LSM Minta Jaksa Agung Pro Perlindungan Anak

id lsm minta, jaksa agung, pro perlindungan anak

LSM Minta Jaksa Agung Pro Perlindungan Anak

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Banyak kalangan keluarga korban, dan LSM peduli anak, serta Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di Riau, meminta Jaksa Agung Prasetyo agar memerintahkan jajarannya pro perlindungan terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual.

"Sebab sudah banyak kasus yang sudah dilimpahkan ke kepolisian namun ketika sampai di kejaksaan dalam tingkat P18 dan P19, justru dikembalikan, dengan alasan tidak ada saksi, dampaknya sering kasus ini terkesan dipeti-eskan," kata Ester Yuliani, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Riau, di Pekanbaru, Jumat.

Ia mengatakan itu terkait penyelesaian kasus kejahatan seksual terhadap anak ini sesuai prosedur hukum yang berlaku belum memuaskan karena standar operasional yang diterapkan pihak kepolisian dan kejaksaan sering cenderung berbeda. Aparat penegak hukum terkesan belum memahami UU perlindungan anak.

Menurut dia, berdasarkan evaluasi LPA Riau, memang sudah sebagian besar kasus kejahatan seksual terhadap anak yang didampingi LPA untuk di proses secara hukum sesuai UU perlindungan anak, diselesaikan berita acara pemeriksaan (BAP) oleh kepolisian dan selanjutnya diserahkan kepada pihak kejaksaan.

Namun, katanya, dalam pemeriksaan kepolisian yang sudah mencapai tingkat P18 dan P19 justru sering dikembalikan oleh pihak kejaksaan ke kepolisian karena dinilai belum cukup bukti dan harus dilengkapi dengan saksi.

"Padahal dalam kasus cabul dan pelecehan seksual dengan korbannya anak-anak jarang sekali ada saksi yang melihat," katanya dan menambahkan kasus kejahatan seksual terhadap anak tidak memerlukan keterangan saksi sebagai salah satu syarat kelengkapan pembuktian.

Sebab saksi korban sendiri yang masih di bawah umur murni memiliki kejujuran yang bisa dipertanggungjawabkan sedangkan alat bukti lainnya bisa dilengkapi dengan keterangan saksi ahli untuk pemeriksaan tekanan kejiwaan oleh psikolog dan dokter jika anak mengalami luka-luka dan lainnya.

Ia menyayangkan alasan pihak kejaksaan yang menolak laporan pemeriksaan P18 dan P19 atas kasus kejahatan terhadap anak. Penolakan oleh kejaksaan lebih akibat karena tidak ada saksi dan ini jelas membuktikan pihak aparat penegak hukum itu belum memahami UU perlindungan anak.

"Bahkan saya sudah pernah menemui seorang ibu berprofesi jaksa, dan menerangkan anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual kejujurannya masih murni, lalu untuk apa diragukan lagi sehingga tidak diperlukan saksi sebagai salah satu syarat pembuktian," katanya.

Sedangkan kelengkapan alat bukti bisa dipenuhi melalui keterangan ahli, psikolog dan dokter yang mengobati luka-luka anak.

Ia mengakui dirinya dan orang tua korban --hingga pingsan menahan hati-- ketika itu menemui Jaksa terkait, namun yang bersangkutan justru mengatakan kasus kejahatan seksual terhadap anak tersebut belum bisa menjadi P21, karena tidak ada saksi.

Lantas apakah kasus perkosaan, pelecehan seksual, sodomi dan cabul, yang dilakukan pelaku ada yang melihat? Ini kasus kejahatan terhadap anak.., ibu Jaksa?, Ketika anak melapor "sudah seharusnya menjadi pemenang" agar hak-haknya bisa dibela. Namun jaksa terkait masih bertahan agar pihak kepolisian menambahkan keterangan saksi dalam proses P18 dan P19.

Saya bahkan, katanya lagi, mengumpamakan jika kasus ini terjadi pada anak atau kemenakan ibu.., dan bapak jaksa.., apakah perlu juga melengkapi dengan saksi? Anehnya mereka justru diam dan tidak memberikan tanggapan. Padahal kejahatan "di depan mata" sudah mengancam setiap saat terhadap anak-anak.

Mirisnya hingga proses hukum terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak dalam tahap P21 pun yang disampaikan kepolisian, justru banyak yang dikembalikan oleh kejaksaan.

"Oleh karena itu, melalui kepemimpinan Jaksa Agung Prasetyo, para jaksa di berbagai daerah hendaknya diperintahkan agar pro perlindungan anak. Apalagi kejahatan seksual terhadap anak di Riau cenderung meningkat," katanya.

Ia menyebutkan, dari 9.000 anak laki-laki terdapat 2-3 anak yang menjadi korban kejahatan seksual (sodomi) di Riau, selain itu dari 6.000 anak perempuan terdapat 2-3 anak perempuan yang mengalami kejahatan, diperkosa, dicabuli, dilecehkan dan juga disodomi.

Jika kasus ini tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku, maka kasus yang merusak masa depan anak ini diyakini akan terus meningkat. Padahal anak adalah aset negara yang paling berharga untuk melanjutkan estafet kepemimpinan di masa datang. Jika mereka terus menjadi korban, bagaimana negara ini akan bisa dipimpin dengan baik oleh mereka karena terganjal trauma berkepanjangan.