sangat jarang dijumpai.

Tak ayal, kondisi ini menjadi salah satu alasan mengapa dagangan lompong sagu bu Endang cukup diminati pelanggan, apalagi bagi mahasiswa. Sebab, selain aroma dan rasanya yang enak, harga lompong sagu itu juga "bersahabat" dengan kantong pelanggan.

"Hanya Rp5.000 saja untuk tiga potong lompong sagu," tawarnya.

Bagi "juragan" lompong sagu tamatan Keperawatan dan Strata I (SI) Paud Universitas Riau itu, pekerjaan bukanlah persoalan gengsi. Sesuatu yang dilakukan dengan ikhlas dan penuh optimis akan menjadikan usaha yang digeluti membuahkan hasil.

"Banyak para tamatan sarjana yang menganggur, karena mereka hidup dan bekerja dilandasi dengan gengsi," ungkap ibu dua putri ini.

Sebenarnya, anak pensiunan TNI ini juga mengakui pada awalnya cukup gengsi dengan pekerjaan yang digelutinya. Namun, dengan nasehat suami yang juga seorang saudagar kain di Kota Medan membuat dirinya membuang rasa malu dan enggannya untuk "bergelimang asap".

Belum lagi petunjuk dari ayahnya untuk tidak hanya terpaku menjadi pegawai negeri dan menyarankan agar lebih kreatif dalam menciptakan pekerjaan.

"Berprofesi sebagai PNS sudah menjadi trend di negara kita. Orang berbondong untuk menjadi bagian darinya," katanya

Dia tetap meyakini usaha itu, karena, dari sisi modal juga tidak besar.

Hanya saja, yang menjadi kendala Endang dalam menjalankan bisnisnya hanya faktor cuaca.

"Kalau hari sedang hujan, pelanggan enggan berhenti untuk membeli," keluhnya.

Saat ini, dia terpaksa menurunkan kuantitas dagangan dari semula habis 10 kilogram tepung sagu kini dibatasi menjadi tujuh kilogram saja sehari. Takut jika cuaca tidak mendukung dan dagangannya tidak laku.

Namun begitu, Endang tetap ingin lebih serius untuk mengembangkan jualan makanan dari sagu. Karena menurutnya, banyak variasi yang dapat dikembangkan dari sagu.

"Selain lompong, sagu bisa juga dibuat makanan lain seperti agar-agar, bubur, lapek, kukus dan lainnya," jelasnya.

Namun, saat ini yang menjadi kesulitan baginya adalah untuk mendapatkan kebutuhan tepung sagu di Pekanbaru. Solusinya, dia terpaksa memesan dan menunggu kiriman dari Payakumbuh, Sumbar.

Dari sisi lain, dia juga sedang mengincar lokasi yang lebih bagus untuk mengembangkan usaha makanan tradisional ini seperti di tempat keramaian.

Produksi Sagu di Riau

Sebenarnya, Riau menjadi salah satu produktor sagu cukup besar di Indonesia. Bahkan, Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMPPT) Kepulauan Meranti, Teddy Mar, menyatakan daerah itu menjadi yang terbesar di Indonesia.

"Rupanya, Meranti ini termasuk penghasil sagu yang ke tiga di dunia," katanya ketika mengikuti Riau Expo di Pekanbaru belum lama ini.

Menurut dia, hal tersebut baru diketahuinya ketika sebelumnya mengikuti Simposium Sagu Internasional di Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat.

"Pada waktu itu saya mengikuti langsung seminar itu. Dan saya kira ini sangat membanggakan bagi daerah," ungkapnya.

Untuk itu, dengan disebutnya salah satu daerah dari Riau sebagai penghasil sagu ketiga dunia, maka selanjutnya sektor ini seharusnya perlu diperhatikan dan dikembangkan dengan maksimal.

Sektor perkebunan sagu ini memang perlu kita giring terus pengembangannya. Kalau sudah diakui di tingkat internasional sepertinya itu menjadi peluang bagus," ujarnya.

Bahkan ketika itu, dia juga mengungkapkan, bahwa kualitas produksi sagu juga ikut diperhitungkan. Artinya, ini menjadi prospek yang menjanjikan sebagai upaya peningkatan perekonomian masyarakat.

Hanya saja, meskipun produksi sagu sagu dari Riau cukup membanggakan, namun saat ini produk pengolahan makanan dari sagu itu sendiri nyaris belum terdengar, khususnya di bumi lancang kuning itu.

Lantas, bagaimana upaya untuk mengarahkan masyarakat bisa melirik ke arah sana? sepertinya ini menjadi beban bersama antar pemerintah setempat dengan elemen lainnya. Namun yang pasti, sagu adalah salah satu sumber pagan yang dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Sagu Kebutuhan Pangan

Sagu adalah tepung olahan yang diperoleh dari teras batang rumbia atau "pohon sagu" (Metroxylon sagu Rottb.)

Tepung sagu memiliki karakteristik fisik yang mirip dengan tepung tapioka.

Sebetulnya, makanan dari sagu dapat menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan pangan di Indonesia.

Saat ini, sagu baru menjadi makanan pokok bagi masyarakat di beberapa daerah seperti Maluku dan Papua yang tinggal di pesisir.

Sagu dimakan dalam bentuk papeda, semacam bubur, atau dalam bentuk-bentuk yang lain.

Sagu sendiri dijual sebagai tepung curah maupun yang dipadatkan dan dikemas dengan daun pisang. Selain itu, saat ini sagu juga diolah menjadi mi dan mutiara.