Reaktivasi "Dry Port" Dan Revitalisasi Tanjung Emas

id reaktivasi, dry port, dan revitalisasi, tanjung emas

 Reaktivasi "Dry Port" Dan Revitalisasi Tanjung Emas

Oleh Slamet Hadi Purnomo

Surabaya, (Antarariau.com) - Reaktivasi "dry port" dan revitalisasi Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Jawa Tengah, kini telah digulirkan guna mendukung kelancaran arus barang serta menekan kepadatan lalu-lintas kendaraan di jalan raya.

Reaktivasi "dry port" maupun revitalisasi pelabuhan di Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah (Jateng) tersebut diharapkan juga bisa menjadi pengungkit roda perekonomian daerah setempat.

Pelabuhan Tanjung Emas memiliki daerah belakang (hinterland) meliputi Jateng dan Yogyakarta. Luas wilayah Jateng 34.548 kilometer persegi, sedangkan luas wilayah Yogyakarta 3.185,80 kilometer persegi.

Komoditas ekspor dari daerah ini yang dominan di antaranya mebel, benang, papan, makanan dan minuman dan hasil perkebunan seperti kopi.

Nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) tentang rencana reaktivasi dry port dari dan ke Pelabuhan Tanjung Emas sudah ditandatangani jajaran Dirjen Perkeretaapian, Dirjen Perhubungan Laut, PT Pelabuhan Indonesia III (Perseo), Pemprov Jateng dan PT Kereta Api Indonesia.

"Kini tinggal menunggu tindak lanjutnya," kata General Manager PT Pelabuhan Indonesia III Cabang Tanjung Emas, Tri Suhardi, saat menerima kunjungan wartawan dari berbagai media massa, di Semarang, belum lama ini.

"Dry port" atau pelabuhan daratan merupakan pelabuhan yang berada di daratan yang berfungsi seperti halnya pelabuhan laut. Di pelabuhan daratan ini dilakukan konsolidasi muatan, penumpukan, pergudangan serta dokumentasi muatan yang selanjutnya dikirim ke pelabuhan laut.

Pengiriman ke pelabuhan menggunakan peti kemas melalui jalur kereta api. Sesampai di pelabuhan, peti kemas akan dimuat ke kapal untuk kemudian dikirim ke tempat tujuan.

Didampingi General Manager Terminal Petikemas Semarang (TPKS) , Iwan Sabatini, ia menjelaskan, jalur "dry port" dari dan menuju ke Pelabuhan Tanjung Emas sebenarnya sudah pernah ada.

Namun demikian, layanan "dry port" terhenti pada 2006. Terhentinya layanan itu diduga karena ketatnya persaingan dengan pengiriman barang dari dan ke pelabuhan menggunakan truk melalui jalan raya.

Sejumlah pelaku usaha menilai layanan "dry port" sebenarnya cukup kompetitif dari sisi waktu, tapi belum bersaing dari sisi biaya.

Pengiriman barang dari dan ke pelabuhan melalui jalur kereta api, jauh lebih cepat dibandingkan menggunakan truk melalui jalan raya. Sebab, pengangkutan barang melalui jalur kereta api tidak mengalami kemacetan (traffic jam).

Meski demikian, pengangkutan menggunakan jalur kereta api dinilai jauh lebih mahal ketimbang menggunakan jasa angkutan truk melalui jalan raya karena harus menanggung biaya "double handling".

Contohnya, barang ekspor di gudang eksportir yang sudah disanitasi, dikemas dan dimasukkan dalam peti harus diangkut truk lebih dulu menuju terminal kereta api.

Sesampai di terminal, peti kemas diangkat, dan kemudian diletakkan di rangkaian kereta api. Dari terminal tujuan di pelabuhan laut, peti kemas harus diangkat lagi dan diangkut menggunakan truk hingga tepi dermaga sebelum diangkat dengan "crane", ditata di atas kapal, dan diangkut ke tempat tujuan.

"Jika melihat perjalanannya seperti itu, memang biaya pengangkutan peti kemas melalui "dry port" akan relatif mahal. Tapi, ingat, menggunakan jalur jalan raya bukan berarti murah kalau kita menghitung risiko yang dihadapi," kata Iwan Sabatini yang segera menjabat Dirut Rumah Sakit Pelabuhan di Surabaya ini.

Pengangkutan peti kemas melaui jalan raya, pasti akan menambah kepadatan arus lalu lintas di jalan raya. Tingginya volume kendaraan di jalan raya tentu akan berpotensi menimbulkan kemacetan arus lalu lintas.

Kemacetan arus lalu lintas sudah pasti akan berdampak terhadap "terbuangnya" bahan bakar minyak bersubsidi secara sia-sia.

Apalagi, beban kendaraan dan muatan yang cukup besar, akan berdampak juga terhadap daya tahan jalan dari kerusakan. Dana yang dibutuhkan untuk pemeliharaan jalan mungkin juga tidak sedikit. Belum lagi jika pelaku usaha menghitung tingkat risiko kecelakaan di jalan raya.

Karena itu, rencana reaktivasi "dry port" perlu didukung agar alternatif pengangkutan barang bertambah, dan diharapkan arus barang semakin lancar.

Dana untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) dari pemerintah bisa disisihkan untuk mendukung operasional PT Kereta api agar mampu memberikan layanan di "dry port" lebih kompetitif karena "double handling" yang dikeluhkan pelaku usaha, bisa ditekan.

Terkait dengan reaktiviasi ini, jajaran PT Kereta Api Indonesia Daerah Operasi (Daops) IV Semarang tampaknya kini memang telah melakukan langkah-langkah guna reaktivasi jalur kereta api dari Stasiun Tawang - Pelabuhan Tanjung Emas yang jaraknya tidak terlalu jauh, sekitar 1-2 kilometer.

Langkah yang dilakukan perusahan penyedia jasa angkutan kereta api tersebut adalah menyiapkan jalur yang pernah ada antara Stasiun Tawang - Pelabuhan Tanjung Emas yang saat ini sebagian relnya terpendam akibat turunnnya permukaan tanah.

Tanah di sekitar Pelabuhan Tanjung Emas Semarang berdasarkan hasil survei yang dilakukan tim dari Universitas Diponegoro Semarang mengalami penurunan sekitar 5 centimeter setiap tahun.

Pergerakan tanah tersebut diperparah dengan air laut pasang (rob) sehingga berdampak terhadap mudah atau cepat rusaknya bangunan di daerah setempat.

PT Kereta Api Indonesia Daops IV Semarang juga sedang mempersiapkan lahan untuk lapangan penumpukan di sekitar terminal "dry port" seluas 5 hektare di Kelurahan Tanjung Emas. Untuk mempersiapkan lahan ini harus membebaskan lahan.

Langkah PT Kereta Api Indonesia mendapat dukungan Pemprov Jateng yang rencananya akan mengaktifkan kembali 11 jalur kereta api di daerahnya guna mendukung kelancaran arus lalu lintas dan mengurangi beban jalan raya, di antaranya jalur Tawang - Pelabuhan Tanjung Emas serta jalur Purwokerto hingga ke Wonosobo dan ke Bedono.

Kepala Dinas Perhubungan, Komonikasi dan Informatika (Kadishubkominfo) Jateng Urip Sihabudin usai bertemu jajaran PT Kereta Api Indonesia pernah mengemukakan Pemprov Jateng akan mereaktivasi jalur kereta api dan menata simpul antarmoda.

Dengan simpul tersebut diharapkan dapat menghubungkan moda angkutan kereta api dengan berbagai transportasi lainnya, misalnya dengan pesawat terbang di bandara, bus dan truk di terminal serta kapal laut di pelabuhan.

Revitalisasi

Gagasan untuk mengaktifkan kembali "dry port" tersebut sejalan dengan langkah yang dijalankan manajemen PT Pelabuhan Indonesia III Cabang Tanjung Emas dalam beberapa tahun terakhir yang melakukan revitalisasi pelabuhan yang dikelolanya.

Revitalisasi yang dilakukan tidak sebatas perbaikan layanan berbasis teknologi informasi, perbaikan dermaga, dan penambahan peralatan bongkar muat, tetapi juga menyolusikan masalah "rob".

Revitalisasi adalah upaya menggiatkan kembali berbagai kegiatan kepelabuhanan di Tanjung Emas. Revitalisasi Tanjung Emas tampaknya akan sia-sia jika tidak menyentuh kepada penanganan rob yang maksimal.

Manajemen Pelabuhan Tanjung Emas yang terdiri dari PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) Cabang Tanjung Emas dan PT Terminal Petikemas Semarang (TPKS) -- keduanya di bawah PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) -- selama ini terus bahu-membahu untuk bisa mengatasi masalah rob secara paripurna, kendati hal itu tidak mudah.

Rob atau banjir air laut adalah banjir yang diakibatkan oleh air laut pasang yang menggenangi daratan. Rob merupakan permasalahan yang terjadi di daerah yang lebih rendah dari muka air laut seperti halnya Semarang.

Pelabuhan Tanjung Emas Semarang (termasuk TPKS), seperti dalam sejarahnya, berawal dari aktivitas berlabuh kapal-kapal niaga di jaman kerajaan Demak. Kapal-kapal niaga dari Tiongkok, Arab, India, Portugis dan Belanda berlabuh di Kali Semarang.

Kali Semarang pada saat ini merupakan tempat yang paling ramai dikunjungi kapal dibandingkan dua tempat lain di Jateng yakni Losari di Brebes dan Tegal. Perdagangan melalui daerah tersebut terus berkembang dan akhirnya membuat Kali Semarang menjadi sebuah pelabuhan.

Tapi, pengelolaan pelabuhan di Ibukota Provinisi Jateng ini dihadapkan masalah yang selalu muncul, yakni rob. Air laut pasang menggenangi kawasan daratan di daerah tersebut. Permukaan tanah yang terus turun menjadikan kawasan Pelabuhan Tanjung Emas semakin "tenggelam".

Seperti syair lagu "Semarang kaline banjir, Ojok sumelang ora dipikir...," telah menyiratkan bahwa Kali Semarang memang selalu banjir. Pelabuhan Tanjung Emas yang merupakan pengembangan Kali Semarang sudah pasti mengalami hal itu. Setiap tahun banjir.

"Ada waktu "idle" sekitar empat hingga lima jam per hari. Tapi dengan adanya sistem polder yang kita bangun, masalah tersebut dapat diatasi," kata Tri Suhardi.

Polder yang dimaksud adalah sebuah sistem retensi air. Air rob yang biasanya langsung dibuang ke laut, ditahan di kolam penampungan yang seluas 7.500 meter persegi dan kedalaman 4 meter. Selanjutnya, dalam ketinggian tertentu, ketika penanda menyala, air tersebut akan dipompa ke laut. Enam pompa telah disiapkan di pojok kolam.

Selain itu, di pinggir dermaga dibangun semacam tembok pembatas dengan ketinggian sekitar 1,5 meter mengelilingi pelabuhan yang luasnya sekitar 50 hektare.

Sistem polder yang mengadopsi sistem yang dikembangkan di Belanda tersebut selesai dibangun pertengahan 2014. Untuk sementara ini, di Pelabuhan Tanjung Emas ada satu sistem polder dan di TPKS juga ada satu sistem yang sama. Pembangunan sistem tersebut menghabiskan dana sekitar Rp300 miliar.

"Perangkat tersebut sangat efektif untuk mengatasi rob," kata Asmen Pemasaran TPKS, Purnomo, ketika mendampingi tamu melihat dari dekat sistem retensi air rob.

Dengan upaya tersebut aktivitas di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang kini menjadi cukup lancar. Arus barang maupun penumpang dari dan ke pelabuhan bahkan cenderung meningkat.

Arus kapal di Pelabuhan Tanjung Emas saat ini mencapai 4.652 unit atau sekitar 20,63 juta gross tonnage (GT). Kunjungan kapal pesiar juga meningkat dari 19 kapal pada 2013 menjadi 25 kapal pada 2014.

Hal yang sama juga dialami TPKS. Anak perusahaan PT Pelabuhan Indonesia III yang mengelola dermaga sepanjang 495 meter dengan kedalaman 10 meter ini pada 2013 menangani arus petikemas 489.703 twenty equivalent units (teus) dan pada 2014 meningkat menjadi 575.703 teus.

Revitalisasi Pelabuhan Tanjung Emas Semarang kini telah menunjukkan hasil positif. Tapi, terealisasinya reaktivasi "dry port" tampaknya akan semakin memberikan kontribusi maksimal.