Bisakah Pilkada Tanpa Politik Uang?

id bisakah, pilkada tanpa, politik uang

 Bisakah Pilkada Tanpa Politik Uang?



Sambungan dari hal 1....

Tidak Mudah

Membersihkan politik uang dalam pilkada serentak tahun ini bukan hal mudah. Pengamat politik dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Lutfi Wahyudi dan Budiman, sama-sama meragukan kerja sama KPK, PPATK, Bawaslu, dan KPU.

Menurut Budiman, rata-rata transfer politik uang berbentuk tunai. Mahar politik juga jarang melalui bantuan lembaga keuangan karena pasti terendus PPATK atau KPK. "Tidak efektif dan susah dibuktikan meski sudah menjadi rahasia umum," katanya.

Mestinya, kata dia, jika ada oknum politikus yang bermasalah, kejaksaan atau polisi bisa memberikan ketegasan pada partai bahwa kandidat tersebut bermasalah. "Persoalannya, adakah pihak yang punya kewenangan untuk melakukan hal tersebut?" katanya.

Senada dengan rekannya, Lutfi Wahyudi mengutarakan bahwa jika calon kepala daerah memang tersandung kasus dengan kejaksaan atau polisi, lebih baik ditahan atau ada diberi peringatan tegas oleh penegak hukum. "Selama ini penindakan terhadap calon kepala daerah yang bermasalah, terutama yang berkaitan dengan politik uang, kurang gregetnya," katanya.

Ia lantas mengatakan, "Saya tidak begitu yakin KPK atau PPATK bisa mendeteksi semuanya. Apalagi, pelaksanaan pilkada dilakukan serentak. Memang diperlukan kerja keras jika KPK, PPATK, dan Bawaslu ingin berhasil mengungkap praktik-praktik politik uang tersebut."

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggaraeni mengatakan bahwa karena UU Pilkada tidak mengatur pemberian sanksi pidana terhadap pelaku politik uang, KPU harus mengikutsertakan KPK untuk mengawasi praktik-praktik politik uang dalam pilkada serentak 2015.

"Harus melibatkan semua aparat penegak hukum yang ada dan sangat penting untuk juga melibatkan KPK sehingga praktik politik uang ini dapat diantisipasi," kata Titi.

Ia menambahkan bahwa pembahasan UU Pilkada oleh DPR dan pemerintah tidak dilakukan secara sempurna dan terkesan dipaksakan tanpa melihat kekurangan serta kelemahannya.

Titi menilai politik uang merupakan kejahatan konstitusional yang luar biasa karena dapat mencederai kemurnian suara rakyat dalam pemilu. Pengaturan politik uang dalam UU Pilkada bisa disikapi dengan dua hal. Pertama, pembuat UU harus merevisi pengaturan yang ada dalam UU untuk memperbaiki dan memperkuat penegakan hukum atas praktik politik uang.

Kedua, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus segera melakukan koordinasi dengan pihak penegak hukum yang lain guna mengisi kekosongan hukum tersebut agar setidaknya kejahatan politik uang dalam pilkada dapat dijerat dengan ketentuan pidana umum.

Sementara itu, Direktur Kelompok Kerja (Pokja) 30 Carolus Tuah menyesalkan tidak adanya aturan kepemiluan yang menjangkau perilaku politik berujung politik uang. Semua instrumen, terutama pemberian izin pengelolaan SDA, konsesi proyek, dan penyalahgunaan dana APBD dengan modus hibah dan bantuan sosial (bansos), baru terdeteksi setelah pilkada usai.

Modus demikian, kata dia, ketahuan setelah momen menagih janji politik tiba. Menjadi preseden mengingat banyak kasus korupsi ditangani KPK selepas pilkada. "Pengawasan berjalan tidak efektif. Sistem sekarang menghendaki itu. Politik uang sulit dihilangkan," kata Tuah.

Dalam pilkada serentak akhir tahun ini, sembilan kabupaten/kota di Kaltim turut serta. Wakil Ketua PPATK Agus Santoso menyebutkan ada langkah-langkah yang bakal diperbuat lembaganya untuk mengawal pilkada serentak. Pertama, menelusuri rekam jejak para kontestan bekerja sama dengan Bawaslu dan KPU. Kedua, mencegah transaksi mencurigakan seperti yang selama ini sudah diriset.

Dari riset itu, terdapat tindak pidana pencucian uang (TPPU). Pihaknya mengendus beberapa modus politik uang dalam pilkada. Pertama, indikasi politik uang sejak dua tahun sebelum pilkada. Berikutnya, PPATK mengendus patgulipat antara pengusaha hitam dengan bakal calon. Modusnya, para pengusaha diberikan izin pengelolaan sumber daya alam.

Dari situ, ada "kickback" yang diperoleh para calon. Selain itu, untuk calon berstatus petahana, PPATK menemukan potensi penyalahgunaan APBD dengan modus hibah, bantuan sosial, dan dana pendidikan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengaku berupaya mewujudkan pilkada bersih. Mereka meluncurkan program Pilkada Berintegritas. Pimpinan KPK Johan Budi mengungkapkan bahwa pihaknya memantau para kontestan yang berstatus penyelenggara, sesuai dengan domain KPK.

"Salah satu yang kami lakukan meminta para calon melaporkan LHKPN (laporan harta kekayaan penyelenggara negara)," kata Johan.

Selain itu, lanjut dia, KPK mengawal penandatanganan pakta integritas, baik penyelenggara pilkada maupun para kontestan.

Sayangnya, penyampaian LHKPN kepada KPK sebatas imbauan moral. Tidak ada sanksi kepada pejabat yang abai. Padahal, LHKPN bisa dijadikan upaya pencegahan jika diterapkan dengan serius.

Namun, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Lukman Edy yakin potensi politik uang dalam pilkada serentak dapat ditekan seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Wali Kota dan Bupati (UU Pilkada). Undang-Undang tersebut mengatur sanksi bagi pelaku kecurangan dalam pilkada.

Ia memastikan setiap calon kepala daerah akan dibatalkan kemenangannya jika terbukti melakukan kecurangan, termasuk praktik politik uang. Bahkan, partainya didiskualifikasi.

Seperti ditegaskan Wakil Sekjen DPP PKB itu, pilkada serentak yang dijadwalkan pada tanggal 9 Desember 2015 akan diawasi lebih ketat. "Potensi politik uang tetap ada. Akan tetapi, bukan berarti kita harus mundur. Undang-Undang Pilkada menjadi rambu, menjadi ranjau. Saya kira ini lebih baik," katanya.