Parpol Dituntut Berpolitik Etis

id parpol dituntut, berpolitik etis

Parpol Dituntut Berpolitik Etis

Oleh M Sunyoto

Jakarta, (Antarariau.com) - Seruan tentang imperatif partai politik berkiprah secara etis terus dikumandangkan para tokoh di Tanah Air karena gejala ideal dalam jagat politik masih jauh panggang dari api.

Kali ini seruan itu muncul dari presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono dalam forum pelantikan dan pengukuhan pengurus DPP Partai Demokrat di Jakarta.

Yudhoyono mengatakan, Ibu Pertiwi akan menangis jika politik di negeri ini menjadi politik yang bersikap buruk.

Citra parpol yang dicerminkan sepak terjang para politisi di dalamnya belakangan ini boleh jadi merosot karena perjuangan memperoleh dana aspirasi yang bernilai Rp20 miliar per anggota legislatif.

Meskipun pernyataan Yudhoyono lebih diarahkan pada para politisi yang akan bertarung dalam pemilihan kepala daerah, tak terlampau meleset jika pernyataan itu dimaknai secara umum dalam konteks pentingnya berpolitik secara etis.

Bagi parpol, baik yang sedang dalam posisi mendukung pemerintah maupun yang sedang memilih sebagai pengoreksi dari luar pemerintah, imperatif melakukan politik secara etis sama tantangannya.

Bagi yang mendukung, dukungan terhadap pemerintahan layaknya diperlihatkan dengan panduan yang digariskan konstitusi dan kekuasaan bukan dijadikan peranti bagi pelangenggan kekuasaan.

Bagi parpol yang berada di luar pemerintahan, tuntutan berpolitik etis adalah memberikan koreksi yang arahnya untuk mendorong pemerintah berpihak pada rakyat dalam pengambilan kebijakan publik.

Politik yang etis itu kadang seperti lenyap dalam kegelapan ketika di dalam lembaga legislatif terjadi persekongkolan liar dalam memperjuangkan kepentingan parpol tanpa mengindahkan suara publik.

Dalam perkara dana aspirasi yang kontroversial, politik etis yang mendengarkan suara publik telah diambil oleh Presiden Joko Widodo yang menampik keinginan para legislator itu.

Tampaknya, imperatif berpolitik secara etis dalam semester kedua tahun ini akan semakin relevan karena di saat itulah perjuangan meraih kekuasaan di tingkat regional dan lokal sedang dipertaruhkan.

Saat itulah pilkada serentak diselenggarakan dengan berbagai konsekwensi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selama ini, ketika pilkada tak dilakukan secara simultan, tuntutan yang bermuara dari ketakpuasaan kontestan dan pengikutnya yang kalah cukup merepotkan dan mengundang beragam masalah.

Apalagi jika ketakpuasan itu muncul dari banyak kalangan yang kalah dalam pilkada serentak, tentu penanganannya jauh lebih rumit dan ruwet sehingga memperkeruh perpolitikan nasional.

Mendidik politisi secara internal di lingkup parpol seperti penyelenggaraan sekolah politik, pelatihan kader politik atau apapun namanya, untuk menginjeksikan nilai-nilai politik etis seperti dilakukan sejumlah parpol belakangan ini pantaslah diapresiasi.

Dalam sekolah politik itu sejumlah pembicara dari kalangan intelektual yang juga pakar politik bisa memberikan perspektif politik etis yang pada gilirannya dapat memperluas visi para politisi yang akan bertarung dalam pilkada.

Bersambung ke hal 2 ...