Kenaikan Harga Beras Tak Berpihak Petani

id kenaikan harga beras tak berpihak petani

Kenaikan Harga Beras Tak Berpihak Petani



Oleh Didik Kusbiantoro

Samarinda, (Antarariau.com) - Belum juga reda keresahan masyarakat dengan kenaikan harga beberapa kebutuhan pokok sebagai dampak kenaikan harga bahan bakar minyak, kini mereka kembali dihadapkan pada situasi yang tidak menguntungkan.

Harga komoditas beras sebagai salah satu kebutuhan utama masyarakat di berbagai daerah mengalami lonjakan cukup tajam.

Pantauan Antara di pasar tradisional di Kota Samarinda dan sejumlah daerah di Kalimantan Timur, Kamis, mencatat harga beras kualitas biasa yang awalnya berkisar Rp10.000 hingga Rp10.500, sejak beberapa hari terakhir naik menjadi Rp12.000-Rp13.000 per kilogram.

Kenaikan harga terutama pada beras yang berasal dari luar Kaltim, seperti dari Jawa dan Sulawesi.

Harga beras Bengawan menjadi Rp11.500 dari sebelumnya Rp10.500 per kilogram. Kemudian beras Rojo Lele naik Rp2.000 menjadi Rp13.000 per kilogram dan beras Sulawesi dijual Rp11.300 dari harga awal Rp10.000.

Seorang pedagang beras di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim, Ipul, mengakui bahwa dalam sepekan terakhir, harga beras yang didatangkan berasal dari Pulau Jawa dan Sulawesi Selatan mengalami kenaikan.

"Harga beras dalam kemasan yang berasal dari Pulau Jawa ukuran 25 kilogram naik, dari Rp295.000 menjadi Rp300.000. Sedangkan beras dari Sulawesi Selatan kemasan 25 kilogram, sebelumnya Rp262.000, naik menjadi Rp265.000," katanya.

Sedangkan beras lokal produksi dari beberapa daerah di Kaltim belum mengalami kenaikan, masih pada kisaran Rp10.000 hingga Rp12.000 per kilogram.

Kenaikan harga beras yang sama juga terjadi di berbagai daerah, termasuk di sentra-sentra produksi padi di Pulau Jawa dan Sulawesi.

Untuk menekan lonjakan harga tersebut, pemerintah daerah melalui Tim Pengendali Inflasi Daerah bekerja sama dengan Perum Bulog mengadakan operasi pasar, dengan menjual beras murah seharga Rp7.400 per kilogram.

"Kami telah berkoordinasi dengan Bulog untuk menggelar operasi pasar beras di tiap kecamatan. Sebagai salah satu komoditas pokok, kenaikan harga beras memiliki bobot hingga 4 persen dalam memengaruhi tingkat inflasi," kata Asisten II Bidang Ekonomi Pembangunan Sekretariat Kota Samarinda Suko Sunawar.

Kenaikan harga komoditas beras yang terkesan tiba-tiba di tengah musim panen raya di sejumlah daerah sentra produksi beras tersebut, memunculkan tudingan adanya dugaan permainan mafia beras di belakangnya.

Adalah Menteri Perdagangan Rachmad Gobel yang mengeluarkan pernyataan soal adanya mafia beras tersebut, kendati kemudian hal itu dibantah Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Selain itu, Presiden Joko Widodo juga menyatakan stok beras hingga saat ini sangat mencukupi kebutuhan masyarakat sampai masa panen raya pada Maret-April 2015.

"Ingin saya sampaikan bahwa stok beras kita cukup sampai masa panen nanti. Sekarang stok kita 1,4 juta ton," katanya saat meninjau penyaluran serentak raskin dan operasi pasar beras di gudang Bulog Divisi Regional DKI Jakarta, Rabu (25/2).

Dalam kesempatan terpisah, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menegaskan sesuai aturan, selisih harga gabah dengan beras yang dijual di pasaran tidak boleh lebih dari 30 persen.

"Harga gabah kering panen saat ini sekitar Rp4.500 per kilogram. Jika mengikuti aturan, seharusnya harga beras di pasaran berkisar Rp6.500 hingga Rp7.000 per Kilogram. Kenyataannya, harga gabah Rp4.500, tapi harga beras tembus Rp12.000 per kilogram, ini berarti ada yang salah dengan sistem pendistribusianya," kata Mentan.

Saat menghadiri panen raya di Desa Geneng, Kabupaten Ngawi, Jatim, Andi Amran menambahkan dengan harga beras yang telah mencapai Rp12.000 per kilogram, maka sesuai aturan selisih 30 persen, harga gabah sekitar Rp9.000 per kilogram.

Nasib Petani

Ketika harga beras di pasaran mengalami lonjakan, nasib berbeda justru dialami para petani sebagai ujung tombak penghasil komoditas pertanian tersebut.

Meskipun beras naik, petani tetap saja tidak menikmati keuntungan dari situasi tersebut. Justru yang diuntungkan adalah distributor atau pedagang besar.

Para petani di Indonesia pada umumnya menghadapi masalah pra dan pascaproduksi, terutama tidak dimilikinya sumber daya produktif, seperti lahan, air dan sarana produksi.

Sebagian besar dari mereka hanya menjadi petani penggarap dan kalaupun memiliki lahan, luasnya hanya sekitar 0,25 hektare.

Selain itu, para petani juga tidak memiliki posisi tawar yang kuat, karena harga jual gabah lebih banyak ditentukan para pedagang atau pengijon, sehingga harga jual sering lebih rendah dari ongkos produksi yang dikeluarkan.

"Kaitannya dengan lonjakan harga saat ini adalah bahwa harga yang tinggi di pasaran tidak serta-merta mencerminkan "income" (pendapatan) yang juga tinggi atau alih-alih kesejahteraan bagi produsen (petani)," kata Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia (API) M Nuruddin.

Ia mengungkapkan di beberapa tempat di Jawa Timur seperti Jombang, Bojonegoro dan Madiun, saat ini harga pembelian gabah kering panen (GKP) berkisar Rp4.500-Rp4.700 per kilogram, jauh di bawah harga beras dari penggilingan yang sudah mencapai Rp9.500 per kilogram.

Sedangkan harga pembelian pemerintah (HPP) yang ditetapkan pemerintah hingga kini belum ada perubahan, masih tetap Rp6.600 per kilogram. Padahal, ongkos produksi pertanian cenderung naik tiap tahun, akibat inflasi dan kenaikan BBM.

Terkait harga, Nuruddin meminta pemerintah untuk menerapkan HPP beras dan gabah secara multikualitas untuk menggantikan model pembelian tunggal sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2012.

HPP multikualitas akan memberikan manfaat dan insentif bagi petani, sehingga mereka mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas produksi gabah/beras nasional.

Sejak 2009, API telah melakukan penelitian tentang kebijakan HPP multikualitas dan sudah lima kali melakukan pertemuan multipihak yang dihadiri oleh Kementan, Kemendag, Kemenko Perekonomian, LSM dan organisasi petani di tingkat nasional, guna memberi masukan kepada pemerintah untuk menerapkan HPP multikualitas.

"Inpres Nomor 3 Tahun 2012 masih menerapkan HPP tunggal dan kami meminta pemerintah untuk mengeluarkan HPP beras dan gabah multikualitas pada tahun ini," katanya menanggapi rencana kenaikan HPP beras dan gabah.

Pendapat senada disampaikan Wakil Ketua Asosiasi Masyarakat Tani Padi (Amartapadi) Nur Hadi Loji, bahwa kenaikan HPP sebesar 10 persen belum tentu menyejahterakan petani, karena fakta di lapangan kenaikan harga gabah dan beras di pasaran sudah jauh di atas HPP.

Loji mengungkapkan, pada Januari 2015, harga gabah kering panen rata-rata meningkat 55 persen, dari Rp3.300 menjadi Rp5.118,31 per kilogram.

"Sudah saatnya pemerintah menerapkan HPP multikualitas, karena kalau masih memakai kebijakan HPP tunggal artinya pemerintah tidak mengevaluasi efektifitas kebijakan yang selama ini diterapkan. Faktanya HPP tunggal ini tidak efektif dalam upaya meningkatkan insentif dan pendapatan petani serta mendukung pengamanan cadangan beras nasional," tambahnya.

Soal kesejahteraan petani, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa pemerintah tidak menginginkan harga beras terlalu rendah sehingga justru akan merugikan petani, namun pemerintah juga tidak ingin harga beras terlalu mahal sehingga memberatkan konsumen.

"Perlu diingat kalau harga beras terlalu rendah, bagaimana petani akan untung. Jangan selalu melihat dari sisi konsumen yang menginginkan harga murah, kita juga harus pikirkan nasib para petani," kata Jusuf Kalla.