Dualisme Kepengurusan Parpol Dipertimbangkan Ikut Pilkada

id dualisme kepengurusan, parpol dipertimbangkan, ikut pilkada

Dualisme Kepengurusan Parpol Dipertimbangkan Ikut Pilkada



Sambungan dari hal 1 .....

Ia mengatakan bahwa kondisi tersebut bisa saja terjadi. Pengadilan tidak selalu bisa dijamin akan memerintahkan kepada pejabat tata usaha negara untuk menerbitkan keputusan baru untuk menggantikan keputusan yang dibatalkan.

"Di sini persoalannya. Komisi Pemilihan Umum akan kebingungan sendiri. Mau menerima kubu Agung dan Romahurmuziy jelas tidak mungkin karena pengesahan kepengurusan mereka telah batal bersamaan dengan dibatalkannya SK Menkumham berdasarkan putusan inkrah," kata dia.

Akan tetapi, untuk menerima kubu Aburizal dan Djan Farid pun KPU tidak memiliki dasar yang kuat sebab kepengurusan mereka tidak dinyatakan sebagai kepengurusan yang sah di dalam putusan inkrah, sementara Menkumham pun kukuh tidak mengesahkan kepengurusan mereka.

"Andaipun di dalam putusan inkrah sekaligus dinyatakan SK Menkumham batal dan diperintahkan kepada Menkumham untuk menerbitkan SK yang baru untuk mengesahkan kubu Aburizal Bakrie hasil Munas Bali dan kubu Djan Farid. Akan tetapi, pada kenyataannya Menkumham ternyata tidak mau melaksanakan putusan itu. Maka, tetap saja akan menjadi masalah," kata dia.

Ia mengingatkan pencabutan SK dan/atau penerbitan SK baru hanya bisa dilakukan oleh Menkumham sendiri. Pengadilan hanya bersifat memerintahkan pencabutan. Menkumham bisa saja mengabaikan putusan tersebut sebab faktanya lebih banyak pejabat tata usaha negara yang tidak mau melaksanakan putusan TUN daripada yang mematuhinya.

Oleh sebab itu, jika pilkada tetap ingin digelar pada tahun 2015, perselisihan kepengurusan Partai Golkar dan PPP sebaiknya dipisahkan dari persoalan pencalonan peserta pilkada.

Ia mengungkapkan perselisihan kepengurusan biarlah berproses secara natural di pengadilan tanpa harus menekan hakim agar mempercepat penyelesaian perkara, sedangkan untuk pendaftaran calon peserta pilkada disediakan solusi lain yang tidak harus dikaitkan dengan kepengurusan mana yang sah.

"Saya mengusulkan agar dua kubu di Partai Golkar dan PPP diperbolehkan saja untuk mengusung calon yang berbeda di pilkada. Itu kalau pilkada tetap ingin digelar pada tahun 2015," ujar dia.

Ia mengatakan bahwa sekalipun ide ini tergolong tidak lazim, tetapi tidak ada salahnya untuk dipertimbangkan. Caranya, yaitu di dalam UU Pilkada cukup ditambahkan satu ayat baru, yaitu di dalam Pasal 40 yang mengatur tentang pendaftaran calon oleh partai politik.

Setelah Pasal 40 Ayat (4), ditambahkan Ayat (5) yang kira-kira berbunyi: "Partai Politik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang belum dapat menyelesaikan perselisihan kepengurusan di tingkat pusat dapat mendaftarkan lebih dari 1 (satu) pasangan calon."

Pasal tersebut, menurut dia, perlu diberikan penjelasan yang kira-kira berbunyi: Yang dimaksud dengan "Partai Politik yang belum dapat menyelesaikan perselisihan kepengurusan ditingkat pusat" adalah partai politik yang memiliki lebih dari satu kepengurusan di tingkat pusat akibat adanya perselisihan kepengurusan, di mana perselisihan tersebut sedang digugat di pengadilan dan belum mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap sebagaimana ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

"Di dalam ketentuan tersebut terdapat batasan yang jelas dan ketat bahwa partai politik yang dapat mengusulkan lebih dari satu pasangan calon hanyalah partai politik yang nyata-nyata sedang mengalami perselisihan kepengurusan, di mana perselisihan tersebut harus sudah melewati proses penyelesaian melalui mahkamah partai bersangkutan," kata dia.

Selanjutnya, atas perselisihan itu terdapat satu kepengurusan yang disahkan oleh Pemerintah, tetapi keputusan Pemerintah itu digugat ke pengadilan dan belum mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap pada saat pasangan calon didaftarkan.

"Untuk mekanisme pendaftaran calonnya, aturan bisa dibuat dalam Peraturan KPU yang menentukan masing-masing kepengurusan dapat menggunakan ketentuan perolehan jumlah kursi DPRD atau jumlah suara hasil pemilu anggota DPRD yang dimiliki oleh partai politik di daerah bersangkutan," kata dia.

Jadi, misalnya, Golkar kubu Agung Laksono ingin mengusung pasangan calon A-B, sementara kubu Aburizal Bakrie mengusulkan pasangan calon C-D, kubu Agung dapat mendaftarkan pasangan calon A-B dengan menggunakan perolehan kursi atau perolehan suara Partai Golkar di daerah bersangkutan.

Begitu pun dengan kubu Aburizal Bakrie yang diperbolehkan mendaftarkan pasangan calon C-D dengan menggunakan perolehan kursi atau perolehan suara Partai Golkar, dalam jumlah yang sama dengan yang digunakan oleh kubu Agung Laksono di daerah bersangkutan.

"Karena gagasan ini dibuat sebagai alternatif solusi terhadap permasalahan Golkar dan PPP dalam pencalonan pilkada pada tahun 2015, perlu dijelaskan pula bahwa aturan tersebut hanya berlaku untuk penyelenggaraan pilkada tahun 2015 saja," kata dia.

Hal tersebut bertujuan agar penyelenggaraan pilkada pada tahun-tahun berikutnya dapat diperkirakan perselisihan kepengurusan Partai Golkar dan PPP, baik yang terkait dengan sah atau batalnya SK Menkumham, maupun terkait dengan nasib Golkar Munas Bali dan PPP Muktamar Jakarta sudah mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap pada tahun 2016.

"Kalau ada partai lain yang cemburu atas perlakuan khusus kepada Golkar dan PPP itu, partai-partai lain tersebut sudah barang tentu juga diperbolehkan untuk mengusulkan lebih dari satu pasangan calon, sepanjang mereka mampu memenuhi ketentuan Pasal 40 Ayat (5) yang saya usulkan. Akan tetapi, saya sangat yakin tidak akan ada partai yang nekat dan mampu memenuhi syarat itu," ujar dia.

Ia mengungkapkan pilkada bukan untuk memilih partai, melainkan untuk memilih orang. Fungsi partai politik dalam pilkada adalah sebagai instrumen untuk mengukur tingkat dukungan awal dari masyarakat kepada pasangan calon.

"Tingkat keberhasilan pasangan calon dalam pilkada lebih sering ditentukan oleh kelebihan yang dimiliki masing-masing pasangan calon, tidak selalu ditentukan oleh partai politik pendukungnya," kata dia.

Alternatif solusi ini, kata dia, ditujukan untuk menghindari kemungkinan munculnya konflik, bahkan kerusuhan di pelbagai daerah.

"Kita tentu menginginkan agar pilkada dapat berjalan dengan aman dan lancar. Kemudian, agar ada kepastian hukum tentang persyaratan pendaftaran partai politik dalam pilkada," ujar dia.

Hentikan Proses PTUN

Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan bahwa apa yang bisa dilakukan oleh parpol yang berselisih, yaitu menghentikan proses berpekara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

"Karena percuma saja tidak akan ada hasilnya parpol yang berkonflik kemudian melakukan gugatan di PTUN," kata dia.

Ramadhanil mengatakan bahwa gugatan yang dilayangkan ke PTUN pasti menimbulkan konflik yang makin besar dan tidak berujung pada penyelesaian dualisme kepengurusan parpol.

"Jadi, hal tersebut bukan solusi bagi parpol yang berselisih," kata dia.

Ia menyarankan agar dualisme kepengurusan parpol lebih baik diselesaikan lewat jalur internal, yaitu mahkamah partai sesuai dengan Undang-Undang Parpol.

Apabila upaya tersebut menemui kegagalan, menurut dia, bisa dilanjutkan ke PN, kemudian ke MA.

Ia mengharapkan pilkada serentak yang akan dilakukan mulai Desember 2015 dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan rencana.