Enam Milar Dolas AS Devisa Terancam Hilang

id enam milar, dolas as, devisa terancam hilang

Enam Milar Dolas AS Devisa Terancam Hilang

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Devisa negara sekitar enam miliar dolar AS per tahun dari industri kehutanan terancam hilang karena Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut akan mengancam masa depan bisnis itu.

"Indonesia berpotensi kehilangan enam miliar dolas AS untuk devisa negara dari sektor ini karena kami khawatir regulasi ini akan sangat sulit diterapkan, kecuali penerapan PP Gambut memang untuk membuat perusahaan gulung tikar," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Bidang Hutan Tanaman Industri, Nana Suparna, di Pekanbaru, Selasa.

PP Gambut yang disahkan dipenghujung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terus menuai protes dari kalangan pelaku usaha, akademisi, hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM). Nana mengatakan, ketentuan dalam PP Gambut sangat kontraproduktif seperti penetapan kawasan lindung seluas 30 persen dari seluruh kesatuan hidrologis gambut.

Selain itu, gambut juga ditetapkan berfungsi lindung jika memiliki ketebalan lebih dari tiga meter, dan yang paling memberatkan pelaku industri adalah aturan muka air gambut ditetapkan minimal 0,4 meter.

"Penerapan aturan muka air bukan hanya sulit diterapkan untuk tanaman akasia, melainkan juga kelapa sawit dan karet. Sebabnya, ketinggian air yang ideal agar akar pohon bisa tumbuh dan hidup adalah berkisar 0,8 meter hingga satu meter," katanya.

Ia mengatakan, penerapan regulasi tersebut juga berpotensi hilangnya nilai produksi dari sektor hutan tanaman industri sekitar Rp103 triliun per daur tanam.

"Pemerintah perlu memikirkan apabila perusahaan banyak yang gulung tikar, sekitar 300 ribu tenaga kerja di pabrik bubur kertas bisa kehilangan pekerjaan, dan belum lagi dampak sosialnya karena sektor usaha itu selama ini memberikan efek ganda yang besar untuk usaha lainnya," katanya.

Nana menyayangkan, pemerintah tidak melibatkan asosiasi pelaku usaha dalam penyusunan regulasi tersebut yang bisa berdampak besar pada kelangsungan bisnis nasional.

Ia berharap, pemerintahan Presiden Joko Widodo mau melihat masalah PP Gambut secara lebih luas dari berbagai perspektif untuk menyeimbangkan kepentingan perlindungan lingkungan hidup, ekonomi dan sosial.

Selain itu, ia mengaku menyayangkan pemerintah yang terkesan lebih mendengarkan masukan dari LSM lingkungan asing seperti Greenpeace dalam perumusan regulasi ketimbang melindungi perusahaan yang sudah menanamkan modal dan berkontribusi besar bagi pemasukan devisa serta lapangan kerja di tanah air.

"Sudah delapan kali kami berkirim surat mulai pemerintahan yang lama sampai kepada Presiden dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang baru, tetapi jadwalnya selalu batal namun sang menteri bisa berkoordinasi terus dengan LSM. Ini benar-benar tidak adil," ujarnya.

Pakar gambut Institut Pertanian Bogor yang juga Sekjen Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI), Dr Suwardi mengatakan, ada perubahan mendadak dalam penentuan poin ketinggian muka air pada proses pembuatan PP Gambut.

"Saya heran, padahal semula para pakar dan pemerintah di Kementerian Lingkungan Hidup sudah sepakat ketinggian muka air satu meter. Tapi entah kenapa ketika terbit, berubah jadi 0,4 meter yang berpotensi mematikan akar tanaman dan itu sudah melenceng dari kajian semula," ujar Dr Suwardi, yang mengaku menjadi salah satu pakar yang dimintai pendapatnya oleh pemerintah.

Menurut dia, PP Gambut tidak sepenuhnya negatif karena bertujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan, khususnya pencegahan kebakaran lahan dan hutan. Ia berprinsip bahwa regulasi pengelolaan lahan gambut idealnya adalah untuk segera merehabilitasi 3,5 juta hektare lahan gambut yang telah rusak karena kebijakan salah urus pemerintah yang lama, pemetaan kawasan yang jelas dan penindakan hukum yang konsisten.

Namun, ia mengatakan, kebijakan tersebut akan berdampak negatif apabila dilakukan tanpa bisa mengakomodir semua pihak.

"PP Gambut bukan menyelesaikan masalah kebakaran lahan, malah mematikan perusahaan duluan," katanya.