Perjuangan Keluarga Dengan Bayi Kembar Lima

id perjuangan keluarga dengan bayi kembar lima

  Perjuangan Keluarga Dengan Bayi Kembar Lima

Oleh Destyan Hendri Sujarwoko

Binar kebahagiaan terpancar jelas di wajah Yuni Yuanita (34) saat mengetahui pertama kali bahwa bayi kembar yang dia lahirkan secara normal di RSUD dr Iskak Tulungagung berjumlah lima jiwa.

Pada perjalanannya, dua dari lima bayi itu meninggal. Yuni dan suaminya Hermawan Risdianto (30) bertekad untuk membesarkan tiga buah hati kembarnya yang masih hidup, meski dengan segala keterbatasan ekonomi mereka.

Peristiwa kelahiran langka itu terjadi pada Selasa (20/1) 2015 dini hari melalui proses persalinan tanpa proses operasi. Yuni dinyatakan menjalani proses persalinan sejak Senin (19/1) sore setelah merasakan mual dan mengalami gejala pecah ketuban.

Bersama suaminya, Yuni kemudian pergi ke RSUD dr Iskak sekitar pukul 23.50 WIB. Yuni dinyatakan mulai melahirkan pada Selasa pukul 00.40 WIB.

Bayi pertama lahir dengan panjang 40 centimeter dan berat 1.090 gram, bayi kedua panjang 30 centimeter berat 920 gram, bayi ketiga panjang 30 centimeter berat 1.030 gram dan bayi keempat panjang 40 centimeter berat 860 gram, sementara bayi kelima lahir dalam kondisi gumpalan daging (orok) yang sudah tidak bernyawa.

Menurut keterangan sumber rumah sakit, usia kandungan Yuni saat itu baru 31 minggu. Namun, karena telah terjadi kontraksi hebat, tim medis akhirnya membantu ibu muda ini untuk melakukan proses persalinan secara normal.

"Karena usia kandungan belum genap sembilan bulan, berat badan bayi tidak sampai dua kilogram. Ini biasa terjadi akibat kelahiran bayi prematur," ungkap dokter kandungan yang menangani proses persalinan dr Irfani Baihaqi.

Sayang, dari empat bayi kembar yang hidup, satu bayi lain dengan bobot terendah akhirnya meninggal karena malafungsi organ tubuh yang tidak terbentuk sempurna.

Menurut dr Irfani Baihaqi, kelahiran bayi kembar lima tersebut sangat langka. Dalam dunia persalinan, meninggalnya satu bayi kembar biasa disebut dengan istilah "twin to twin tranfusion", yakni suatu kondisi medis yang ditandai dengan distribusi yang tidak merata dari aliran darah di antara sepasang kembar monozigotik (identik) yang berbagi plasenta.

Salah satu bayi menerima suplai darah yang lebih sedikit yang dikenal sebagai bayi donor, sedangkan bayi kembar lainnya yang lebih banyak menerima suplai darah dikenal sebagai bayi resipien.

"Jadi bayi (orok) yang satu mengorbankan dirinya agar yang lain bisa tetap hidup," urainya.

Humas RSUD dr Iskak, Mohammad Rifai menjelaskan meninggalnya salah satu bayi kembar yang sempat lahir hidup dikarenakan organ paru-parunya belum matang.

Seharusnya, lanjut dia, proses pematangan paru-paru terjadi saat bayi masih berada di dalam kandungan. "Seharusnya paru-paru bisa kembang kempis tapi ini tidak," ujarnya.

Selama ini, pihak RSUD telah membantu dengan memasang respirator dan oksigen murni untuk bernafas.

Namun, surfaktan atau zat yang berfungsi untuk mengembangkan paru-paru dalam tubuh tidak berfungsi. "Kemampuan surfaktan di dalam tubuh berbeda-beda," tuturnya.

Sementara itu, kondisi tiga bayi kembar lain yang masih bertahan hidup menunjukkan perkembangan positif. Pada awal pekan kedua sejak kelahirannya, ketiga bayi sudah bisa menerima asupan air sebanyak lima cc per hari.

Jumlah asupan yang mampu diterima terus meningkat hingga 10 CC per tiga jam sekali. "Namun berat bedan ketiga bayi tersebut belum mengalami perubahan yang signifikan. Hanya naik sedikit," ungkap Rifai.

Dipulangkan

Saat ditemui di rumahnya di Dusun Kates, Desa Serut, Kecamatan Boyolangu, sekitar pertengahan Februari, Hermawan atau Wawan sedang mempersiapkan kelengkapan berkas BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) untuk ketiga anaknya yang saat itu belum genap berusia 30 hari.

Ia lakukan itu lantaran keluarganya belum terlindungi BPJS untuk keluarga miskin yang dulunya masuk program jamkesmas.

Wawan sedih karena perjuangan merawat ketiga anaknya belum usai. Hal itu karena kondisi tubuh bayi-bayi itu belum sepenuhnya stabil, dan harus dirawat sendiri tanpa pengawasan langsung dari dokter ataupun tim kesehatan RSUD dr Iskak.

Ia memang masih bisa melarikan ketiga anak kembarnya ke rumah sakit sewaktu-waktu kondisinya kesehatannya bermasalah.

Namun hal itu sama sekali tak menghilangkan rasa was-wasnya, mengingat suhu tubuh ketiga bayinya kerap naik tiba-tiba.

Wawan mengungkapkan, ketiga putrinya yang diberi nama FA Olivia, Salvira Salsabila, serta Zein Yuandini itu hanya memiliki bobot tubuh sekitar 11-12 ons, saat dipulangkan dari rumah sakit.

Berat badan bayi memasuki usia sebulan (28 hari) bahkan masih jauh dari ambang batas minimal bayi normal, yakni 200 gram atau dua kilogram.

"Sejak dipulangkan akhir pekan lalu, anak saya sudah tiga kali harus dilarikan ke rumah sakit, karena kondisinya yang mengalami demam tinggi. Kami sungguh khawatir tapi tidak tahu harus bagaimana," kata Wawan.

Merasa tidak memiliki biaya untuk pengobatan ketiga putri kembarnya, Hermawan memilih mengurus persyaratan BPJS mandiri. Hal itu terpaksa dia lakukan karena keluarganya belum terdaftar dalam BPJS untuk keluarga miskin.

Hermawan mengaku dulu dirinya pernah terdaftar dalam program jamkesmas, namun saat itu ia belum menikah dan masih menggunakan KK (kartu keluarga) orang tuanya saat saat masih hidup.

"Kini setelah mereka tiada dan saya menikah, keluarga baru saya belum terdaftar lagi dalam program BPJS untuk keluarga miskin," tuturnya.

Namun, upayanya mendapat BPJS untuk warga miskin yang dibiayai oleh negara (subsidi) sepertinya tidaklah mudah.

Sebab, nama mereka belum tercakup dalam pembaharuan "database" BPJS bersubsidi untuk warga miskin, sebagaimana program jamkesmas terdahulu.

"Kami sudah koordinasi dengan perangkat desa, katanya akan diusulkan untuk pembaruan data BPJS kelak," cetusnya pasrah.

Sementara menunggu kepastian nasib kartu jaminan sosial bersubsidi itulah, Hermawan atau Wawan terpaksa mengurus BPJS jalur mandiri.

Ia mendaftarkan sekaligus satu keluarga kecilnya yang terdiri dari dia sendiri, istri, serta ketiga putri kembarnya tersayang.

Wawan yang hanya buruh serabutan ini mengaku tidak peduli meski setiap bulannya dia harus membayar iuran wajib BPJS sebesar Rp127 ribu (Rp25.500 x 5 orang).

Sebagai keluarga miskin yang bahkan kini tak memiliki penghasilan sama sekali selama sebulan terakhir karena tak bekerja, beban biaya itu dirasakannya terlalu berat.

Apalagi ia harus mencarikan dana untuk membeli susu bayi yang harganya mencapai Rp75 ribu per kilogram untuk kebutuhan maksimal empat hari.

"Tidak ada jalan lain, karena hanya dengan ini bayi-bayi kami bisa mendapat jaminan perlindungan kesehatan. Kami ingin secepatnya FA Olivia dan kedua saudara kembarnya bisa kembali dirawat di rumah sakit, tanpa harus bingung memikirkan biaya rumah sakit," ujarnya, lirih.

Wawan dan istrinya, Yuni Yuanita, patut was-was atas kondisi ketiga anak kembar mereka. Sebab, sejak "dipulangkan" oleh pihak rumah sakit karena dianggap telah mampu menerima asupan air secara langsung, sekitar akhir pekan lalu, kondisi FA Olivia bersaudara cenderung tidak stabil.