Ketika Ibu Kota Memasyarakatkan Wayang

id ketika, ibu kota, memasyarakatkan wayang

 Ketika Ibu Kota Memasyarakatkan Wayang



Sambungan dari hal 1 ...

Acara ini dibuka secara resmi pada Rabu (7/10) di pelataran Museum Seni Rupa dan Keramik dan setelahnya menampilkan lakon "Sumantri Ngenger" oleh Getar Wayang Ringkang dengan dalang utama Ki Tantan Sugandi.

Kepala Disparbud DKI Purba Hutapea dalam sambutannya mengatakan festival itu diadakan sebagai bentuk pelestarian budaya.

"Tujuan utamanya adalah melindungi budaya tradisional, dalam hal ini wayang, mengembangkan serta memberdayakannya," ujar Purba.

Ia melanjutkan, kegiatan ini juga bermanfaat untuk memberikan hiburan bagi warga atau masyarakat yang sedang berkunjung ke Jakarta.

Apalagi, festival ini diadakan di kawasan Kota Tua, yang menurut Purba merupakan kebanggaan Ibu Kota dan Indonesia pada umumnya.

Sementara Kepala Unit Pengelola Museum Seni Dyah Damayanti menambahkan beraneka ragamnya corak dan penampilan wayang merupakan seni adiluhung yang harus dilestarikan dan dikembangkan.

"Maka perlu memperkenalkan dan mempromosikan seni pewayangan kepada masyarakat dan generasi muda sebagai pewaris budaya bangsa," tutur Dyah.

Ia juga mengatakan dalam acara festival wayang ini pemerintah bermaksud memberikan kesempatan kepada para seniman wayang untuk mengembangkan kreativitas.

Selain itu, berguna pula menjaring komunitas seniman wayang dari berbagai daerah.

"Festival ini menampilkan beberapa pergelaran wayang, termasuk wayang ringkang dari Jawa Barat, wayang kulit dari Surakarta, Yogyakarta, hingga Betawi," kata Dyah Damayanti, sembari menambahkan acara ini bekerja sama dengan Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi).

Ada 11 grup wayang akan mengisi pertunjukan di festival wayang ini. Mereka adalah Wayang Kulit Surakarta (dengan Dalang Sri Pandi), Wayang Kulit Surakarta (Dias Syawal), Wayag Golek Ringkang (Ki Tantan Sugandi), Wayang Kulit Jawa Timuran (Bagus Bagaskoro), Wayang Kulit Yogyakarta (Ki Wahyudi).

Selanjutnya Wayang Orang Betawi (Ki Sukarlana), Wayang Golek Sunda (Ki Putra Girinata), Wayang Orang Remaja (Teguh Aprianto), Wayang Kulit Banyumas (Ki Buyung), Wayang Orang Bali (Kompyang Raka) dan Wayang Kulit Betawi (Ki Jaya Niin).

Kelompok-kelompok seni wayang ini akan menampilkan lakon-lakon seperti Sumantri Ngenger, Subali Gugur, dan Shinta Obong.

Memaknai Wayang

"Saat ini lakon wayang cenderung tidak lagi statis, malah sebaliknya, dinamis sekali," kata staf Museum Wayang Sumardi.

Sumardi menuturkan, di masa serba canggih ini, wayang menjadi komoditas yang takluk terhadap pasar dan kemauan konsumennya, yaitu masyarakat.

Pasar menjadi penentu arah pementasan wayang. Sebab, jika tidak begitu tentu akan sepi penonton.

Namun, Sumardi yakin garis-garis tegas tradisi pewayangan tidak akan berubah dan menghilang seiring berputarnya waktu.

"Walau dikemas secara modern dan kontemporer, saya melihat wayang terus berdiri di atas nilai-nilai tradisionalnya," ujar dia.

Ia kemudian mencontohkan wayang ringkang, yang sejatinya adalah perkembangan dari wayang golek. Perbedaannya terletak dari jumlah dalang yang terlibat di dalam pementasannya.

Di dalam wayang golek, wayang hanya satu orang, sementara dalam wayang ringkang, ada 30 orang dalang yang bekerja dalam satu lakon. Karena pemainnya cukup banyak, panggung pun jadi lebih besar, sehingga penampilannya menjadi lebih hidup.

"Ringkang itu mulai populer tahun 2000-an dan sudah pernah ditampilkan di seluruh Indonesia termasuk mancanegara," tutur Sumardi.

Walau nyata berkembang dan berubah "kulitnya", wayang tidak pernah lepas dari makna setiap cerita yang dipentaskan.

Salah satunya bisa terlihat dari lakon Sumantri Ngenger, yang dipentaskan Getar Wayang Ringkang setelah acara pembukaan Festival Wayang Nusantara.

Kisah dimulai ketika Bambang Sumantri menyatakan keinginannya mengabdi kepada Prabu Arjuna Sasrabahu, pimpinan Negara Maespati. Untuk meloloskan keinginan itu, Bambang Sumantri ternyata harus melamar Dewi Citrowati dari Negara Magada untuk sang Prabu.

Ia berhasil dan membawa Dewi Citrowati ke hadapan Prabu. Namun, karena terlibat ia juga mencintai Dewi Citrowati, akhirnya Prabu harus bertarung terlebih dahulu dengan Bambang Sumantri untuk memperebutkan Dewi Citrowati.

Prabu Arjuna Sasrabahu berhasil memenangkan pertarungan. Setelahnya, Dewi Citrowati kemudian membuat permintaan, untuk memindahkan Taman Sriwedari dari Magada ke Maespati.

Arjuna menugaskan Bambang Sumantri untuk melakukan hal ini, dan berhasil karena Bambang Sumantri meminta bantuan adiknya Sukasarana, yang adalah raksasa berwajah buruk rupa.

Bambang Sumantri pun menjadi Patih Maespati dengan gelar Patih Suwanda. Selanjutnya kebohongan pun terbongkar, istri Prabu mengetahui bahwa Sukasarana yang menggeser Taman Sriwedari.

Dalam prosesnya, Bambang Sumantri pun secara tidak sengaja membunuh adiknya sendiri.

"Makna filosofis dari cerita ini banyak. Salah satunya jika ingin mendapatkan sesuatu, harus dengan kerja keras sendiri, bukan dengan keringat orang lain," kata Suwardi.

Satu lagi, lanjut dia, jika memang mendapatkan sesuatu dengan kerja keras sendiri, tetap harus diperhatikan, apakah sesuatu itu memang hak yang bisa kita miliki?