Pengamat: Pertamina Tak Campur Solar Salahi Aturan

id pengamat, pertamina tak, campur solar, salahi aturan

 Pengamat: Pertamina Tak Campur Solar Salahi Aturan

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Pengamat ekonomi dari Universitas Riau Ediyanus Herman Halim menyatakan PT Pertamina (Persero) tidak mencampur solar dengan bahan bakar nabati biodiesel sebesar 15 persen di Provinsi Riau telah menyalahi aturan.

"Pemerintah sudah mewajibkan biodiesel penggunan biodiesel 15 persen dari sebelumnya 10 persen awal April tahun ini, tapi belum terlaksana di Riau. APBN kita jangan terkuras hanya untuk bahan bakar minyak solar murni di SPBU," paparnya di Pekanbaru, Jumat.

Menurut dia, masalah itu terjadi karena pemerintah sendiri masih lemah dalam melakukan pengawasan dilapangan karena faktanya pasokan molekul "Fatty Acid Methyl Ester/FAME" dari industri hilir perusahaan kelapa sawit terhenti sejak Januari 2015 di Riau.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said pada tanggal 15 Maret 2015 sudah menandatangani peraturan kewajiban penggunan biodiesel 10 persen menjadi biodiesel 15 dengan mengeluarkan Permen ESDM No.12/2015 yang mulai diberlakukan pada 1 April 2015.

"Pemerintah terutama aspek pengawasan masih lemah dilapangan, sehingga peraturan yang telah dibuat sedemikian rupa, tapi fakta masih sulit dilaksanakan. Padahal itu untuk mendukung kebijakan ekonomi makro dan menghemat devisa negara," katanya.

Oleh sebab itu, saran dia, pemerintah harus fokus dalam menyelesaikan satu aspek persoalan pengunaan bahan bakar nabati dengan berbagai solusi komprehensif mungkin dengan memperhatikan sistem pasokan bahan baku biodiesel, sistem penyaluran efisien dan pengolahan.

"Kita sekarang, masih di bawah kendali pengusaha sawit karena kebijakan itu tidak bisa berjalan baik. Pengusaha lebih memilih melakukan ekspor minyak sawot karena harganya lebih kompetitif," ucap Ediyanus.

PT Pertamina (Pemasaran) Perwakilan Pemasaran Riau Sumbar mengakui, terhitung Januari 2015 perusahaan pelat merah tersebut tidak lagi menyalurkan bahan bakar minyak bersubsidi jenis biosolar pada 140 unit Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Riau.

Kepala Operasi Depot Siak Pertamina Perwakilan Pemasaran Riau Sumbar, Purwanto mengatakan, sebab terhentinya bahan bakar minyak bersubsidi biosolar karena pasokan molekul "FAME" dari industri hilir kelapa sawit tidak diterima.

"Tidak di Riau saja, tetapi di Sumut sampai Aceh juga begitu. Sebetulnya kontrak untuk mendapatkan "FAME-nya" belum "deal" dari Jakarta. Jadi sampai sekarang kita sudah tidak salurkan biosolar, melainkan solar murni di SPBU," katanya.

Kementerian ESDM terhitung mulai 1 April 2015 memberlakukan mandatori pemanfaatan biodiesel sebesar 15 persen untuk mendukung kebijakan ekonomi makro dan menghemat devisa negara melalui pengurangan impor bahan bakar minyak.

"Ini merupakan salah satu bentuk perubahan fundamental dalam sektor energi dengan mengubah komposisi bauran energi dari yang semula bergantung pada energi fosil sekarang secara bertahap dialihkan ke energi baru dan terbarukan," kata Menteri ESDM, Sudirman Said.

Dia mengatakan, kebijakan yang tertuang dalam Permen ESDM No.12/2015 itu berimplikasi cukup luas baik dari segi serapan produksi biodiesel dalam negeri sebesar 5,3 juta kiloleter atau setara dengan 4,8 juta ton minyak sawit mentah dan penghematan devisa sebesar 2,54 miliar dolar AS.