Pekanbaru, (Antarariau.com) - Pakar ekologi dari Universitas Riau, Dr. Suwondo Msi menilai revisi Peraturan Pemerintah tengang Gambut perlu memperhatikan tengang aturan ketinggian muka air, yang kini menjadi salah satu permasalahan karena diprotes oleh kalangan pengusaha.
"Dalam pengelolaan lingkungan di lahan gambut, harus perhatikan tata air. Sebelum PP Gambut keluar, ada namanya Permentan No.14/2009. Disitu jelas diatur kedalaman air 0,6 sampai 0,8 meter, sementara dalam PP Gambut dinaikan 0,4 meter, yang jadi heboh semua," papar pakar ekologi Universitas Riau, Dr Suwondo MSi di Pekanbaru, Jumat.
Menurut dia, Permentan No.14/2009 sudah mengatur muka air gambut yang minimal 0,6 meter untuk kelapa sawit, dan 0,8 meter bagi Hutan Tanaman Industri (HTI). Ia mengatakan aturan itu merupakan solusi sebagai acuan dari revisi PP tentang Gambut.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya sebelumnya mengatakan, pemerintah perhatikan kepentingan pelaku usaha karena direvisi peraturan turunan dari Undang-undang No.31/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yakni PP No.71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Suwondo berucap, pemerintah terutama Kementerian LHK saat ini sedang mencari konsep yang tepat terkait revisi PP Gambut. Bila perlu kembali ke kosep Permentan No.14/2009 karena hasil yang diharapkan hampir sama, bahkan dalam permetan itu lebih teknis diatur mengenai gambut.
Kejadian tebakarnya lahan terutama di Provinsi Riau dalam 17 tahun terakhir karena lahan gambut dilanda kekeringan pada musim kemarau dan kebanjiran di musim hujan yang disebabkan kemapuan atau fungsi gambut dalam mengikat air menjadi hilang.
"Kalau kami memandang Permentan itu masih sesuai terutama aturan teknisnya sudah baik dan menjadi solusi dari revisi yang dilakukan. Sebab, pemerintah tidak boleh jika gambut itu dibiarkan atau tidak diatur. Bila diatur ketat, maka bahaya juga bagi gambut kita," jelasnya.
Dia menjelaskan, PP Gambut dikeluarkan memiliki kesan hanya mengutamakan kepentingan lingkungan dan abaikan kepentingan ekonomi serta kepentingan sosial, padahal dalam UU No.31/2009 harus mengutamakan ketiga kepentingan tersebut dan pembangunan dilakukan adalah pembangunan berkelajutan.
"Jadi, jangan dilihat dalam konteks kebakaran hutan dan lahan atau sisi ekologi atau lingkungan saja. Pembangunan berkelanjutan tidak boleh melupakan tiga pilar yakni linkungan, ekonomi dan sosial. Jadi tiga-tiganya harus bersahabat dan jangan saling menjatuhkan," tegasnya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menampung masukan dari para pemangku kepentingan khususnya pelaku bisnis dalam proses mengevaluasi Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, sebelum resmi diterapkan pada Mei 2015.
"Kita pemerintah sekarang ini posisinya sebagai simpul negosiator. Negosiasi antara kepentingan, baik pelaku usaha seperti hari ini, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat adat," kata Sekjen Kementerian LHK, Hadi Daryanto.
Kementerian itu mencatat, saat ini luas lahan gambut mencapai 14 juta hektare (ha) dan luas lahan gambut yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku usaha mencapai 7 juta ha. Tersisa sekitar 3,6 juta ha sampai 4 juta ha. Sekitar 1,7 juta ha lahan sudah dimanfaatkan untuk areal kebun kelapa sawit dan 1,7 juta ha untuk HTI.
Berita Lainnya
Pakar: Revisi UU MD3 Cenderung Pragmatis
12 July 2014 15:00 WIB
Realisasi vaksinasi pelajar tinggi, PTM di Meranti kembali normal
13 May 2022 14:30 WIB
Perguruan tinggi di Indonesia sudah bersiap melaksanakan pembelajaran tatap muka
04 January 2022 15:25 WIB
Pemerintah dorong pelaksanaan pembelajaran tatap muka perguruan tinggi
06 September 2021 11:37 WIB
BRG waspadai penurunan muka air di Riau capai 1 meter, begini dampaknya
29 July 2019 17:53 WIB
Muka Laut Naik Lebih Tinggi Dalam 150 Tahun Terakhir
14 October 2014 11:35 WIB
Gunakan nano filter, air gambut SPAM di Tanjungsamak jadi bening
09 February 2023 12:23 WIB
Melihat inovasi pengolahan air gambut, sekarang bisa diminum
25 October 2022 23:09 WIB