Hilangnya Kekuasaan Di Atas Tanah Nenek Moyang

id hilangnya kekuasaan di atas tanah nenek moyang

 Hilangnya Kekuasaan Di Atas Tanah Nenek Moyang

Daerah itu disebut Patalangan, sebuah desa bekas nenek moyang masyarakat di perbukitan Desa Anak Talang, Kepayang Sari, Cenaku Kecil Kecamatan Batang Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau.

Patalangan artinya tempat berladang bagi nenek moyang dahulu sejak Zaman Kerajaan Indragiri Hulu sampai dengan Zaman Penjajahan Belanda. Sekarang masih bisa terlihat bekas tanaman kebun lama orang-orang terdahulu berupa Tanaman Durian, Manggis, Pohon Sialang yang usianya puluhan tahun dan juga pemakaman yang diperkirakan berusia ratusan tahun.

Warga setempat, Arsyad yang sudah berumur 65 tahun masih ingat cerita nenek moyang pada zaman Kerajaan Indragiri Hulu tentang Desa Patalangan. Pada zaman itu, ceritanya, kerajaan memberi hak-hak otonomi kepada daerah Patalangan. Masyarakat diberi kebebasan untuk mengatur daerahnya sendiri tanpa terlalu banyak campur tangan pihak kerajaan.

"Dalam menciptakan keteraturan, masyarakat Patalangan memiliki petinggi adat yang disebut "payung nan tigo kaki", satu orang patih dan dua orang batin untuk memudahkan pelaksanaan pemeritahan adat pada setiap daerah patalangan yang sekarang disebut desa juga memiliki batin-batin dengan tetap berkordinasi dengan payung nan tigo kaki. Struktur tersebut masih jalan sampai sekarang," tambahnya.

Kemudian dalam rangka mempertahankan identitas daerahnya, masyarakat dilarang untuk menebangi batang durian, manggis dan pohon sialang di daerah tersebut. Jika ditemukan masyarakat yang menebangi tanaman tersebut akan disanksi secara adat berupa denda mulai dari satu ekor ayam sampai dengan satu ekor kambing, sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan.

Setelah itu, ayam atau kambing yang dibayarkan tersebut akan dimasak dan dimakan bersama-sama oleh masyarakat. Pemberian sanksi tersebut dilakukan oleh petinggi adat setempat.

Zaman kerajaan berlalu, mulailah kehidupan nenek moyang perlahan-lahan berubah. Menurut Abdul Talib (45), Penjajah Belanda ketika mendaratkan kekuasaannya mengharuskan masyarakat yang tinggal di perbukitan untuk menempati dataran agar mudah diawasi dan dipantau.

"Semenjak itulah masyarakat menempati pemukimam yang ditempati sekarang ini," ujarnya

Selanjutnya adapun aktivitas ke Patalangan itu hanyalah untuk memanen dan berziarah ke kuburan nenek moyang. Beliau menambahkan pemanfaatan sumber daya alam termasuk tanah oleh masyarakat Patalangan sejak dahulu sampai sekarang tetap dilakukan secara adat.

Waktu berlalu, manusia beranak pinak hingga bercucu dan bercicit, tapi tempat yang dihuni tentu tidak bertambah luas. Ladang yang ada juga tidak lagi mencukupi kebutuhan yang kian hari kian bertambah.

Pesatnya pertumbuhan penduduk berakibat pada berkurangnya ketersediaan lahan garapan masyarakat sehingga terbesit keinginan untuk mengelola kembali tempat peladangan nenek moyang mereka. Apalagi rata-rata masyarakat bermata pecarian tani seperti berkebun.

Jika saat ini masyarakat kembali untuk melakukan pengelolaan di lahan tersebut, sama artinya mereka kembali mengelola kampung lamanya. Namun apa mau dikata, kenyataannya sekarang ini garapan masyarakat justru terancam dengan status kawasan hutan pada lokasi tersebut.

"Tempat peladangan itu masuk ke dalam kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT), di mana dalam sejumlah regulasi kehutanan masyarakat harus mendapatkan izin dari Kemetrian Kehutanan untuk melakukan penggarapan," kata Abdul Talib.

HPT merupakan hutan yang dapat dieksploitasi dengan perlakuan cara tebang pilih maupun dengan cara tebang habis oleh yang mendapatkan izin pengelolaan. Hal ini tentu menjadi "ancaman" bagi masyarakat, jika sewaktu-waktu dirinya mengarap lahan tersebut. Bisa jadi suatu saat mereka akan berurusan dengan pihak kepolisian karena mungkin dianggap sebagai perambah hutan.

Undang-Undang No 18 tahun 2013 tentang Kehutanan dinilai tidak melihat faktor lain karena dalam penerapannya sama artinya dengan mempenjarakan masyarakat sehingga tidak dapat lagi memafaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup khususnya masyarakat yang berprofesi sebagai tani (berkebun).

Melanggar Konstitusi

Nada sumbang tentang penderitaan warga Desa Anak Talang, Kepayang Sari, Cenaku Kecil Kecamatan Batang Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau terngiang juga hingga provinsi tetangga. Adalah Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) wilayah Sumatera Barat yang menaruh perhatian akan masalah ini.

Berawal dari adanya fenomena serupa di Tebo, Jambi, apa yang dialami oleh Desa Anak Talang ikut terkabarkan pula. Anggota PHBI Yoni Chandra menyatakan perlakuan seperti ini adalah suatu kebijakan yang melanggar konstitusi.

Dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 disebutkan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

"Dan dalam pasal 28I ayat (3) juga menjelaskan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban serta Pasal 28i ayat 4 menjelaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung negara terutama pemerintah," sebutnya.

Maka merujuk kepada ketentuan konstitusi di atas, pemerintah semestinya menghormati masyarakat adat dengan memberikan akses yang luas terhadap wilayah adatnya. Jika dilakukan, hal ini tentu akan menguatkan posisi masyarakat dalam penguasaan ruang mereka yang dari waktu ke waktu menyempit dengan hadirnya berbagai izin konsesi di wilayah mereka.

Kemudian dia menyebutkan bahwa perkembangan terakhir putusan Mahkamah Konstitusi no 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013 yang merubah beberapa pasal pada UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, sebagaimana telah diubah dengan UU No 19 tahun 2004, yaitu pasal 1 angka 6, menjelaskan: "Hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat".

Lalu pada pasal 4 ayat (3) menegaskan "penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjanag masih hidup dan sesuai dengan perkembagan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU".

Merujuk juga kepada ketentuan konstitusi dan amar putusan MK d atas, pemerintah semestinya juga memenuhi hak asasi manusia dan menghormati masyarakat hukum adat sebagaimana isi yang terkandung dalam putusan MK tersebut, katanya.

"Keinginan masyarakat adalah bisa mengarap kembali patalangan (tempat berladang) karena bertambahnya anggota keluarga sedangkan lahan garapan yang selama ini menjadi sumber pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup termasuk biaya sekolah anak mereka," tambahnya.