Iman Masih Bersepeda dan Memburu Minyak Tanah

id iman masih, bersepeda dan, memburu minyak tanah

Iman Masih Bersepeda dan Memburu Minyak Tanah

Oleh Fazar Muhardi

Seperti biasanya, selepas senja ketika matahari terbenam masih di ufuk barat, Iman keluar dari samping rumah di Jalan Keliling, Kota Pekanbaru, Riau menunggangi sepeda membawa jerigen takaran lima liter yang digenggam tangan kiri.

Sementara yang kanan mengontrol arah laju kendaraan ramah lingkungan itu. Pria 39 tahun itu sambil tersenyum dan tetap mengayunkan sepeda yang dibelinya sejak tiga bulan lalu.

Sekitar 30 menit kemudian, ayah satu anak itu kembali dari perburuan mencari minyak tanah dan singgah sebentar di sebuah pondok yang berada di halaman rumah tetanganya.

"Susah sekarang cari minyak tanah, hanganya juga naik terus. Sekarang sudah Rp12 ribu seliter," kata Iman sambil menyandarkan sepedanya, meski ketika itu tidak ada pertanyaan berkaitan dengan pernyataan mengeluh yang dilontarkan laki-laki bertubuh mungil itu.

Malam itu atau beberapa tahun setelah pemerintah menjalankan program konversi minyak tanah ke elpiji bersubsidi, Iman masih bisa tersenyum. Meski sebenarnya, dia tidak pernah menikmati program tersebut.

Program konversi minyak tanah ke elpiji telah dilaksanakan sejak 2007, dan saat ini menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), telah menjangkau lebih 50 juta keluarga.

"Saya tidak ada uang beli tabung gas bersubsidi, apalagi mau beli kompor gas. Dulu waktu baru-baru pengalihan minyak ke gas, saya sempat dapat tapi belum sempat terpakai sudah rusak," kata Iman tetap tersenyum.

Iman adalah pria yang bisa dikatakan terlambat dalam membentuk rumah tangga. Dia baru menikah dengan Ida (27 tahun), seorang wanita sederhana sekitar lima tahun lalu, ketika umurnya menginjak usia 34 tahun.

Saat ini dia telah memiliki seorang anak laki-laki bernama Ibal, usianya masih menginjak empat tahun dan sebentar lagi sudah harus memasuki dunia pendidikan formal.

Dalam kehidupan sehari-hari dan untuk menutupi kebutuhan ekonomi rumah tangganya, Iman berprofesi sebagai pekerja serabutan. Namun lebih sering bertindak sebagai buruh bangunan, dan sesekali membantu orang yang cukup mampu untuk membersihkan halaman rumah.

Setiap bulan, Iman mengaku tidak memiliki penghasilan tetap. "Kalau buruh bangunan itu gajinya per hari. Macam-macam, kalau ketemu orang yang baik, bisa Rp120 ribu sehari, dan terkadang ada yang menggaji Rp80 ribu. Tapi lebih banyak nganggurnya karena proyek kosong," katanya.

Dalam sebulan, Iman mengaku kerap mendapat pemasukan sekitar Rp1,5 juta. Uang sebanyak itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan upah minimum kota (UMK) yang saat ini ditetapkan pemerintah daerah setempat lebih dari Rp1,7 juta per bulan.

Dari pendapatan yang minim itu, Iman mengaku harus menyisihkan sebagiannya untuk kebutuhan mendasar, mulai dari bahan bakar minyak tanah untuk kompor, minyak goreng, sayuran, beras, dan lainnya termasuk pembayaran rekening listrik yang saat ini juga terus naik harganya.

Khusus kebutuhan minyak tanah, Iman mengaku harus mengeluarkan uang lebih dari Rp100 ribu, karena sebulan dibutuhkan 9 sampai 10 liter untuk dapat membuat masakan siap saji oleh koki sang isteri.

Untuk bahan kebutuhan pokok meliputi beras, sayuran dan lainnya, ayah satu anak ini menyatakan harus mengeluarkan uang minimal Rp1 juta, itu ketika harga BBM bersubsidi masih belum naik.

Sementara untuk membayar rekening listrik, dia harus menyisihkan uang lebih dari Rp150 ribu setiap bulannya. Balum biaya kebutuhan rumah tangga lainnya seperti pembelian sabun cuci, odol, sabun mandi, dan lainnya yang diperkirakan paling sedikit mencapai Rp300 ribu per bulan.

Jika ditotal, pengeluaran untuk biaya rumah tangga yang harus disediakan Iman ternyata minimum mencapai Rp1.550.000, artinya dia masih harus mencari tambahan sebesar Rp50 ribu untuk menutupi kebutuhan mendasar guna menghidupi keluarganya.

"Kalau beruntung, biasanya ada tambahan uang masuk dari isteri dan dari borongan lain diluar sebagai buruh bangunan. Terkadang bersih-bersih rumah tetangga. Kalau tidak ada, mau nggak mau harus mencari pinjaman," katanya.

Untung saja, selain biaya kebutuhan mendasar itu, Iman tidak pusing memikirkan biaya transportasi, karena selama bertahun-tahun dia menggunakan kendaraan tanpa bahan bakar minyak.

"Harapannya sembako jangan mahal, kalau sempai mahal utang dijamin akan makin banyak. Itu kalau masih ada yang mau diutangi," kata Iman yang mengakhiri perbincangan malam itu.

Tetap Tersenyum

Sehari setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi jenis premium dari Rp6.500 menjadi Rp8.500/liter dan solar dari Rp5.500 menjadi Rp7.500, harga berbagai bahan kebutuhan pokok mulai merangkak naik.

Berbagai kalangan masyarakat, pengusaha, organisasi buruh, mahasiswa dan lainnya mengeluh. Berbagai aksi dilakukan untuk menentang kebijakan pemerintah tersebut karena diklaim akan berdampak pada mahalnya bahan-bahan kebutuhan pokok.

Sementara sopir angkutan umum memilih untuk melakukan aksi mogok kerja. Beruntung kalangan buruh tetap beraktivitas.

Namun Iman tetap tersenyum, keluar dari rumah peninggalan orang tuanya untuk kembali memburu minyak tanah mengendarai kendaraan tanpa bahan bakar setelah stok yang dibelinya sepekan lalu habis.

Matahari masih terbenam di ufuk barat. Iman kembali dari perburuannya mencari minyak tanah dan kali ini tanpa ada hasil. "Habis, beberapa kedai langganan tidak ada minyak tanah," katanya.

Iman kembali singgah, menyandarkan sepedanya dan duduk di pokdok yang sama, tidak terlihat kepanikan karena sisa makanan pagi tadi masih ada untuk disantap bersama anak dan isteri.

"Untung saja, makanan tadi pagi masih ada," kata Iman sambil tersenyum.

Ia bercerita, kini dia tidak lagi mendapatkan pekerjaan. Beberapa hari ini, Iman juga mengaku terus berkeliling untuk menemui teman-teman seprofesinya, berharap ada tawaran pekerjaan sampingan setelah harga BBM bersubsidi dinaikan pemerintah.

"BBM sudah naik, kerja belum juga ada. Sembako mulai mahal, uang terus menipis," katanya.

Iman hanya fokus mencari pekerjaan halal sebagai buruh bangunan. Tidak terpikirkan olehnya tentang adanya program "kartu sakti" yang selama ini diluncurkan pemerintah sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM bersubsidi.

"Kartu sakti? nggak tahu," kata Iman sambil tertawa mendengar istilah program pemerintah tersebut.

Bersamaan dengan pengumuman penaikkan harga BBM bersubsidi pada 17 November 2014, Presiden Joko Widodo juga mengekspos program "kartu sakti". Di antaranya Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).

Menurut Joko Widodo, paket kartu sakti itu ditujukan untuk menjaga daya beli warga miskin. Selain itu, dana yang bisa dicarikan dari kartu sakti itu diharapkan juga bisa untuk memulai usaha produktif. Jokowi memang mengatakan keputusannya ini berupa pengalihan subsidi BBM dari kegiatan konsumtif ke produktif.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, KIS yang terkover sekarang adalah 86,4 juta. Dari jumlah itu, yang sekarang sedang diajukan Kemensos ada tambahan 1,7 juta. Namun, tambahan jumlah itu masih dipertanyakan Kemensos validasi datanya.

Khofifah juga merekomendasikan seluruh Dinsos kabupaten/kota dan provinsi segera melakukan validasi panti-panti sosial, lansia terlantar, anak yatim, dan lainnya di daerah masing- masing untuk diajukan dalam penambahan KIS, KIP, dan KKS.

Sejauh ini, di Provinsi Riau belum diketahui berapa banyak warga miskin penerima bantuan itu. Iman layaknya masuk dalam salah satu warga yang harusnya mendapat program tersebut, setelah program konversi elpiji dan subsidi BBM yang dijalankan selama bertahun-tahun tak pernah dia nikmati.