Daya Kejut Awal Kabinet Kerja

id daya kejut, awal kabinet kerja

Daya Kejut Awal Kabinet Kerja

Oleh Budi Setiawanto

(Antarariau.com) - Sejak mengambil sumpah jabatan per 20 Oktober 2014 dan melantik Kabinet Kerja pada 27 Oktober 2014, pemerintahan baru Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden membuat publik terkesima dengan upaya "tancap gas" langsung bekerja.

Dengan menyingsingkan lengan baju, para menteri tertular gaya "blusukan" untuk memulai kerja mereka masing-masing.

Menaker Hanif Dhakiri, misalnya, melompat pagar ketika melakukan inspeksi mendadak ke suatu tempat penampungan calon tenaga kerja Indonesia yang akan ditempatkan ke luar negeri oleh Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS). Menpora Imam Nahrawi berkunjung ke berbagai pemusatan pelatihan atlet dan pengurus cabang olah raga, Mendag Rachmat Gobel mengecek harga di pasar-pasar.

Menteri BUMN Rini M Soemarno menginstruksikan pejabat BUMN dalam kunjungan dinas menggunakan penerbangan kelas ekonomi, bukan kelas bisnis, sebagai langkah efisiensi anggaran perusahaan untuk perjalanan luar kota. Rini mencontohkan ketika ke Medan, Sumatera Utara pada Selasa (4/11) untuk meninjau PT Inalum (Persero) menggunakan pesawat Garuda kelas ekonomi. "Naik kelas ekonomi sama saja rasanya. Sampainya juga sama," katanya.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi memutuskan memberlakukan moratorium perekrutan calon pegawai negeri sipil (PNS).

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang "nyentrik" bahkan mengusulkan Indonesia keluar dari keanggotaan G-20 karena Indonesia di G-20 bukanlah negara yang berperan besar dalam pengambil keputusan dalam perhimpunan negara-negara di tingkat global tersebut.

"Kita di G-20 juga tidak bisa ambil keputusan. Kita bukan G-8, kita hanya penggembira," ucapnya. Menurut Susi, di dunia internasional saat ini Indonesia merupakan satu-satunya negara tujuan penangkapan ikan karena negara lain di tingkat global tidak ada lagi yang membolehkan kapal asing menangkap di kawasan perairan mereka.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang mengejutkan karena kekayaannya masih sama yang dilaporkan ke KPK sejak 2001 yakni sekitar Rp511 juta hingga disebut sebagai "menteri termiskin", menghentikan program KTP elektronik.

Presiden Joko Widodo pada 3 November lalu meluncurkan program pemberdayaan warga miskin, ditandai dengan pembagian Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu HP (SIM Card), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) kepada satu juta warga dari 15,5 juta warga kurang mampu, untuk mendorong akses seluruh masyarakat meningkatkan kesejahteraan melalui pemerataan pendapatan serta menjaga stabilitas keuangan.

"Keseluruhan program tersebut merupakan era baru dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat kurang mampu melalui kegiatan produktif berupa rekening simpanan, keberlanjutan pendidikan anak serta pemberian jaminan kesehatan yang lebih luas," kata Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Bambang Widianto Bambang. Pada tahap awal, pemerintah membagikan KIP kepada 157.943 siswa dan KIS kepada 4.451.508 individu kurang mampu.

Kebijakan ini mengundang pertanyaan kalangan DPR RI dari mana dana yang dikucurkan untuk program tersebut.

Kebijakan lain yang mengundang pertanyaan juga dasar yang digunakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi pada saat harga minyak bumi dunia turun dari 105 dolar AS per barel menjadi 80 dolar AS per barel.

Presiden pada Senin (17/11) malam, kurang dari 24 jam sekembalinya dari lawatan tiga negara sekaligus untuk menghadir KTT APEC di Beijing, Tiongkok, 10-11 November, KTT ASEAN di Naypyitaw, Myanmar 12-13 November, dan KTT G-20 di Brisbane, Australia, 15-16 November, mengumumkan pengalihan subsidi BBM yang konsumtif ke sektor produktif seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan kesehatan, dan pendidikan, dengan menaikkan BBM bensin premium dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 per liter dan solar dari Rp5.500 menjadi Rp7.500 per liter.

Demikian sejumlah daya kejut awal dari pemerintahan baru yang menarik perhatian publik dan menaruh harapan publik.

Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan mengatakan blusukan bukan ukuran prestasi kerja seorang menteri tetapi merupakan salah satu cara yang bisa ditempuh sebelum pengambilan kebijakan.

"Blusukan itu bukanlah tujuan dan ukuran prestasi kerja namun merupakan salah satu cara dalam konteks pengambilan kebijakan oleh pejabat yang berwenang," kata politisi dari Partai NasDem itu.

"Blusukan" dapat menjadi dasar dan dibutuhkan dalam mengambil kebijakan yang tepat sasaran dan efektif.

"Kita semua sebagai pengambil kebijakan membutuhkan aksi blusukan agar bisa melihat, mendengar dan merasakan secara langsung hal yang ada di lapangan sehingga bisa dijadikan dasar untuk mengambil kebijakan yang tepat sasaran dan efektif," katanya.

Menanggapi kritikan banyak pihak tentang blusukan para menteri kabinet kerja yang dipimpin pasangan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sejak pelantikannya hanya pencitraan, Ferry mengatakan blusukan yang dilakukan oleh mereka jauh dari semangat tersebut dan sesuai instruksi dari presiden agar masyarakat merasakan kehadiran negara.

"Menurut saya blusukan jauh dari semangat pencitraan, ini bisa menegaskan kehadiran negara di tengah masyarakat yang sesuai dengan instruksi Presiden Jokowi," ujarnya.

Copot

Di Brisbane, dalam pertemuan dengan WNI yang ada di Negara Kanguru itu pada Jumat (14/11) malam waktu setempat, Presiden Jowo Widodo mewanti-wanti akan mencopot menterinya bila tidak memenuhi target kerja.

Ia mencontohkan, dalam tiga tahun ke depan, dengan sejumlah upaya yang dilakukan oleh pemerintah di bidang pertanian dan kelautan maka Indonesia dalam tiga tahun mendatang dapat menikmati swasembada pangan khususnya beras, kedelai dan jagung.

"Ketergantungan ke negara lain besar, menteri saya sampaikan tiga tahun harus bisa swasembada, aman, harus kepegang terutama untuk beras jagung kedelai dan gulanya agak mundur sampai 5 tahun. Kerja itu harus ada target, kalau target tidak ketemu pasti saya ganti," kata Kepala Negara.

Jangankan tiga tahun, belum 100 hari kerja saja, sudah ada suara-suara dari politisi partai pendukung Presiden Joko Widodo untuk mengganti menteri. Politisi PDI Perjuangan Effendi Simbolon meminta Presiden Joko Widodo mengganti Menko Perekonomian Sofyan Djalil, Menteri BUMN Rini Soemarno, dan Menteri ESDM Sudirman Said.

Joko Widodo menginginkan pemerintahannya efektif dalam menjalakan program dan kebijakan untuk peningkatan kesejahteraan dan kemartabatan rakyat.

Birokrasi pemerintahan pun tak luput dari pembenahan. Yuddy Chrisnandi mengatakan sudah saatnya era birokrasi priyayi atau lebih suka dilayani ketimbang melayani berakhir. Birokrasi harus mengedepankan prinsip merakyat dan melayani. Saat ini merupakan era baru dimana para birokrat harus dituntut menjemput bola dan rajin turun ke lapangan untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya.

"Sudah saatnya model-model kepemimpinan yang merakyat, merespons cepat persoalan serta memangkas rantai birokrasi yang panjang diberlakukan," katanya.

Yuddy mengakui masih banyak mendapat laporan birokrasi saat ini kurang melayani, tidak ramah, berbelit-belit sehingga menyebabkan iklim investasi tidak kondusif.

Oleh sebab itu era revolusi mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo merupakan momentum untuk melakukan reformasi birokrasi, katanya.

Ia mengatakan rumitnya birokrasi menyebabkan pandangan yang tidak baik di masyarakat kepada pemerintah dan ke depan sedapat mungkin tidak ada lagi keluhan masyarakat dan kepada pegawai dituntut agar dapat bekerja dan melayani dengan baik. Yuddy mengatakan salah satu amanat yang diberikan Presiden Joko Widodo kepadanya adalah mempercepat reformasi birokrasi di Tanah Air.

Ketua Umum Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Pusat Yuliandre Darwis menyatakan pemerintahan baru Presiden Joko Widodo perlu juga memprioritaskan tata kelola komunikasi nasional.

"Pemerintah baru harus mampu mengelola harapan publik yang begitu tinggi, dan menjaga modal sosial berbentuk publik riset," katanya.

Doktor Komunikasi Massa dari Universita Teknologi Mara, Selangor, Malaysia itu menegaskan optimalisasi akses informasi dari pemerintah untuk masyarakat, sosialisasi program jangka pendek, menengah dan panjang secara sistematis, kanal aduan, sinergi komunikasi antarlembaga pemerintah, komunikasi strategis terkait isi dan kontekstual yang muncul dari kondisi yang membutuhkan respons cepat pemerintah.

Dengan tata kelola komunikasi yang baik di pemerintahan, publik kian melihat dan memahami bahkan mendukung kerja-kerja dari Kabinet Kerja, tidak sekadar melakukan gebrakan mengejutkan. (*)