Masalah Kemandirian Pangan Di Indonesia

id , masalah kemandirian, pangan di indonesia

  Masalah Kemandirian Pangan Di Indonesia



Oleh Benardy Ferdiansyah

Jakarta, (Antarariau.com) - Tidak hanya kebutuhan energi, kebutuhan akan pangan rakyat Indonesia juga semakin besar.

Orang Indonesia mengonsumsi beras rata-rata sekitar 130 kilogram per tahun sehingga setidaknya harus tersedia pasokan sekitar 35 juta ton beras di Indonesia untuk satu tahun.

Pada tahun-tahun mendatang, kebutuhan tersebut akan meningkat tajam karena diperkirakan pada 2035 kebutuhan akan beras di Indonesia mencapai 43 juta ton atau setara dengan 76 juta ton gabah kering giling.

"Saya mengingatkan perlunya perhatian pada masalah pangan yang akan menjadi tantangan besar Bangsa Indonesia di masa depan," kata Pendiri dan Pemimpin Medco Group Arifin Panigoro dalam diskusi "Menanam Benih Kemandirian" yang diselenggarakan di Jakarta, 14 maret 2015.

Ia memperkirakan, kebutuhan konsumsi beras pada 2025 akan mencapai 39,2 juta ton dengan jumlah penduduk pada saat itu sekitar 282 juta jiwa.

"Oleh karena itu, diperlukan tingkat produksi yang mampu mengamankan kebutuhan beras di dalam negeri," katanya.

Menurut Arifin, setidaknya ada enam masalah di bidang pangan Indonesia yang harus menjadi perhatian pemerintah dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan.

Pertama, kata Arifin adalah produksi padi masih harus ditingkatkan karena pada 2010 produksi gabah kering giling nasional hanya 66,47 juta ton kemudian mengalami penurunan kembali pada 2011 menjadi 65,74 juta ton.

"Peningkatan mulai terjadi pada 2012 dan 2013 masing-masing sebesar 69,05 juta ton dan 71,28 juta ton," kata Arifin.

Namun, menurut Arifin, pada 2014 produksi gabah kering giling kembali menurun jadi 70,6 juta ton.

"Padahal untuk mengamankan pasokan dalam negeri, setidaknya saat ini Indonesia setidaknya membutuhkan 73 juta ton gabah kering giling," ujarnya.

Kemudian yang kedua, konversi lahan pertanian ke lahan non-pertanian.

Menurut Arifin, luas lahan sawah di Indonesia mengalami peningkatan dalam tiga tahun belakangan dengan rincian pada 2012 luas lahan sawah di Indonesia mencapai 13,44 juta hektare, pada 2013 bertambah menjadi 13,83 juta hektare dan pada tahun lalu mencapai 13,77 juta hektare.

"Meski demikian, luas lahan sawah di beberapa bagian di Indonesia terutama Pulau Jawa, berkurang akibat konversi dari lahan pertanian ke lahan non-pertanian," tuturnya.

Ia menyatakan, rata-rata konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian di Indonesia mencapai sekitar 100 ribu hektare per tahun.

"Untuk mencukupi kebutuhan pasokan padi secara nasional, setidaknya dibutuhkan 1 juta hektare lahan sawah baru di Indonesia," katanya.

Menurutnya, dari setiap 5.000 hektare sawah yang ada, perlu dibangun satu pabrik beras dengan kapasitas 40 ribu ton gabah kering giling per tahun.

"Artinya, untuk 1 juta hektare lahan baru diperlukan 200 perusahaan baru yang akan dipimpin oleh para "entrepreneur" muda," tuturnya.

Selanjutnya, masalah ketiga adalah perubahan cuaca atau "climate change" yang sering membuat jadwal panen berubah.

Menurut Arifin, persoalan "climate change" sebenarnya menjadi tantangan semua negara di dunia pada saat ini, termasuk Indonesia.

"Akibat perubahan cuaca, masa-masa tananmdan panen di Indonesia sering kali berubah, sehingga menjadi penyebab terjadinya bencana, misalnya banjir," ujarnya.

Ia menuturkan, banyaknya curah hujan di bulan-bulan tertentu membuat beberapa daerah lumbung padi di Pulau Jawa seringkali mengalami gagal panen.

Masalah keempat, kata Arifin menyangkut infrastruktur dan sumber daya pertanian yang belum optimal.

Ia mengatakan, persoalan infrastruktur pertanian merupakan salah satu faktor penting penunjang produksi pertanian, terutama beras.

"Iklim tropis di Indonesia seringkali menyebabkan kekeringan di saat musim kemarau dan kebanjiran saat musim hujan," katanya.

Oleh karena itu, menurut Arifin, Indonesia membutuhkan infrastruktur yang menunjang seperti waduk untuk kebutuhan irigasi.

"Jumlah waduk yang ideal di Indonesia adalah 100 waduk. Pemerintah Indonesia sendiri tengah menargetkan pembangunan 49 waduk dalam lima tahun mendatang," tuturnya.

Selain digunakan untuk keperluan irigasi, menurut Arifin, waduk sebenarnya juga bisa difungsikan sebagai pembangkit listrik tenaga air.

"Peningkatan produksi gabah juga tergantung kepada sarana produksi pertanian atau saprotan, antara lain pupuk, pestisida, dan penyuluh pertanian," katanya.

Masalah yang kelima adalah menajemen pasokan dan tata niaga pangan.

Menurut Arifin, jumlah produksi beras nasional sebenarnya mencukupi untuk kebutuhan selama satu tahun, namun jumlah pasokan yang tidak merata di setiap bulannya membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan impor.

"Pada 2011, saat produksi nasional menurun, Indonesia pernah melakukan impor beras hingga 2,7 juta ton dan saat 2012 mencapai 1,9 juta ton tetapi untungnya pada 2014 lalu impor beras sudah menurun, hanya sekitar 176 ribu ton," tuturnya.

Ia menjelaskan, kebijakan impor seringkali muncul saat jumlah pasokan menurun karena panen tertunda, bencana alam, dan sebagainya.

"Untuk menjaga pasokan agar tetap stabil, diperlukan manajemen yang lebih baik agar pasokan beras setiap bulan terjaga," ujarnya.

Selanjutnya, masalah terakhir, kata Arifin adalah ketimpangan kepemilikan lahan petani.

Arifin mengatakan, ketimpangan kepemilikan lahan dan kemiskinan di kalangan petani adalah dua masalah klasik yang terjadi di sektor pertanian sehingga diperlukan terobosan untuk mengatasi masalah tersebut.

Reformasi Agraria

Pendiri dan pemilik Medco Group tersebut mengatakan reformasi agraria bisa menjadi salah satu langkah strategis yang diperlukan pada saat ini dalam rangka meningkatkan total produksi pertanian Indonesia.

"Misalnya, meningkatkan produktivitas petani, menjaga kedaulatan pangan, serta memecahkan masalah ketimpangan kepemilikan lahan dan kemiskinan," kata Arifin.

Menurutnya, beberapa hal harus diperhatikan dalam program tersebut agar tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti kasus pembukaan 1 juta hektare lahan gambut di Kalimantan pertengahan 1990 lalu.

"Hal lain yang harus diperhatikan juga adalah asal lahan yang akan dibagikan, apakah dari tanah yang berasal dari otoritas Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau kawasan hutan produksi yang bisa dikonversi dan harus jelas di daerah mana lahan tersebut berada," katanya.

Kemudian, kata Arifin yang harus menjadi fokus juga adalah potensi konflik agraria yang dapat menimbulkan korban jiwa dan luas wilayah konflik di perkebunan dan kehutanan.

"Untuk meningkatkan produktivitas padi di Indonesia agar bisa menjamin pasokan, paling tidak 1 juta hektare lahan sawah baru di Indonesia sebenarnya sudah mencukupi," tuturnya.

Oleh karena itu, menurut Arifin, perlu dipikirkan pula tanaman lain untuk melaksanakan reformasi agraria tersebut, termasuk tanaman untuk kebutuhan energi.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengemukakan langkah strategis dalam rangka meningkatkan total produksi pertanian dengan ide tentang pembagian lahan seluas 9 juta hektare kepada 4,5 juta petani.

Artinya, setiap petani akan mendapatkan lahan seluas 2 hektare sehingga melalui program tersebut diharapkan akan terjadi penambahan kepemilikan lahan pertanian dan 0,8 hektare menjadi 2 hektare untuk setiap petani.