Industri Kreatif Siap Hadapi MEA

id industri kreatif siap hadapi mea

 Industri Kreatif Siap Hadapi MEA

Pihaknya melalui kebijakan Kementerian Koperasi dan UMKM juga memberikan fasilitas dengan mendorong agar mereka mengajukan hak cipta secara gratis bagi industri kreatif dan usaha mikro, kecil, menengah.

"Kami hanya menfasilitasi hingga kini sebanyak 100-an UMKM yang mengajukan hak cipta. Hal ini, dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM," katanya.

Pihaknya juga memfasilitasi pelaku industri kreatif melalui pameran-pameran, temu bisnis, dan kontak dagang, dan lain lain. Hal itu dilakukan agar mereka dapat berkembang dan bersaing dengan produk luar yang kemungkinan akan membanjiri pasar dalam negeri saat diberlakukan MEA.

"Industri kreatif dengan difasilitasi oleh pemerintah daerah ini, diharapkan dapat meningkatkan akses pasar UMKM dan bisa berkembang sehingga tidak hanya lokal saja, tetapi dapat diterima ke pasar, baik nasional maupun internasional tingkat ASEAN," katanya.

Solo yang merupakan salah satu percontohan kota kreatif di Indonesia, membuat semua pelaku industri kreatif memiliki kemampuan yang andal dalam produksi dan siap bersaing, baik cara kualitas, harga, maupun menarik konsumen di negara sendiri.

Salah satu perajin ekonomi kreatif, Denok Marty Astuti (27), warga Jalan Dahlia Nomor 28 Purwosari, Laweyan, Solo mengaku usahanya dengan memanfaatkan sejumlah limbah untuk dibuat barang yang memiliki nilai jual tinggi.

"Produknya meskipun dengan bahan baku limbah, tetapi mampu bersaing di pasar dengan produk pabrikan," kata Denok yang juga sebagai inspirator membuat kerajinan ekonomi kreatif bahan baku limbah.

Menurut Denok, sejumlah pelaku usaha kreatif khusus Kota Solo dalam menghadapi MEA sudah melakukan persiapan, meskin belum dilakukan secara maksimal.

Namun, ujarnya, mereka setidaknya sudah berani bersaing di pasar bebas dengan produk dari negara lain.

Bahkan, Denok yang baru saja menghadiri pertemuan dengan kalangan pelaku usaha kreatif di Myanmar itu, mengaku tidak khawatir dalam menghadapi MEA karena banyak negara seperti Filipina, Vietnam, dan Myanmar justru tertarik dengan produk-produk kerajinan dari Indonesia.

"Kami diminta untuk memberikan pelatihan cara membuat kerajinan dari anggota negara ASEAN. Sehingga, industri kreatif tidak perlu khawatir karena soal kualitas kita bisa bersaing," katanya.

Namun, katanya, soal harga dan produksi mungkin mereka lebih murah karena dalam proses produksi, semuanya dikerjakan dengan mesin sehingga lebih efektif, sedang kerajinan dalam negeri masih secara manual.

Denok mengaku produk usaha kreatifnya memanfaatkan sejumlah limbah yang dibuat berbagai produk, seperti tas dari plastik, cedera mata gelang dari kain perca batik, tas dari bekas kaleng yang memiliki nilai jual.

"Saya ide kreatif itu, muncul setelah melihat banyak limbah yang dibuang sayang, dan ternyata dapat dimanfaatkan menjadi barang yang mempunyai nilai jual," kata Denok yang mengaku sering memberikan pelatihan kepada ibu-ibu rumah tangga untuk mencari uang tambahan keluarga.

Ia mencontohkan membuat kerajinan gelang selain dengan bahan baku kain perca, juga memanfaatkan botol plastik bekas air meneral, lem, dan tali pita untuk hiasan agar lebih cantik.

Seorang tenaga kerjanya membuat cedera mata gelang dari kain percak tersebut rata-rata mampu memproduksi 25 hingga 30 biji per hari.

"Kami menjual barang cendera mata itu, cukup murah yakni sekitar Rp7.000 per biji hingga Rp10 ribu per biji tergantung ukuran dan tingkat kerumitan cara membuat," katanya.

Ia mengaku pertama membuat kerajinan gelang kain perca itu, ragu-ragu apakah bisa laku dijual dan banyak peminatnya. Namun, ternyata produknya laku di pasaran.

Oleh karena itu, katanya, pengusaha industri kreatif, khususnya di Kota Solo, tidak perlu khawatir dengan mulai dilaksanakan MEA karena akan terjadi persaingan pasar yang ketat.

Perajin, katanya, yang terpenting tetap menjaga kualitas dan memasang harga produknya yang lebih terjangkau masyarakat.

Menurut dia, dengan dilaksanakan MEA pada akhir Desember mendatang, tentunya semua barang produk dari negara anggota ASEAN akan mengalir masuk di dalam negeri.

Selain membuat gelang dari kain perca, ide kreatif Denok muncul juga setelah melihat tumpukan limbah kaleng bekas cat yang dibuang di tempat sampah. Limbah kaleng tempat cat ini kemudian dibersihkan lalu diiris dan dibuat anyaman dengan tali plastik bekas kargo sehingga bentuknya bundar dan indah.

"Saya juga memanfaatkan tutup kaleng untuk penutup yang diberi hiasan dari "handel" pintu sehingga berbentuk tas bisa untuk tempat kosmetik atau barang lainnya. Tas ini, juga dapat untuk tempat ikan hasil memancing," kata Denok.

Idenya membuat tas dari limbah kaleng plastik bekas cat tersebut muncul sudah setahun terakhir, dan hasilnya dapat dijual dengan harga Rp35.000 per tas.

"Saya membuat tas ini, serba guna rata-rata dua biji per hari, sedangkan cara penjualannya melalui pameran dan "online", katanya.

Menyinggung peran Pemerintah Kota Surakarta dalam menghadapi MEA, Denok menjelaskan sudah cukup banyak, terutama pemda melalui dinas terkait telah memberikan fasilitas, seperti kegiatan pameran untuk memperkenlakan produk.

Selain itu, Pemkot Surakarta juga telah mengadakan sosialisasi-sosialisasi kepada ratusan pelaku ekonomi kreatif dan UMKM dalam menghadapi pada bebas MEA.

Perajin lain, Winarto (40), asal Sumber Banjarsari, Solo mengatakan sejumlah perajin di Kota Solo sering mengadakan pertemuan untuk membahas soal menghadapi MEA, agar hasil produksi mereka tidak kalah bersaing dengan produk-produk luar negeri.

Winarto memproduksi suvenir berbentuk ayam bentina dan jantan dengan memanfaatkan bahan limbah bulu ayam.

"Saya menemukan ide kreatif membuat cedera mata ayam jago (jantan) dan betina pertama hanya coba-coba, tetapi ternyata banyak digemari oleh pembeli," katanya.

Ia mengaku butuh ketelitian, latihan, dan bakat untuk membuat suvenir itu.

"Cedera mata ayam buatan saya ternyata seperti aslinya dan terlihat indah. Saya awalnya hanya membuat puluhan biji, ternyata laku laris terjual oleh pengunjung di Sunday Market Solo," katanya.

Harga produknya bervariasi antara Rp30 ribu hingga 35 ribu, sedangkan saat ini, dirinya menerima banyak pesanan, baik dari Solo dan sekitarnya, maupun luar daerah seperti Jakarta.

Selain itu, Winarto juga menekuni kerajinan miniatur patung profesi masyarakat petani pada zaman penjajahan Jepang dengan memanfaatkan bahan baku limbah karung goni.

Dia memanfaatkan limbah karung goni untuk membuat miniatur patung profesi kehidupan masyarakat tradisional pada zaman penjajahan Jepang.

Produk unik tersebut dapat mengingatkan akan peristiwa kehidupan masyarakat pada zaman dahulu yang sudah jarang ditemui sekarang.

"Patung dari karung goni itu, dibuat petani dengan memakai caping, berpakaian tradisional menumbuk padi di alat lesung, mencari kayu, dan sebuah gerobak pedati sebagai kendaraan pengangkut zaman dahulu," kata Winarto.

Karya kreatifya itu, dijual dengan harga antara Rp35 ribu hingga Rp75 ribu per biji tergantung besar kecilnya dan tingkat kesulitan, sedangkan gerobak pedati dijual mencapai Rp300 ribu per biji.

"Kami mampu memproduksi miniatur patung karung goni ini, sekitar 100 hingga 200 biji per bulan, dan hal ini tergantung pesanan pelanggan," katanya.

Pemasaran miniatur patung karung goni buatanya sudah sampai ke mana-mana. Konsumen produk itu datang dari Surabaya, Bandung, Makassar, Yogyakarta, Semarang, dan Bali.

Dia mengatakan para perajin harus berani bersaing di pasar bebas MEA, sedangkan pemerintah daerah memberikan pendampingan kepada kalangan itu.

Selain itu, pengrajin juga berharap bantuan berupa alat-alat untuk mendukung produksi agar dapat bersaing dengan luar, baik tingkat nasional maupun internasional.

Christian Haryanto, seorang perajin keranjang buah dari limbah kertas koran asal Desa Keradenan, Serangan, Colomadu, Kabupaten Karanganyar menyatakan kekhawatirannya menghadapi MEA karena perajin yang kebanyakan produksinya masih dengan cara manual akan kalah bersaing dengan produk luar negeri yang kebanyakan sudah menggunakan alat modern.

"Produk luar kebanyakan proses produksinya menggunakan mesin lebih efektif sehingga harga di pasar bisa lebih murah dibanding manual yang membutukan banyak tenaga kerja ongkos mahal," kata Christian.

Permintaan keranjang buah produksinya dua bulan terakhir ini rata-rata mencapai 4.000 buah per bulan atau naik dua kali lipat dibanding hari biasanya.

Namun, dengan diberlakukan MEA akan terjadi persaingan harga dan kualitas sehingga dampaknya permintaan konsumen menurun.

Ia mengaku permintaan pelanggan kebanyakan datang toko-toko buah, seperti dari Malang, Surabaya, Semarang, Cirebon dan Jakarta. Pada hari-hari biasa pesanan pelanggan rata-rata sekitar 1.500 hingga 2.000 buah per bulan.

Usahanya membuat keranjang buah menggunakan 12 tenaga kerja dengan jumlah produksi sekitar 3.000 keranjang per bulan. Proses produksinya, semua menggunakan cara manual dengan mengutamakan kualitas dan corak alami.

Pembuatan kerajinan dari limbah kerta koran tersebut dilakukan dengan merendam kertas koran dalam air selama tiga hari hingga lembut atau lunak.

Limbah kertas koran kemudian dihaluskan lagi dengan cara diblender menjadi bubur kemudian ditiriskan hingga kering. Kertas yang menjadi bubur kering kemudian dicampur dengan lem dan ditiriskan kembali dan dicetak sesuai bentuk barang yang diinginkan.

Limbah koran yang sudah menjadi bentuk keranjang buah kemudian dikeringkan di sinar matahari dan selanjutnya dicat warna sesuai corak yang diminati konsumen, dan kemudian dilapisi pernis untuk menutup pori-porinya.

Menyinggung soal persiapan para perajin ekonomi kreatif dalam menghadapi pasar bebas MEA di dalam negeri, Christian mengatakan banyak usaha mikro, kecil, menengah yang khawatir karena masih kurangnya sosialisasi dari pemerintah daerah.

Namun, soal kualitas barang dalam persaingan pasar dengan produksi luar negeri, pihaknya berani bersaing.

"Tetapi dukungan pemda tetap diharapkan terutama bantuan permodalan dan peralatan yang lebih modern untuk meningkatkan produksi," katanya.