Mewujudkan Negeri Florikultura Dengan "Little Gardenia"

id mewujudkan negeri florikultura dengan little gardenia

Mewujudkan Negeri Florikultura Dengan "Little Gardenia"

Oleh Yashinta Difa Pramudyani

Deretan tanaman kecil berbungkus kain berwarna putih tulang serupa goni mini dengan tali gantung di sisi kanan dan kiri seketika menarik perhatian.

Tanaman itu dipamerkan di antara berbagai produk pertanian di Agrinex Expo 2015 di JCC, Jakarta, Jumat (20/3).

Sekelompok ibu-ibu terlihat asyik mengamati satu per satu tanaman yang dilengkapi dengan kertas kecil berisi keterangan nama tanaman, nama ilmiah, habitat asli, cara perawatan, sekaligus manfaat setiap tanaman tersebut.

Setelah dilihat lebih seksama, ternyata tanaman tersebut adalah "herbs" atau tanaman sejenis rumput-rumputan yang sering dimanfaatkan untuk bumbu masakan ala Barat yang ditanam dalam tabulampot berdiameter 10 sentimeter.

Seorang ibu bernama Hastuti (47) tampak kegirangan saat mengetahui bahwa salah satu tanaman tersebut adalah tanaman mint yang terkenal beraroma segar dan biasa dicampurkan dalam minuman atau makanan penutup.

"Wah ini yang saya cari, kalau pakai ini kan tinggal petik saja tidak usah rajin beli di supermarket," katanya.

Pengunjung lain bernama Netta (40) mengaku senang bisa menemukan tanaman basil dan oregano yang masih segar yang menurutnya akan lebih "terasa" saat dibubuhkan dalam masakan favoritnya seperti pasta atau stik.

"Biasanya kan kita gampang dapat yang sudah dikeringkan ya, kalau yang segar begini masih jarang, apalagi ini dari pohonnya langsung," tuturnya.

Berbagai tanaman "herbs" seperti mint (Mentha spicata), peppermint (Mentha piperita), thyme (Thymus vulgaris), oregano (Origanum vulgare), basil (Ocimum basilicum), sage (Salvia officinalis), dill (Anethum graveolens), rosemary (Rosmarinus officinalis, dan marjoram (Origanum majorana) itu dikemas dalam goni mini bernuansa "vintage" dengan tulisan "A Little of Gardenia".

Adalah Raden Nanda Teguh Perkasa, pemuda 21 tahun yang sudah sejak satu tahun terakhir menekuni usaha florikultura (tanaman hias) dan "herbs" yang merupakan produk diferensiasi dari komoditas florikultura (tanaman hias) dengan mengusung konsep miniatur kebun dan tanaman mini sebagai dasar dari produksi agar memiliki nilai lebih.

Desain kemasan yang unik dan menarik merupakan cara dia dalam melakukan "branding" bahwa tanaman hias dapat disubstitusikan pada kebutuhan sehari-hari masyarakat sehingga produk "A Little Gardenia" cocok digunakan sebagai hiasan interior, hadiah, suvenir, dan barang dagangan.

"Kalau tanaman "herbs" ini tergolong produk baru, produk utama kami yaitu tanaman hias biasanya diproduksi dalam bentuk terrarium dan suvenir pernikahan," tuturnya.

Ide untuk mengembangkan jenis tanaman "herbs" muncul karena tanaman berdaun kecil-kecil dengan tinggi tak lebih dari 18 sentimeter itu selain bisa berfungsi sebagai tanaman hias, juga bisa dicampurkan dalam masakan sehari-hari sebagai bumbu pelengkap, penyedap rasa, dan penambah aroma.

Bahkan beberapa tanaman seperti thyme, sage, dan basil berkhasiat untuk meredakan radang tenggorokan dan meningkatkan kekebalan tubuh.

Meskipun berhabitat asli di Eropa, Nanda mengaku tanaman tersebut tidak sulit untuk dikembangkan di Indonesia.

"Perawatannya pun mudah, cukup disiram dua hari sekali dan harus kena cahaya matahari minimal 3-4 jam sehari, karena cahaya adalah sumber makanan pokok mereka," ujarnya.

Menurut dia, jenis tanaman dan konsep yang ditawarkan oleh "A Little Gardenia" sangat cocok bagi mereka yang ingin mempraktikkan "urban farming" (pertanian perkotaan) yang biasanya terkendala dengan lahan sempit dan waktu yang terbatas.

"Bahkan dengan tali yang ada di kemasan kainnya, kita bisa dengan mudah menggantungkannya di mana saja jadi tidak akan "makan tempat"," katanya.

Dengan tinggi tanaman yang tidak lebih dari 18 sentimeter dan ukuran kontainer berdiameter 6-30 sentimeter, Nanda mengklaim produknya sangat sesuai untuk lahan sempit bahkan "indoor" (dalam ruangan).

"Kami memang memilih tanaman hias yang "tidak umum" artinya jenis tanaman yang pertumbuhannya cenderung lambat jadi tidak akan cepat tinggi, sedangkan "herbs" kan bisa rutin dipetik daunnya untuk bumbu masakan jadi tingginya akan konsisten di kisaran 10-16 meter saja," katanya.

Cara perawatan tanaman yang mudah dan praktis tanpa harus disiram setiap hari pun menjadi solusi bagi warga perkotaan yang ingin tetap menjalani hobi bertani tapi seringkali tidak punya banyak waktu karena tuntutan kesibukan sehari-hari.

Dengan kisaran harga Rp10 ribu - Rp300 ribu untuk tanaman hias jenis sansevieria, haworthia, notocactus (kaktus berbentuk bulat), kalanchoe (cocor bebek), krasula, bromelia dan Rp50 ribu - Rp100 ribu untuk tanaman "herbs", Nanda mengatakan bahwa produknya cukup diminati oleh kalangan muda pada rentang usia 18-30 tahun.

Kendati belum memiliki gerai sendiri, namun produk tanaman mini tersebut dapat dengan mudah ditemukan di Lawangwangi Creative Space, Dago, Bandung.

"Produk kami sudah tersebar di beberapa daerah di Pulau Jawa, tapi sebagian besar konsumen masih berasal dari Bandung dan Jakarta," katanya.

Selain itu konsumen yang tertarik juga dapat terlebih dulu melihat informasi produk tanaman tersebut melalui website littlegardenia.com dan melalui akun instagram @littlegardenia_official.

"Kami juga berusaha melakukan pemasaran secara "online", tapi pembeli paling banyak tetap berasal dari sistem "offline" melalui penjualan langsung di Lawangwangi dan di pameran-pameran seperti ini karena konsumen kan ingin lihat produknya secara langsung," tuturnya.

Negeri florikultura

Nanda yang merupakan alumni Jurusan Pertanian Universitas Padjajaran itu mengatakan bahwa inspirasinya untuk membangun bisnis tanaman hias berasal dari Negeri Belanda.

"Terinspirasi dari (negara) Belanda karena di sana bisnis penjualan tanaman khususnya tanaman hias itu banyak peminatnya, tidak seperti di sini dimana tanaman hias belum mendapat perhatian masyarakat," tuturnya.

Untuk itu, hingga 2018 mendatang ia tidak menargetkan produknya diekspor karena ia ingin lebih banyak memasyarakatkan tanaman hias dan "herbs" di tanah air.

"Saya ingin industri hortikultura menjamur di Indonesia, bahkan kalau bisa saya ingin jadi "pioneer" industri florikultura," katanya diiringi senyum lebar.

Motivasi lain, katanya, datang dari pengalamannya selama bergabung dalam organisasi kampusnya dimana dia menemukan bahwa kendala terberat yang dihadapi para petani adalah pemasaran dan distribusi produk.

Maka dengan bisnis yang dirintisnya sejak 2014 lalu, ia menggandeng beberapa petani lokal asal Bandung dan Cianjur sebagai produsen, serta tiga orang temannya untuk operasional bisnis.

"Jadi kami berperan sebagai penghubung antara petani (produsen) dengan pasar (konsumen)," ujarnya.

Merasa mantap menjalani peran sebagai wirausahawan, Nanda bertekad untuk terus mengembangkan bisnisnya melalui beberapa inovasi antara lain penambahan jenis tanaman, program "growing kid", dan program "vertical garden".

"Saat ini kami sedang melakukan riset untuk tanaman karnivora seperti kantong semar (Nepenthes) sebelum dibudidayakan lebih jauh oleh petani dari daerah Bekasi dan Balikpapan," katanya.

Sedangkan program "growing kid" merupakan cara untuk mengajak masyarakat mengembangkan tanaman hias dan "herbs" sejak masih berbentuk benih melalui penjualan satu paket tanaman yang sudah terdiri dari benih, media tanam, pupuk, dan pot mini.

Melalui program tersebut ia berharap akan memperluas edukasi dan pemahaman masyarakat tentang perawatan tanaman hias dan "herbs" karena selama ini orang cenderung berpikir bahwa jenis tanaman bumbu asal Eropa dan Yunani itu sulit dan bahkan tak mungkin bisa hidup di Indonesia.

Terkait dengan "vertical garden" (taman vertikal), tujuannya sebenarnya sama dengan "urban garden" yaitu untuk mempraktikkan pertanian di lahan terbatas melalui penyusunan instalasi dan pot-pot tanaman secara vertikal (mengarah ke atas).

"Kalau "vertical garden" biasanya peminatnya adalah orang-orang dengan rentang usia 30-45 tahun atau bahkan lebih," tuturnya.

Instalasi taman vertikal dengan tinggi 54 sentimeter dan panjang 75 sentimeter yang dibuat dari tali dan kayu Mahoni dibandrol dengan harga Rp600 ribu. Instalasi dengan 3-5 tingkatan tersebut dapat menampung hingga 20 pot tanaman mini dengan pengerjaan kurang lebih satu bulan melalui sistem "pre order".

"Bisa juga dijual satu paket dengan tanamannya, harga paling murah paket instalasi plus tanaman sekitar Rp1 juta," tuturnya.

Saat perayaan tertentu seperti Idul Fitri atau hari Valentine s, Nanda berupaya untuk mengemas produknya dalam format "say it edition" dengan menyesuaikan pada tema dan konsep yang ingin ditonjolkan.

"Misalnya waktu Valentine s kami kemas dengan warna pink dan simbol hati dengan tujuan agar produk tanaman mini kami bisa jadi alternatif hadiah atau pemberian buat orang lain selain coklat dan bunga tentunya," katanya diikuti gelak tawa.

Dengan memasarkan tanaman hias dan "herbs" dalam 27 desain kemasan dan konsep unik, pemuda Sunda tersebut berhasil memperoleh omzet hingga Rp6 juta - Rp7 juta per bulan.

"Selanjutnya kami sedang usahakan agar produk kami juga bisa kami titip jualkan di titik pemberhentian kilometer 72 tol Cipularang agar semakin memudahkan konsumen mengakses produk kami," tuturnya.