Ketika Pasien BPJS

id ketika pasien bpjs

 Ketika Pasien BPJS



Sambungan dari hal 1 ..

Padahal, domisili sang pasien berusia pensiunan tersebut relatif cukup jauh. Saat itu sejatinya dia pun masih membutuhkan santapan "rohani" untuk berzikir dan mengingat kebesaran Allah sebagaimana kebiasaan sehari-hari seusai salat.

"Saya seperti tidak ingat apa-apa lagi. Usai mengucapkan salam, tengok kiri dan kanan pada saat subuh, langsung bangkit. Sajadah pun kadang di rumah tidak sempat dilipat. Saya harus cepat beranjak ke rumah sakit," cerita kakek berusia 70 tahun itu.

Antrean pasien BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) pada rumah sakit daerah di Cibinong itu kini makin panjang saja. Pasien BPJS pun terus bertambah dari hari ke hari. Yang datang bukan hanya dari kawasan Cibinong, tetapi daerah lain pun ada, seperti dari Sukabumi dan Cianjur. Bahkan, dari provinsi lain pun ada, misalnya Depok (Banten), kata soerang petugas rumah sakit tersebut.

Antrean mendapatkan nomor berobat, yang biasanya dimulai pada subuh hari dan dibuka pada pukul 06.00 WIB, terlihat berkurang pada pukul 07.00 WIB. Antrean berjubel berpindah ke loket poliklinik di dalam.

Pasien pun "ngedumel" kembali. Pasalnya, antrean untuk mendapatkan nomor berobat ke dokter pada setiap poliklinik tersebut sistemnya berubah-ubah. Jika pada bulan lalu ada loket khusus bagi para pasien lansia, kini ditiadakan. Dua pekan berikutnya, sistem antrean diubah menjadi satu pintu, berdasarkan nomor urut yang diperoleh pasien ketika antre di subuh hari.

Sistem antrean itu, mulai pekan ini, diubah lagi. Pasien tidak dapat mengandalkan nomor urut yang diperoleh pada subuh hari, tetapi sistem antrean berdasarakan loket poliklinik. Pasien dikelompokkan berdasarkan dokter yang dituju. Jika ingin berobat ke penyakit dalam atau mata, langsung dilayani di loket bersangkutan yang sesuai.

Sistem ini menimbulkan banyak keluhan. Jika sebelumnya lebih tertib, kini makin kacau. Belum lagi antara loket yang berdampingan ketika pengeras suaranya digunakan dalam waktu bersamaan memanggil nama pasien, pasien bingung. Saking binggungnya, mereka merangsek makin dekat ke loket.

Keadaan itu tentu saja bikin jengkel para pasien lansia. Akan tetapi, keluhan tinggal keluhan. Solusinya tidak pernah dicari, kata Wahid, lansia yang beranjak balik pulang karena kecewa untuk berobat ke dokter penyakit syaraf ditolak. Masalahnya, jumlah pasien ke poli tersebut sudah terlalu banyak. Dokter membatasi pelayanan sampai 70 orang pasien.

Suasana RSUD Cibinong memang tiap hari ramai dengan pasien BPJS. Kebanyakan pasiennya para lansia yang berobat ke polimata, syaraf, ortopedi, gigi, terapi, dan beberapa jenis penyakit lainnya. Di antara para pasien pun kerap berdiskusi dan mempertanyakan mengapa para pasien di rumah sakit tersebut terus bertambah.

Selain yang datang dari daerah yang jauh, bahkan antarprovinsi, mereka bertanya apakah rumah sakit di luar ini tak melayani pasien BPJS. Jika keadaan semacam itu terus berlangsung, RSUD Cibinong tentu akan makin kewalahan.

Akan tetapi, bukan itu letaknya. Pelayanan umum harus ditingkatkan. Titik lemahnya adalah ketika data pasien di-"input", yang bekerja hanya petugas loket. "Dia yang meng-"input", dia yang mencarikan data dan juga memanggil pasien. Kondisi itu tidak bisa memperlancar pekerjaan," kata seorang kakek sambil mengangkat tongkatnya ketika berbicara dengan rekan di sampingnya.

Jika dilihat dari sumber daya manusia (SDM) yang ada di rumah sakit ini, sepertinya pelayanan terhadap pasien BPJS sudah keteter. Bahkan, petugas ambulans saja ikut melayani pasien sambil memberi informasi kepada setiap pendatang untuk melengkapi data yang diperlukan jika berobat menggunakan kartu BPJS, kata seorang anak muda yang ikut mengantar orang tuanya berobat menggunakan fasilitas BPJS.

Akar permasalahannya bukan di situ, kata seorang pria menimpali diskusi pelayanan publik di rumah sakit daerah ini. Sumber daya manusia di RSUD ini sangat terbatas. Coba ditambah tenaga untuk meng-"input" data. Komputer dan fasilitas internetnya diperkuat, tentu pasti pelayanan akan makin baik. Bukan pembiaran seperti itu berhari-hari, kata anak muda dengan gaya seorang intelek.

"Mau berobat murah aja kok ingin dapat fasilitas "wah". Jangan terlalu bermimpilah Bang," ungkap seorang lelaki hitam legam sambil beranjak meninggalkan kursi di ruang tunggu.

Rekannya lalu menimpali komentar lelaki berperawakan besar dan hitam itu, "BPJS kan itu menggunakan uang rakyat. Abang harus paham itu juga dong. Kita tak gratisan."

Beragam sistem layanan antrean di RSUD, yang dimaksudkan untuk mempercepat pelayanan, sudah ditempuh, kata Achmad, petugas loket pada RSUD Cibinong. Dia sebelum subuh sudah hadir, berada di kantor untuk mempercepat pelayanan para pasien.

Kali ini Achmad tak mengenakan baju dinas Pemda Bogor. Tampilannya tetap necis. Cuma sedikit berbeda dengan penampilan sebelumnya.

Ia mengenakan batik Korpri untuk menyambut hari Kebangkitan Nasional. Meski datang cepat ke kantor, dia tidak bisa ikut upacara sebagaimana kebanyakan pegawai negeri sipil (PNS) lainnya merayakan hari bersejarah itu. Jadi, Achmad tidak ikut upacara dengan sepengetahuan jajaran manajemen rumah sakit tersebut. Kepentingan publik memang harus dikedepankan, yaitu membantu memperlancar antrean pasien BPJS setiap hari.

Terkait dengan layanan pasien lansia, Achmad mengakui bahwa awalnya pihak manajemen RSUD memberi prioritas layanan. Loket lansia dahulu dapat prioritas, loketnya pun tersendiri. Namun, karena antrean makin panjang, tidak ada jalan lain baginya untuk melakukan perubahan pelayanan dengan sistem loket poliklinik.

Akan tetapi, lagi-lagi pasien tetap saja "ngedumel". Apalagi, ketika tidak dapat nomor berobat karena jumlah pasien dibatasi. Itu disebabkan perubahan mendasar tak dirasakan bagi para pasien. Selama tenaga atau SDM, mulai tenaga dokter, para medis, hingga administratif belum ditambah, jangan harap ada perubahan mendasar. Bagi Achmad, upayanya sudah ditempuh sudah maksimal. Sebagai bawahan, kewajiban sudah dijalankan.

"Saya harus bagaimana lagi. Dimarahi lagi. Marah lagi. Pasien marahi lagi," kata Achmad.